"Semakin
ke sini aku semakin paham, semua proses dalam hidup kita adalah perjalanan untuk
mengenal Allah dan menemukan diri kita. Rasanya memang benar, kita tidak perlu
membanding-bandingkan hidup dengan orang lain karena setiap dari kita
sedang berjuang di garis masing-masing."
Selepas
Sholat Maghrib, aku dan ibu duduk bersebelahan menikmati dzikir masing-masing. Ekor
mataku sesekali menangkap gerakan ibu yang berulang kali mengusap air mata. Dan
terdengar suara isak tangis yang lirih. Mungkin beliau sedang berusaha menahan
tapi karena jarak kami sangat dekat, aku tetap bisa mendengarnya samar-samar.
Kulanjutkan
dzikirku, kubiarkan ibu melepaskan
tangisnya. Lalu setelah sudah selesai, aku menghadap ke arah beliau,
merangkulnya, lalu bertanya, “Kenapa, Bu?”
Tangis
beliau langsung pecah dan menceritakan apa yang membuatnya sendu hari ini. Aku
memeluknya dengan erat, mengucapkan sepatah dua patah kata untuk menenangkan. Beliau
tetap bercerita panjang lebar, mengulang kembali cerita masa kecilnya yang
tidak mengenakkan. Penuh dan perjuangan dan jauh dari kata bahagia rasanya
kudengar.
Kuusap
punggung beliau dan membesarkan hatinya dengan kalimat yang kuharap bisa
menjadi penyejuk jiwanya saat ini. “Ibu tuh selama ini sudah hebat. Membesarkan
anak cucu sampai di titik ini juga bukan perjuangan yang mudah. Nggak semua
orang bisa di posisi ibu.”
Ketika
itu mataku memanas, ada genangan air mata yang kutahan. Kutenangkan diriku, aku
tidak ingin suaraku terdengar bergetar. Sejujurnya, selain rasa sedih karena
melihat wanita yang kuncintai sedang tidak baik-baik saja, aku juga sedang
mengambil jatah sombong.
Aku sedang
kagum dengan diriku sendiri. Anik, yang dulu pernah menghabiskan setiap malam
untuk menangis karena tidak terima dengan orangtua, sekarang bisa berdamai dan
berempati untuk menenangkan orang yang pernah meninggalkan inner child dalam diri.
“Aku
nggak nyangka ada di titik ini,” kataku pada diri sendiri.
Tapi
memang benar, untuk bijak dalam segala sesuatu kita harus menggunakan helicopter view dalam melihat
permasalahan. Tidak cukup hanya mengandalkan sudut pandang kita yang lebih
banyak ke-subjektif-annya.
Butuh
waktu yang lama untuk aku bisa memahami sudut pandang orangtuaku dan
menerimanya. Bahkan, sampai aku bisa berempati dengan beliau.
Titik
puncak ikhlasku adalah ketika aku sudah mampu mendoakan agar Allah mengampuni
segala dosa orangtuaku. Apapun kesalahannya adalah ketidaktahuannya. Bahkan aku
sampai bilang kepada Allah, hamba bersaksi bahwa mereka adalah orang
baik, ya Allah. Jangan berikan siksa yang pedih untuk beliau. Hamba mohon masukkan
mereka ke dalam surga tanpa hisab atas segala perjuangan yang telah mereka
lakukan. Tolong, jangan azab mereka atas segala kesalahan yang telah terjadi. Maklumi
semua yang terjadi atas ketidaktahuannya.
***
Rumah
tangga orangtuaku adalah rumah tanga yang bisa dikatakan harmonis. Tidak pernah
di depan anak-anaknya, mereka bertengkar atau terlihat berseteru. Aku bisa
melihat mereka adalah satu kesatuan, partner tektok yang tepat dikatakan “sepasang”.
Karena makin dewasa, aku makin takut jika salah satu dari mereka ‘berpulang’
dan tidak sanggup melihat salah satu dari mereka patah hati karena kehilangan. Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana bapak tanpa ibu, begitu juga sebaliknya. Tidak
ada obat yang bisa kutawarkan untuk orang yang kehilangan selain berdamai
dengan rasa kehilangan itu sendiri.
Tapi,
luka masa kecil mereka yang masih tertinggal dalam tubuh dewasa mereka lah yang
mengubah cara pandangku berbeda.
Anik
tumbuh dengan limpahan perhatian tapi dengan ungkapan kasih sayang yang
implisit. Menurut bapak, memberi nafkah dan memenuhi segala kebutuhan anak
istrinya adalah bentuk cinta tanpa syarat. Namun sayangnya, beliau lupa hati
anaknya harus diisi dengan pujian dan rengkuhan pelukan. Beliau mungkin juga
tidak tahu, putrinya butuh disediakan telinga untuk menampung segala cerita. Putrinya
ingin menjadi pemenang satu-satunya yang bertahta dalam hati beliau dengan cara
ditatap di sela obrolan mendalam dan disentuh sekali-kali.
Aku
tahu, masa kecil ibu penuh dengan perjuangan untuk bertahan hidup. Ada banyak
keputusan yang tidak bisa diambil dalam keterbatasan. Tapi sayangnya, Anik
kecil dulu tidak mau tahu itu semua. Yang ingin aku tahu ibu adalah menjadi
rumah yang hangat. Memelukku sambil mendongengkan cerita sebelum tidur. Menjadi
penenang ketika dunia makin terasa tidak adil dengan segala dramanya. Mengenalkan
dunia dengan sudut pandang yang menyenangkan.
