Sepucuk Surat Merah Hati (15)

by - 00.08

Kuoleskan lipstik peach tipis ke bibir bawah. Belum kulanjutkan, aku memandangi diri yang sedang mematut di depan cermin. Seharusnya hari ini aku dirias bukan untuk datang sebagai tamu undangan, tetapi menjadi mempelai perempuan. Aku menelan ludah merasakan kegetiran perasaanku. Rasa sakit itu terasa lagi.

Kupegangi pinggiran meja rias kayu kuat-kuat menahan sakit yang tiba-tiba menyergap diriku. Kukira mulai kemarin aku sudah baik-baik saja, ternyata belum sepenuhnya luka ini benar-benar sembuh.

Baja yang menghantam hati ini terlalu kuat dan dalam. Lubang lukanya sampai menganga  tak terlihat dasarnya. Kulihat mataku berkaca-kaca. Dengan cepat kuambil tisu di depanku. Kuhapus dengan kasar genangan air di kelopak mata. Rasanya ingin aku merutuki diri sendiri, kenapa aku menjadi gadis yang cengeng seperti ini.


Ayolah, Hanna! Bukankah kemarin malam mama sudah bilang, “Sekalipun nanti kamu menikah dengan Dimas, jika kamu tidak berjodoh dengannya, maka takdir akan tetap memisahkan kalian setelahnya.”

Seharusnya aku lebih peka dengan rencana Tuhan. Mungkin ini pertanda bahwa Dimas bukanlah yang terbaik untukku. Ada nama seseorang yang masih disimpanNya yang nanti akan tertulis di undangan merah hati bersama namaku.

“Janji Tuhan itu pasti, Han. Trust me.” Kalimat Liana kemarin malam masih membekas dalam ingatan.

Ya, Alsa dan Liana mengunjungiku. Menanyakan keadaanku yang beberapa hari ini sengaja tidak masuk kuliah karena mengurung diri di kamar. Untungnya, mereka datang saat keadaanku sudah membaik. Tidak kalut seperti awal mengetahui undangan itu.

Alsa bilang, “Kamu gadis yang kuat, Han. Sama sekali tidak kulihat raut sendu di wajahmu.” Saat itu juga hatiku diguyur hujan kesedihan. Tetapi mataku tetap kuat untuk menahan luapannya. 

Andai mereka tahu, bagaimana keadaanku beberapa hari lalu dan bagaimana mama selalu menguatkanku setiap hari. Memberikan kata-kata penyemangat duduk di samping tempat tidurku tanpa pernah kujawab. Mama tidak pernah putus asa saat nasi dan sayur yang dimasaknya dingin tak tersentuh di meja kamarku. 

Tapi biarlah, semua ini cukup Tuhan, aku, dan mama yang tahu. Orang lain tak perlu tahu dan merasakan apa yang kurasakan. Mereka hanya sebagai penonton dari apa yang hanya bisa terlihat oleh pandangannya.

Alsa dan Liana menawariku untuk ke pernikahan Ayu bersama-sama, tetapi aku menolak dengan alasan ingin datang bersama mama. Awalnya mama menolak untuk kuajak ke sana, beliau bilang, seharusnya aku datang bersama teman yang lain. Kurasa, aku bisa kuat datang ke sana jika didampingi mama. Seperti anak kecil memang, tetapi aku tak peduli. Lagian, mama juga mengenal baik Ayu dan keluarganya, jadi mereka tak akan curiga jika aku datang bersama mama.

Kulihat bedakku luntur karena buliran air mata. Kubersihkan wajahku dengan tisu lalu kusapu wajah dengan bedak kuning langsat ke pipi, kening, lalu dagu. Kulanjutkan lagi mengoleskan lipstik. Hanya dandan seperlunya lalu aku keluar kamar menemui mama.

“Ayo, Han!” ajak mama sambil membetulkan letak arlojinya. Aku berjalan ragu ke arahnya.

“Ma, sebaiknya aku tidak datang.” Aku menahan tangan mama.

“Kenapa?” Mama menatapku serius.

“Hanna ragu, Ma,” jawabku dengan nada takut.

“Hanna yakin tidak berangkat?” Aku menunduk melihat lantai putih sambil memainkan jemari kakiku yang tertutup flat shoes berpita merah senada dengan baju yang kupakai.

Aku berpikir lama tanpa memberi jawaban kepada mama.

“Han.” Aku memandangi mama dengan napas yang kuembuskan berkali-kali. Memutar bola mataku mencoba memahami apa yang diinginkan perasaanku.

 To be continued!

You May Also Like

3 komentar