Sepucuk Surat Merah Hati (22-End)

by - 17.56

Aku meminta mama untuk mengantar ke salon langganan kami. Aku ingin merapikan rambut yang kupangkas tak jelas. Panjang-pendek tak beraturan. Untuk menutupi malu, sekarang aku menutupi kepalaku dengan kupluk rajutan yang dibuatkan mama beberapa tahun lalu.

Saat menunggu antrean panjang, aku membaca majalah yang tertata rapi di rak pojokan dekat pintu masuk. Kulirik mama juga sedang membaca majalah di sampingku.

“Ma.” Aku menutup majalah yang ada di tanganku.

“Hmhmh.” Mama masih sibuk dengan majalahnya.

“Kok kemarin malam tidak ada martabak lagi di depan rumah?”

Mama tertawa kecil mendengar pertanyaanku.


“Kenapa? Hanna kangen martabak gratisan?” Aku melongo mendengar ucapan mama. Beliau tertawa kecil sambil menatap majalahnya.

“Ya, bukan. Tapi....” Ucapanku menggantung tak terselesaikan dipotong kalimat mama. “Dimas sudah Mama ceramahi panjang kali lebar kali tinggi. Tenang, dia tidak akan berani lagi datang.”

Aku tersenyum lega memandang beliau. “Kenapa senyum-senyum, Han?” Ternyata mama melirikku dari tadi.

“Aku merasakan keanehan,” jawabku.

“Apa?” Kening mama berkerut langsung menatapku.

“Aneh saja. Mungkin seperti ini rasanya orang move on, Ma. Mengingat sesuatu yang sakit dengan tersenyum, bahkan tertawa.” Mama tersenyum tipis mendengar ucapanku.

“Aku ingin menertawai diriku sendiri yang pernah tinggal di rumah sakit jiwa.” Mama tertawa memukul lenganku dengan majalah. Aku menahan tawa sekaligus malu.

Kulihat Lusi, pemilik salon, berjalan menghampiri kami.

“Lama tidak datang ke sini. Mau potong rambut siapa?”

“Aku,” jawabku sambil membuka kupluk saat suasana salon sudah sepi.

“Rambutmu?” Lusi terbelalak kaget melihatku. Aku hanya cengengesan di depannya.

“Kok bisa?” Dia memegangi rambutku berpindah dari helai satu ke helai lainnya.

“Sedang ingin gaya baru,” jawabku asal. “Cukup dirapikan saja, Lus.”

Setelah mematut di cermin begitu lama dan kupastikan rambutku benar-benar rapi, kupakai kuplukku lagi. Aku tidak percaya diri dengan rambut pendekku saat ini. Mungkin setelah rambutku mulai panjang, akan kulepas kupluk ini jika keluar rumah. Setelah membayar pada Lusi dan mengobrol kecil, aku mengajak mama pulang.

Saat di depan pintu salon, pandanganku bertemu dengan seseorang yang juga keluar dari distro yang letaknya tepat di samping salon Lusi. Dia menatapku begitu lama. Kuamati wajahnya masih sama seperti saat itu. Mata hitam dan pipi tirusnya sangat kukenali. Apalagi, kacamata gagang hitam yang bertengger di hidungnya yang kecil.

“Hanna!”

“Randu!”

Mungkin jika aku tidak berpura-pura gila, aku tidak akan memangkas rambutku. Tidak akan masuk rumah sakit jiwa dan datang ke salon Lusi. Serta tidak bertemu dengannya lagi. Tuhan selalu membuat pertemuan-pertemuan tak terduga. Menghadirkan tokoh baru di skenario selanjutnya.

Aku hanya tahu awal sebuah  cerita, tetapi tak pernah tahu bagaimana Tuhan mengakhirinya. Yang kutahu, aku harus terus berjalan memainkan skenarioNya.

Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu, itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita.

Terimakasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.

Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan
.


[Tentang kamu- Tere Liye]

You May Also Like

1 komentar