Makin
dewasa, makin banyak figur orangtua dari orang lain aku jadi
membanding-bandingkan. Makin banyak belajar parenting, makin pandai rasanya aku
mencari kesalahan orangtuaku. Dan makin dalam aku menggali lukaku sendiri. Sampai
akhirnya lukaku menganga begitu lama tanpa pernah kutahu apa obatnya. Puncak dari
rasa kekecewaan itu adalah masa kuliah. Makin mengenyam pendidikan, aku makin
merasa lebih benar dari orangtuaku.
Setiap
hari menjalani hari dengan diberati rasa kecewa yang kubangun sendiri. Tapi syukurnya,
aku tidak pernah mengungkapkan ini kepada siapa pun, pun juga orangtuaku. Di
mata mereka, aku masih menjadi anak yang manis sikapnya. Tapi mereka tidak
pernah tahu bahwa malam adalah milikku, waktu untuk menghabiskan persediaan air
mata. Kukira semakin mengurasnya akan semakin berkurang kesedihanku, tapi
ternyata makin menumpuk tanpa pernah terurai solusinya.
Dan untuk
hati, memang benar waktu lah yang akan menyembuhkan. Tapi tentu, bukan hanya
berpasrah. Kita berusaha untuk lebih mendekati Allah. Memohon agar Allah
memberi kesembuhan atas hati yang telah remuk berkeping-keping. Aku bersyukur,
kala itu Allah memberiku pemahaman, bahwa surga tidak akan pernah terbuka untuk
aku yang membenci orangtuaku sendiri. Itulah yang membuatku bertahan untuk
terus tetap berbuat baik kepada beliau-beliau.
Lalu akhirnya,
Allah memberikan kelembutan hati padaku ketika aku mendengarkan cerita ibu. Ibu
berkisah tentang beratnya takdir yang harus dijalani. Tentang kakak perempuanku
yang rumah tangganya bermasalah, kakak laki-lakiku sedang repot mengurusi
pernikahan, dan aku yang sedang terkena masalah ketika itu. Itu semua harus
dihadapi beliau dalam satu waktu tanpa aku tahu.
Detik
itu juga kebencianku serasa runtuh. “Bu, boleh aku pinjam hatimu sebentar saja?”
ingin rasanya aku berkata seperti itu saat itu.
Ternyata
menjadi orangtua tidak mudah. Sampai kapan pun nanti, kami anak-anaknya tetap
menjadi anak kecil untuk mereka. Tanggung jawab orangtuaku ternyata berat. Aku yang
selama ini tidak tahu-menahu hanya sibuk menyalah-nyalahkan.
Dan akhirnya
ke-flashback semua yang terjadi. Tahun
2014 ketika aku menjadi maba, aku sibuk ngurus berkas untuk verifikasi daftar
ulang di suatu kampus. Aku hanya butuh waktu beberapa jam untuk mengurus
berkas, sedangkan aku juga harus berkemas untuk pindahan ke kota yang waktu
tempuhnya 8-10 jam dari domisili. Akhirnya, tanpa ada pembagian tugas, dengan
sendirinya bapak mengemas barang-barangku, ibu menyiapkan bekal buka puasa dan
sahur aku dan bapak di jalan. Karena saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Bapak menemani segala prosesku sampai aku dapat kos.
Lalu 5
bulan di perantauan, aku sakit infeksi lambung. Setelah Shubuh kutelfon, bapak
langsung berangkat ke Jember menjemputku. Sesampainya di sana, hanya makan dan
sholat, bapak langsung kembali ke Kediri membawaku. Aku opname di rumah sakit. Ibu
menunggu dan mengurusiku seharian, dan bapak menjengukku setelah selesai
bekerja sampai malam. Seminggu opname, akhirnya aku sembuh. Aku harus kembali
ke kampus. Karena aku belum pernah perjalanan sendiri ke tempat yang jauh,
bapak mencoba untuk mengajariku mandiri. Mengantar sampai di terminal Surabaya
untuk transit, mencarikan aku bus, menungguiku sampai busku berangkat ke
Jember. Aku ingat sekali, ketika aku pamitan mencium tangan beliau aku
menangis. Sedih karena akan jauh dari orangtua dan takut harus pergi sendiri. Aku
tahu pasti beliau tidak tega denganku ketika itu, tapi aku sangat paham beliau
harus melakukan itu agar tidak ketergantungan kemana-mana harus diantar. Dan nyatanya,
sekarang aku menjadi Anik yang mandiri berani kemana-mana sendiri, bahkan
sampai sekarang aku tinggal di tempatku sendiri.
Ketika
sadar akan segala kebaikan beliau, ingin rasanya aku membodoh-bodohi diriku
sendiri. Kenapa bisa, aku sebuta itu dengan cinta mereka?
Aku tahu,
mereka tidak sehangat orangtua yang lain, ada banyak cara marah mereka yang
keliru, ada banyak cara mendidik mereka yang tidak relevan lagi saat ini.
Tapi Ust.
Oemar Mita menyampaikan, maafkan orangtua kita, agar kelak kita juga dimaafkan
anak-anak kita. Jangan sampai kita sibuk melihat keburukan keluarga kita,
sampai kita lupa untuk mensyukuri hal baik di dalamnya.
Aku juga
jadi sadar, kalau pengen salah-salahan, seharusnya nenek moyang yang harus
disalahkan. Karena orangtuaku adalah produk parenting zaman dulu.
Tapi, yang bisa dilakukan sekarang adalah memutus rantai kesalahan itu.