facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

Sumber: www.rudydewanto.com

Mula-mula, seseorang yang mendapatkan uang arisan itu adalah hal biasa. Atau Mendapatkan dua anak sapi sekaligus dari rahim induk sapinya juga hal yang lumrah. Bahkan, menemukan segepok uang ratusan ribu di halaman rumah juga masih bisa dikatakan wajar. Bisa jadi, itu adalah uang konglomerat atau juragan yang jatuh tak sengaja saat lewat.

Itu semua menjadi hal yang menghebohkan jika terjadi pada satu orang dalam waktu yang berturut-turut. Hidup di desa memang seperti itu, apa pun yang terjadi dengan tetangga sebelah atau masyarakat sedesanya akan cepat menyebar dan menimbulkan banyak desas-desus gosip tak terelakkan.

Orang yang mengalaminya adalah Pak Burhan. Beliau sendiri juga tidak mengerti, kenapa Tuhan begitu baik padanya. Rezeki terus mengalir deras masuk ke pundi-pundi kantongnya. Itu semua menimbulkan banyak pertanyaan kepada warga desa yang tengah iri melihat Pak Burhan dan keluarganya bergelimangan rezeki.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar

Aku terbangun masih di tempat yang sama. Tempat yang menciptakan kebosanan dan perlahan-lahan menikam dengan kejam lewat kesepian. Aku membuka mata yang masih merapat, menguap, lalu menutup mulut dengan jemari yang masih hangat. Dingin yang kemarin malam memeluk, kini menguap tergantikan kehangatan sinar matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.

Aku selalu benci jika malam telah merayap menutupi sinarnya. Meski ada sinar lain yang sering dielu-elukan banyak orang, tetapi tetap saja tidak bisa menggeser matahari untuk menduduki tahtanya.

Aku benci malam, karena selalu menempatkanku dalam kesendirian. Hanya bertemankan sepi yang mencekam. Gemerisik dedaunan dan sepoi angin yang menerbangkan rindu membuat hati terasa ngilu.
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

*Maaf ini tulisan absurd yang disengaja untuk membuang waktu luang seseorang yang sedang malas menulis. Caution! Tulisan ini mengabaikan EBI, jika mata Anda panas membaca tulisan gaje seperti di bawah ini, lebih baik jangan dilanjutkan daripada nanti mengumpat dalam hati. Pemilik blog tidak bertanggung jawab apa pun yang terjadi dengan pembaca*

Liburan kali ini lebih greget. Biasanya pulang ke rumah bisa sampai dua bulan sampe aku bosen nggak keruan. Tapi, tahun ini hanya mempunyai kesempatan pulang dua minggu. Yaelah, dua minggu itu serasa sedang melihat  pemandangan di kanan atau kiri kita saat naik kereta. -_- Cepet banget. Kadang pulang dua bulan aja serasa cuma seminggu, ini rasanya hanya seperti dua harian.

Memang ada kegiatan kampus di liburan ini, tapi kalau dibilang sibuk sih sebenarnya nggak juga. Bahkan, menurutku ini waktu yang paling luang. Cuma magang sampai sore, dan setelahnya free. Seharusnya banyak waktu luang harus lebih produktif menulis. Tapi ini mah enggak, malah lebih males.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Aku meminta mama untuk mengantar ke salon langganan kami. Aku ingin merapikan rambut yang kupangkas tak jelas. Panjang-pendek tak beraturan. Untuk menutupi malu, sekarang aku menutupi kepalaku dengan kupluk rajutan yang dibuatkan mama beberapa tahun lalu.

Saat menunggu antrean panjang, aku membaca majalah yang tertata rapi di rak pojokan dekat pintu masuk. Kulirik mama juga sedang membaca majalah di sampingku.

“Ma.” Aku menutup majalah yang ada di tanganku.

“Hmhmh.” Mama masih sibuk dengan majalahnya.

“Kok kemarin malam tidak ada martabak lagi di depan rumah?”

Mama tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Untuk sementara, aku bisa lega berada di tempat yang jauh dari Dimas. Aku tidak lagi mendengar namanya dan melihat segala tentangnya. Tetapi ternyata, hatiku seperti digerus saat melihat mama tiap hari datang dengan tangisannya.

Sudah lima hari aku mencoba bertahan, tapi pertahananku runtuh karena mama yang tak putus asa menyambangi tiap hari. Kulihat mama selalu tertawa dengan mata berkaca-kaca, setelah tak tahan menahan tangisnya, mama pergi begitu saja.

Sempat aku bertanya pada diriku sendiri, kapan aku keluar dari sini. Mereka yang benar-benar gila akan keluar jika sudah sembuh. Sedangkan aku, bukan orang gila layaknya mereka. Aku waras dan sadar sesadar-sadarnya.

