Sepucuk Surat Merah Hati (19)

by - 13.05

Ini malam ketiga aku menaruh sekotak martabak dan sebuket bunga di meja makan. Setiap hari kubiarkan mereka tergeletak di sana. Lalu keesokan harinya, barang yang selalu kutemukan tergeletak di depan pintu rumah itu sudah tidak ada. Entah, mama membuang kemana barang haram itu.

Tanpa kuberi tahu, mama pasti sudah mengerti dari mana barang itu berasal. Karena aku juga membiarkan sepucuk surat merah hati di atas bunga teronggok tak terbaca. Mama pasti membacanya.

“Ma, kotak martabak dan bunganya Mama taruh mana?” tanyaku keesokan harinya saat melihat mama pulang membawa sekantong plastik sayuran.

“Martabaknya mama kasih ke tetangga sebelah, kemarin ke tukang rosok yang lewat depan rumah, dan hari ini ke tukang sayur. Kalau bunganya mama rendam air di botol plastik dekat kolam ikan belakang.”


“Oh.” Aku hanya menggumam

“Hanna kenapa? Mama perhatikan sejak dari pernikahan Ayu lebih sering diam.” Mama sibuk mengeluarkan barang belanjaannya.

Aku menggeleng lemah menjawab pertanyaan beliau. Aku duduk di meja makan sambil memegangi segelas air putih yang baru kuteguk sekali.

“Ada apa, Han? Ada sesuatu yang terjadi dengan perasaanmu?”

“Sebaiknya dulu aku tidak datang di pernikahan mereka, Ma. Rasa sakit itu terasa lagi.” Aku meremas gelas dalam genggamanku.

“Semuanya memang butuh proses untuk membaik. Ikhlaskan semua yang telah terjadi.”

Aku membuang napas dengan kasar. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Ikhlas dan sabar adalah kunci untuk menyembuhkan luka. Kalimat itu yang selalu rajin mampir di telingaku. Tetapi, itu semua tak semudah seperti yang orang bilang.

“Proses? Sampai kapan, Ma?”

“Semua tergantung Hanna.” Aku memandang mama dengan tatapan tajam.

“Ma, aku lelah dengan rasa sakit dan air mata ini. Apalagi setiap hari Dimas masih datang.” Suaraku sedikit meninggi sambil memukul meja pelan. Aku memegangi kening yang berdenyut-denyut.

“Mama tahu....” Dengan segera aku memotong ucapan beliau. “Mama tahu apa? Mama tidak pernah tahu betapa sakit dan terpuruknya aku. Sakit, Ma! Sakit!” Aku menekan-nekan dada yang terasa sesak.

Kulihat tangan mama akan memegang pundakku, tetapi segera kutepis kasar. 

“Sudahlah, Ma! Aku lelah. Sabar itu tidak semudah seperti yang Mama bilang, dan ikhlas itu tidak segampang apa yang Mama kira.”

“Han, tenangkan dirimu sedikit saja agar kamu bisa berpikir jernih.”

“Mama tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Mama jangan sok tahu.” Aku berdiri dari tempat dudukku. Mama mendongak.

“Han, apa yang membuatmu berubah seperti ini?” Mama berdiri di hadapanku. Menatap dengan serius. Tak bisa kulihat beliau dengan jelas karena tertutup genangan air di kelopak mata.

“Melihat mereka di pelaminan itu membuatku terbayang-bayang sampai sekarang, Ma. Bayangkan, jika Mama mengetahui orang yang Mama cintai itu bersama orang lain. Bukan hanya mendengar, tetapi melihat dengan mata kepala sendiri, bahkan mengucapkan selamat. Berpura-pura bahagia itu tidak menyenangkan, Ma. Sakit!” Aku terus mengucapkan luapan emosi kepada mama.

“Mama tahu, tetapi bukan seperti ini cara mengobati lukamu.” Mama mencoba meraih tanganku, kubuang tanggannya dengan kasar. Mata mama berkaca-kaca, tetapi tidak bisa menembus dinding nuraniku. Aku merasa murka dengan semua yang ada di sekitar.

“Lalu bagaimana, Ma? Mama mudah bilang seperti itu. Karena mama tidak pernah merasakan disakiti seorang laki-laki. Mama beruntung mendapatkan Papa yang begitu menyayangi dan setia sampai akhir hidupnya.” Mata mama membulat.

“Hanna juga bisa bilang seperti itu, karena Hanna tidak pernah tahu betapa Mama terpuruk saat Papa pergi bersama pilihan kedua orangtuanya. Betapa Mama tertatih-tatih membesarkanmu sendiri.” Sesaat aku diam.

Tidak ada isak yang terdengar, untaian kalimat yang terucap, bahkan detak jantung serasa melambat. Ucapan mama seperti sengatan listrik yang mengaburkan kesadaranku. Semua serasa gelap dan asing.

“Apa aku tidak salah dengar, Ma?” Aku menatap mama dengan beribu pertanyaan. Mama menggeleng lemah sambil mengusap air matanya yang telah tumpah.

“Mama bohong! Papa bukan orang yang seperti itu. Mama bilang, Papa orang yang penyayang dan setia.” Aku terdengar seperti membentak mama. Sangat keras.

“Han, Papamu masih ada. Selama ini Papamu hidup dengan keluarga keduanya.”

Serasa ada baja keras yang menghantam hatiku. Sangat sakit. Perasaanku tercabik sembilu, berdarah-darah, dan putus asa. Aku duduk lagi dengan lemah.

“Jelaskan apa yang terjadi, Ma!” Suaraku melemah. Bukan karena emosi yang telah menguap, tetapi aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk meluapkan perasaan.

Aliran darahku serasa berhenti, degupan jantung melambat, dan napas sangat sesak. Aku memejamkan mata menahan deraian air mata untuk kesekian kalinya. Kuhirup oksigen dan membuang karbondioksida, sangat menyesakkan.

“Han.” Suara mama terdengar parau. Beliau duduk di sampingku.

“Sebenarnya Papa belum meninggal. Beliau bersama keluarga keduanya. Pernikahan Mama dan Papa tidak disetujui oleh kedua orangtuanya, tetapi kami tetap menikah. Setelah enam bulan menikah, orangtua Papa sakit-sakitan lalu meminta Papa menikah dengan wanita pilihan mereka. Mama mengalah dan mengizinkan Papa menikah lagi. Kami dipaksa bercerai. Setelah sebulan bercerai, Mama baru tahu kalau sedang hamil. Sampai sekarang Mama tidak tahu keberadaan Papa dan beliau juga tidak tahu ada Hanna setelah kepergiannya.”

“Kenapa Mama berbohong?” Aku menatap Mama dengan nanar. Isakan tangisku terdengar tersengal-sengal.

“Agar kamu tidak melihat citra buruk seorang ayah. Mama tidak ingin Hanna membenci beliau.”

“Han, bersyukurlah, kau masih diperingatkan oleh Tuhan. Hanna masih lebih beruntung dari Mama.”

“Hari ini Mama membuka lembaran luka baru lagi untuk Hanna.” Aku berteriak membentaknya lalu berjalan cepat masuk ke kamar. Membanting pintu kamar dengan keras.


Aku memandangi diri di depan cermin. Wajahku memerah murka dan muak dengan semuanya. Aku membanting botol parfum dan semua barang yang ada di meja rias ke lantai. Melempar souvenir mug pernikahan Ayu ke cermin. Suara pecahan kaca terdengar bersahutan. Serpihan pecahannya mental ke segala arah. Terdampar di sudut-sudut kamar. Mama berjinjit-jinjit mendekatiku.

To be continued!

You May Also Like

1 komentar