Sepucuk Surat Merah Hati (20)

by - 13.08

Suaraku melengking keras saat jarum itu menusuk kulit. Tempat ini lebih layak disebut tempat konveksi, dibandingkan rumah sakit. Di sini kulit manusia beda tipis dengan potongan kain yang bisa ditusuk jarum berulang kali.

Para wanita berseragam putih menjelma seperti malaikat berulang kali datang tanpa iba membawa pil-pil pahit. Membawa nampan makanan yang nantinya akan jadi bahan mainan para pasien.

Aku hanya memandangi mereka dengan tatapan kosong. Tidak menyangka, tempat ini menjadi bagian dari cerita hidup. Meski sebenarnya merutuki diri sendiri, kenapa aku rela menjebloskan diri ke tempat ini, tetapi aku merasa lebih nyaman di sini.

Aku sudah lelah berpura-pura terlihat lapang dada. Itu malah membuat kepingan hatiku semakin retak tak berdaya.


Aku lelah melihat mama menangis di depan pintu kamarku menyuruh makan. Bahkan, mama sempat kelimpungan mencarikan pengganti Dimas untukku.

Sampai akhirnya aku menyerah, dan memutuskan memainkan skenario yang kurasa bisa membuat lega. Dengan begini aku bisa menjauh dari segala hal tentang Dimas.

Aku pura-pura menjadi gila. Semua baju yang tergantung di almari kugunting, tempat tidur kuacak-acak, bahkan rambutku sendiri aku pangkas tak jelas. Aku teriak-teriak seperti orang tak waras. Mama menjerit melihat keadaanku, tetapi sama sekali tak kuhentikan aksi gila itu. Aku melompat-lompat di tempat tidur sambil teriak kegirangan.

Sepertinya aku telah menjadi gila layaknya mereka. Aku ikut tertawa saat mereka bermain boneka seperti anak kecil, dan mendorong ranjang sampai membuat ruangan gaduh.

Aku ikut kesal saat teman seruanganku mainannya diambil teman yang lain, atau rambut panjangnya ditarik-tarik pasien lain.

Melihat mereka menjadi obat dari rasa sakit yang pernah menyayat. Ada lubang di hati ini yang masih menganga dan berulang kali memanggilku meminta diobati.

Biarlah, di sini aku sudah bahagia. Sekalipun nanti aku disebut gila oleh orang lain. Asal aku bahagia, dan bisa melupakan cerita pahit seperti pil yang sering kutelan setiap hari, semuanya akan baik-baik saja.

Setiap hari, ada wanita dewasa yang rajin menyambangiku. Memandangi dari balik pintu kaca. Melihatku dengan deraian air mata. Dari gerakan bibirnya aku bisa tahu apa yang dikatakannya, “Hanna pulang, Nak. Mama rindu.”


Aku tersenyum getir melihatnya. Berpura-pura tak iba, padahal hatiku teriris melihat mama menangisi. Aku berpura-pura tertawa gila melihat mama, padahal hatiku bergemuruh sakit merasakan rasa pahit kehidupan ini.

To be continued!

You May Also Like

2 komentar