Setelah lama batinku berkecamuk, aku luluh untuk menemui mama. Aku bilang kepada perawat, agar aku dipertemukan dengan mama. Meski awalnya perawat itu kaget mendengar permintaanku. Ya, bagaimana mungkin orang baru gila bisa meminta bertemu keluarganya. Perawat itu pasti tahu aku meminta itu dalam keadaan sadar. Setelah obrolan panjang, dan perawat itu benar-benar yakin aku sudah membaik, akhirnya diizinkan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Suaraku melengking keras saat jarum itu menusuk kulit. Tempat ini lebih layak disebut tempat konveksi, dibandingkan rumah sakit. Di sini kulit manusia beda tipis dengan potongan kain yang bisa ditusuk jarum berulang kali.

Para wanita berseragam putih menjelma seperti malaikat berulang kali datang tanpa iba membawa pil-pil pahit. Membawa nampan makanan yang nantinya akan jadi bahan mainan para pasien.

Aku hanya memandangi mereka dengan tatapan kosong. Tidak menyangka, tempat ini menjadi bagian dari cerita hidup. Meski sebenarnya merutuki diri sendiri, kenapa aku rela menjebloskan diri ke tempat ini, tetapi aku merasa lebih nyaman di sini.

Aku sudah lelah berpura-pura terlihat lapang dada. Itu malah membuat kepingan hatiku semakin retak tak berdaya.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Ini malam ketiga aku menaruh sekotak martabak dan sebuket bunga di meja makan. Setiap hari kubiarkan mereka tergeletak di sana. Lalu keesokan harinya, barang yang selalu kutemukan tergeletak di depan pintu rumah itu sudah tidak ada. Entah, mama membuang kemana barang haram itu.

Tanpa kuberi tahu, mama pasti sudah mengerti dari mana barang itu berasal. Karena aku juga membiarkan sepucuk surat merah hati di atas bunga teronggok tak terbaca. Mama pasti membacanya.

“Ma, kotak martabak dan bunganya Mama taruh mana?” tanyaku keesokan harinya saat melihat mama pulang membawa sekantong plastik sayuran.

“Martabaknya mama kasih ke tetangga sebelah, kemarin ke tukang rosok yang lewat depan rumah, dan hari ini ke tukang sayur. Kalau bunganya mama rendam air di botol plastik dekat kolam ikan belakang.”
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sesampainya di rumah, aku hanya diam tanpa mengajak mama berbicara sedikit pun. Aku mengunci diri di kamar seharian. Perasaan kembali kalut. Menyesal sudah datang ke pernikahan mereka. Masakan mama di meja makan juga tak kusentuh sekali pun.

Hanya saat malam, aku ke luar kamar untuk menonton TV. Suara TV sangat keras menyaingi hujan lebat di luar. Acara yang kutonton adalah tayangan komedi, tetapi sulit rasanya menertawai acara itu. Bagiku mereka hanyalah gambar bergerak untuk mengisi kebosanan, bukan kekosongan hati.

 “Han, kamu tidak makan?” Terlihat separuh kepala mama dari celah pintu kamarnya yang terbuka. Aku menggeleng.

Aku mengganti channel TV berulang kali. Tidak ada yang menarik menurutku. Terdengar ketukan pintu yang keras dan berulang-ulang. Aku memandangi pintu depan yang bergetar-getar karena terlalu keras diketuk.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
“Han.” Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari sumber suara.

“Iya?” Kulihat ada sesosok lelaki berkacamata dengan gagang hitam duduk di belakangku. Aku menoleh ke arahnya.

“Kamu Hanna, kan?” tanyanya.

“Iya. Kamu...?” Aku mencoba mengingat-ingat sosoknya, tetapi tak juga kutemukan wajahnya dalam kepingan memoriku.

“Aku Randu,” jawabnya. Bahkan, namanya saja terdengar asing di telingaku. Selama ini aku memang tak pernah mempunyai teman bernama Randu.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Tulang-tulangku serasa lemah memandangi mereka duduk berdua di pelaminan. Ada perasaan sakit yang semakin terasa di sudut hati saat pertama kali masuk ke gedung megah ini. Bau melati mulai mengoar di hidung, dan sepasang mempelai mengenakan gaun putih yang tertangkap pandanganku menambah sesak.

“Han.” Mama menyenggol lenganku. Aku terlihat diam memandang mereka.

“Ayu cantik, Ma.” Aku tersenyum memandang mama dengan berkaca-kaca.

“Hanna lebih cantik,” ucapnya. Aku tertawa geli mendengar gurauan mama, lalu membalas menyenggol lengannya pelan.

Saat aku dan mama duduk untuk makan beberapa hidangan, ada teman-teman kuliah yang memandangiku dengan aneh. Pasti mereka iba melihatnya. Aku mencoba terlihat seperti biasanya. Terlihat kuat, meski sebenarnya hati ini rapuh.
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Kuoleskan lipstik peach tipis ke bibir bawah. Belum kulanjutkan, aku memandangi diri yang sedang mematut di depan cermin. Seharusnya hari ini aku dirias bukan untuk datang sebagai tamu undangan, tetapi menjadi mempelai perempuan. Aku menelan ludah merasakan kegetiran perasaanku. Rasa sakit itu terasa lagi.

