Sepucuk Surat Merah Hati (17)

by - 06.53

“Han.” Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari sumber suara.

“Iya?” Kulihat ada sesosok lelaki berkacamata dengan gagang hitam duduk di belakangku. Aku menoleh ke arahnya.

“Kamu Hanna, kan?” tanyanya.

“Iya. Kamu...?” Aku mencoba mengingat-ingat sosoknya, tetapi tak juga kutemukan wajahnya dalam kepingan memoriku.

“Aku Randu,” jawabnya. Bahkan, namanya saja terdengar asing di telingaku. Selama ini aku memang tak pernah mempunyai teman bernama Randu.


“Apa kita pernah mengenal sebelumnya?” tanyaku. Kali ini aku tidak sedang berpura-pura. Karena memang, sebegitu keras aku mengingatnya, tidak kutemukan dia dalam ingatan.

“Tidak, aku hanya sering mendengar tentangmu dari sepupuku, Ayu.”

“Oh.” Aku hanya menggumam mendengar penjelasannya lalu duduk dengan posisi semula.

Entah kenapa, aku tidak ingin bertanya lebih jauh lagi kepadanya. Aku sedang sibuk menata perasaan. Menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida bergantian untuk menenangkan perasaan.

“Ma, sepertinya waktu kita di sini sudah cukup.”

Aku berdiri, lalu mama mengikuti. Kita berdua berjalan beriringan menuju ke pelaminan. Meski pandanganku lurus ke depan, tetapi aku bisa melirik kanan-kiri yang melihatku dengan tatapan penuh tanya. Aku mengabaikannya.

Happy wedding, Ayu. Longlast, ya.” Mata Ayu berkaca-kaca menatapku, membuat potongan hati semakin terasa nyeri. Aku memeluknya erat.

“Han, aku minta maaf,” suaranya terdengar parau dalam pelukan.

I’m okay, Ayu. No problem between us.” Aku berusaha sekuat mungkin terlihat baik-baik saja.

Aku melepas pelukannya dan melihat ada air yang meluncur dari kelopak matanya. “Hey, ini hari bahagiamu. Tidak seharusnya kau menangis. Look at me! I smile and feel happy.”

Dia mengusap air matanya pelan, lalu aku memandang lelaki di sampingnya—Dimas.

“Dim, happy wedding, ya.” Aku menepuk-nepuk pundaknya.

“Han,” suaranya terdengar parau.

“Oh, ya, ini ada bingkisan buat kalian.” Aku menyodorkan pakaian yang dibuatkan mama terbungkus kertas berwarna merah hati. Kuabaikan raut sendu pada wajah Ayu dan Dimas. Tak kubiarkan suasana hatiku terpengaruh oleh mereka.

Aku tahu, mereka sedang bertanya-tanya, apa yang terjadi denganku hari ini. Bagaimana bisa aku datang ke pernikahan mereka dengan senyum yang mengembang seperti donat yang adonananya diberi fernipan. Semakin lama semakin membesar pipiku ini karena sering tersenyum ke arah mereka.

Ah, kalian. Jangan dikira tersenyum begini saja adalah hal yang mudah. Meski hanya lengkungan, tetapi aku butuh usaha keras untuk bisa melakukannya.

Mama di sampingku menyalami mereka berdua dengan terlihat baik-baik saja. Ayu dan Dimas mencium tangan mama dengan berulang kali meminta maaf. Mama hanya tersenyum lalu menyampaikan ucapan selamat dan doa-doa kecil.

“Bagaimana kalau kita berfoto? Seperti janjiku pada Ayu dulu, jika dia menikah, aku akan mengunggah fotonya di instagram.” Aku tersenyum riang menawari mereka.

Mereka berdua saling pandang lalu menunduk bersamaan. “Boleh, kan?” Aku mengulangi pertanyaanku lagi.

“Tentu, Hanna,” jawab Ayu masih dengan raut sendu yang sama.

Setelah kita berfoto menggunakan fotografer pernikahan Ayu, aku meminta difotokan dengan kamera yang sengaja kubawa.

“Bagaimana jika kufotokan?” Kulihat Randu berdiri mendekat ke arahku.

“Em, ada fotografer. Tidak perlu.” Aku menatapnya dengan canggung.

“Kamu ikut foto saja dengan kami.” Ayu angkat bicara.

Good idea.” Aku tersenyum ramah memandang Randu, dan dia membalasnya.

“Terima kasih.” Aku mengucapkan itu kepada mereka sambil melihat hasil foto pada kamera yang kupegang.

Setelah cukup, kami bertiga—aku, mama, dan Randu—berjalan meninggalkan mereka berdua yang duduk di pelaminan. Aku melangkah menuju pintu keluar. Namun sebelumnya, aku merasa ada pandangan yang menangkapku. Aku menoleh ke arah kanan. Pandanganku dan Randu bertemu. Hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu kulanjutkan langkahku lagi.

Aku datang membawa rasa sakit, dan pulang masih membawa rasa sakit yang lebih terasa. Kukira dengan datang ke sini akan menemukan obatnya, ternyata tidak. Ingin rasanya aku merutuki diri sendiri, bagaimana bisa mengobati luka dengan datang ke penyebab luka.

Teringat saat dulu kita bersama, kemana-kemana bersama, namun ternyata saat di pelaminan kita tidak bersama. Kebahagiaan kalian tetap akan menjadi kebahagiaanku. Happy wedding and longlast, My bestie.


Aku memenuhi janjiku pada Ayu. Mengunggah foto pernikahannya denganku ke instagram agar dunia tahu. Ya, agar dunia tahu ada rasa sakit yang tersirat dari kalimat itu.

To be continued!

You May Also Like

2 komentar