Sepucuk Surat Merah Hati (13)

by - 21.56

“Saya merasa bersalah karena tidak memberi tahu Hanna dari awal, saya sudah berusaha mencari waktu dan kesempatan yang tepat untuk menjelaskan kepada Hanna, tapi saya tidak pernah sanggup.”

“Semua sudah terjadi, Dimas. Semoga kalian bahagia dengan jalan kalian masing-masing.”

“Terima kasih untuk kebaikan tante dan Hanna selama ini.” Dimas berlalu dari hadapan mama tanpa sempat kulihat wajahnya. Aku dan mama menatap kepergiannya sampai punggungnya tak terlihat lagi.

“Ma.” Sebelum menunggu jawaban mama, aku sudah menghapus air mataku dengan segera.

Selama tiga hari aku hanya berbicara seperlunya kepada beliau, entah kenapa hari ini aku mendengar mama berkata lembut kepada Dimas ada bagian hatiku yang tersentuh.


Ah, mama. Aku tahu, pasti beliau juga merasakan sakit sepertiku. Orang tua mana yang tidak akan tersayat hatinya jika anaknya sedang terpuruk seperti ini. Tetapi mama tetap saja masih bisa bersikap tenang dan lembut kepada Dimas. Jika aku yang berbicara dengan Dimas tadi, mungkin aku sudah berteriak-teriak memaki dan mengumpatnya. Terbuat dari apa hatimu, Ma?

Setelah mama meletakkan sekantong belanjaannya di dekat meja, mama duduk di kursi ruang tamu. Aku berhambur memeluknya.

Ini kali pertamanya aku memeluk beliau setelah tiga harian mengurung diri di kamar. “Kenapa orang tua Dimas lebih memilih Ayu, Ma? Apa karena Hanna bukan gadis yang baik?” Kulihat mata mama berkaca-kaca menatapku. Mama menghapus air mata dan menyibakkan poni rambutku yang menutupi mata.

“Hanna anak mama yang manis dan baik,” suara mama bergetar. Air mata mama mulai berjatuhan.

“Bukankah orang tua Dimas sudah mengenal Hanna sudah lama? Tapi kenapa mereka lebih memilih Ayu? Apa karena Hanna tidak bisa memasak dan sepintar seperti Ayu?”

“Mungkin mereka sudah lama ingin menjodohkan anak-anaknya. Suatu saat Hanna akan mendapatkan yang terbaik.” Aku terisak di pelukan mama.

“Hanna kecewa, Ma.” Suaraku terdengar serak.

“Hanna masih harus bersyukur. Hanna masih mempunyai kesempatan untuk mengobati kekecewaan itu, dan masih bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi. Sedangkan Ayu dan Dimas, mereka terbelenggu dengan pilihan orang tuanya di saat hati masih sama-sama terluka.” Aku menatap mama tak percaya dengan apa yang dikatakannya.

Di saat hati sudah hancur berkeping-keping seperti ini, masih saja mama bisa mencari celah untuk membuat hati ini tenang. Ma, ingin rasanya aku meminjam hatimu sampai sakitku tak terasa lagi, agar aku bisa kuat menerima kenyataan yang sangat perih ini.

Aku ingin bertanya sesuatu kepada mama, tetapi bibirku kelu untuk mengucapkannya. Setelah beberapa kali berusaha menenangkan diri, akhirnya aku bisa untuk mengucapkannya. “Apakah Hanna harus datang ke pernikahan mereka?”

“Apa Hanna bersedia datang?”

“Sebenarnya tidak....” Aku menelan ludah sebelum melanjutkan ucapanku. Mengumpulkan energi untuk bisa mengucapkannya.

“Tapi aku tidak enak hati dengan orang tua mereka jika tidak datang. Sempat aku berpikir, rasanya sayang sekali jika persahabatanku dengan Ayu dan keluarganya yang sudah terjalin bertahun-tahun putus begitu saja karena masalah ini.”

“Lalu maunya Hanna bagaimana?”

“Aku ingin tetap datang di hari kebahagiaan mereka, Ma. Tapi aku takut kedatanganku merusak suasana di sana.”

“Han, apa pun yang terjadi di sekitarmu adalah respon dari apa yang kau berikan. Jika kau bisa menunjukkan bahwa kamu bisa tersenyum di depan mereka, pasti mereka juga akan seperti itu.”

“A...apa Hanna kuat, Ma?” Aku memandangi mama seolah tak percaya.

“Anak mama selalu kuat.” Mama memelukku erat. kurasakan ada aliran kekuatan darinya ke tubuhku. Aku merasa lebih baik dari kemarin. Jika tahu seperti ini, kenapa aku tidak memelukmu dari kemarin, Ma? Agar aku lebih kuat lagi.

To Be Continued!

You May Also Like

2 komentar