Kupegangi pinggiran meja rias kayu kuat-kuat menahan sakit yang tiba-tiba menyergap diriku. Kukira mulai kemarin aku sudah baik-baik saja, ternyata belum sepenuhnya luka ini benar-benar sembuh.

Baja yang menghantam hati ini terlalu kuat dan dalam. Lubang lukanya sampai menganga  tak terlihat dasarnya. Kulihat mataku berkaca-kaca. Dengan cepat kuambil tisu di depanku. Kuhapus dengan kasar genangan air di kelopak mata. Rasanya ingin aku merutuki diri sendiri, kenapa aku menjadi gadis yang cengeng seperti ini.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Aku membuka dua pintu almari lebar-lebar. Kulihat isinya yang berisi beberapa gantungan dan lipatan baju yang sudah sering kupakai. Bukan bingung mencari baju untuk ke pernikahan Ayu, tetapi aku masih bingung mencari referensi kado untuk mereka. 

Kulihat seisi kamar, tidak ada hal yang membuatku mendapat ilham. Kardus yang tersimpan di atas almari juga kuturunkan. Kukeluarkan semua isi-isinya. Mungkin saja ada barang yang belum dimiliki Ayu dan akan kubelikan hari ini juga untuk dibungkus. Setelah semua isinya tercecer di luar, sama sekali aku tak menemukan barang yang pas untuk bisa kubawa.

Ini bukan kado ulang tahun yang mudah mencari ide item barangnya. Biasanya saat ulang tahun, Ayu kuberi bingkai foto kita, syal rajutan, rok motif polkadot lucu, atau kalung etnik. Ayu bukan lagi seorang gadis labil yang akan kuberi barang pernak-pernik merah muda.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
“Saya merasa bersalah karena tidak memberi tahu Hanna dari awal, saya sudah berusaha mencari waktu dan kesempatan yang tepat untuk menjelaskan kepada Hanna, tapi saya tidak pernah sanggup.”

“Semua sudah terjadi, Dimas. Semoga kalian bahagia dengan jalan kalian masing-masing.”

“Terima kasih untuk kebaikan tante dan Hanna selama ini.” Dimas berlalu dari hadapan mama tanpa sempat kulihat wajahnya. Aku dan mama menatap kepergiannya sampai punggungnya tak terlihat lagi.

“Ma.” Sebelum menunggu jawaban mama, aku sudah menghapus air mataku dengan segera.

Selama tiga hari aku hanya berbicara seperlunya kepada beliau, entah kenapa hari ini aku mendengar mama berkata lembut kepada Dimas ada bagian hatiku yang tersentuh.

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
*Maaf telat banget ya ngepostnya. Karena tidak bisa memakai alat komunikasi beberapa hari lalu jadi nggak bisa nulis dan ngeblog dulu. Ada yang bilang nggak kangen aku, tapi kangen cerbungku. Huhuhu. Alhamdulilah, setidaknya ada yang dikangenin wkwk :D udahah ah, aku kalo udah ngomong jadi panjang nanti urusannya. Langsung aja baca lanjutannya gaeess, jangan bosen baca ya meskipun ini masih jelek pake banget, semrawut acakadut, kritik saran boleh kok di kolom komentar. Nggak dimarahin, justru malah aku terima kasih banget udah diperhatiin *kedip-kedip* #Yakan intermezzo jadi panjang gini. Udah ah :D


Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali, karena ruang kamarku yang berada paling depan, bisa kudengar suara itu sangat jelas. Mata masih enggan untuk terbuka. Kukira, suara itu terdengar dari alam mimpi, tetapi semakin lama semakin terdengar keras.

Kubuka mata pelan dan kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Meski korden jendela sampingku belum terbuka, tetapi bisa terlihat di luar sana sudah sangat terang. Cahaya mentari sudah masuk ke celah-celah ventilasi kamar.

Mungkin pagi ini mama masih belanja, dari tadi suara ketukan pintu itu masih terdengar dan tidak ada yang menyahut dari dalam. Kusibakkan selimut lalu berjalan gontai sambil mengusap-usap kedua mata. Dengan malas kubuka pintu depan, terlihat ada sosok lelaki yang memunggungi. Tanpa dia membalikkan badan, aku sudah tahu siapa dia. Dari caranya berdiri, potongan rambut, bahkan kaos jersey kesukaan yang dipakainya saat ini.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • (Katanya sih) Quarter Life Crisis
  • Ingin Menikmati Hidup
  • MENERIMA DENGAN UTUH (2)
  • Sudut Pandang Pernikahan: Apakah Mencintai itu Perlu?
  • Blogwalking

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose