Sepucuk Surat Merah Hati (18)

by - 13.02

Sesampainya di rumah, aku hanya diam tanpa mengajak mama berbicara sedikit pun. Aku mengunci diri di kamar seharian. Perasaan kembali kalut. Menyesal sudah datang ke pernikahan mereka. Masakan mama di meja makan juga tak kusentuh sekali pun.

Hanya saat malam, aku ke luar kamar untuk menonton TV. Suara TV sangat keras menyaingi hujan lebat di luar. Acara yang kutonton adalah tayangan komedi, tetapi sulit rasanya menertawai acara itu. Bagiku mereka hanyalah gambar bergerak untuk mengisi kebosanan, bukan kekosongan hati.

 “Han, kamu tidak makan?” Terlihat separuh kepala mama dari celah pintu kamarnya yang terbuka. Aku menggeleng.

Aku mengganti channel TV berulang kali. Tidak ada yang menarik menurutku. Terdengar ketukan pintu yang keras dan berulang-ulang. Aku memandangi pintu depan yang bergetar-getar karena terlalu keras diketuk.


Mama keluar dari kamar menatapku. Tatapannya mengisyaratkan siapa yang datang malam-malam hujan begini. “Biar Hanna saja, Ma.” Aku beranjak dari sofa ruang tengah lalu membukakan pintu.

Baru setengah daun pintu terbuka, kulihat ada Dimas berdiri dengan bertubuh basah karena hujan. Aku segera menutupnya. Tangan kuat Dimas mendorong pintu menghalangiku. Kakiku sedikit terpeleset ke belakang karena dorongannya terlalu kuat. Aku terus mendorong pintu itu, tetapi kalah dan terjatuh.

“Han, aku tersiksa dengan keadaan ini.”

Untuk pertama kalinya kulihat dia berderaian air mata. Laki-laki yang kukenal begitu maskulin itu terlihat sangat cengeng di depanku. Selalu saja, di depannya aku tidak bisa meneteskan air mata. Aku selalu berhasil terlihat baik-baik saja. Napasku masih tersengal-sengal karena mengeluarkan terlalu banyak tenaga saat mendorong pintu.

Dimas berjalan mendekati dan mencoba memegang tanganku. Aku bangun lalu mundur menjauhinya. “Jangan coba mendekat. Kamu pulang sekarang!” Aku membentaknya.

“Han, jangan berpura-pura. Pasti kau juga ingin kita kembali seperti dulu.”

“Tidak. Aku tidak akan pernah mau dengan suami orang.” Aku menatapnya seperti harimau menatap mangsa. Sangat tajam.

“Aku masih mencintaimu, Han.” Suara Dimas terdengar bergetar.

“Dim, saat ini yang menjadi istrimu itu Ayu. Bukan aku. Tidak sepantasnya kamu mendatangiku lagi. lupakan aku dan berbahagialah dengan kehidupanmu yang baru.”

“Aku tidak bisa.” Dia tertunduk lemah di lantai. Ada perasaan iba melihatnya.

“Dim, bayangkan saja yang setiap malam bercumbu denganmu itu aku. Anggap saja yang kau kecup keningnya dan yang mencium pipimu setiap pagi itu aku. Tapi itu hanya beberapa hari saja, setelah itu kau harus menyadari bahwa itu Ayu.”

Aku menelan ludah, lalu melanjutkan kalimatku. “Jangan terlalu lama menyakitinya. Lama-lama kau akan terbiasa dan bisa melupakan aku. Aku yakin pasti kau akan bahagia.”

Dia menggenggam tangannya kuat. Wajahnya memerah menahan emosi yang sangat menyiksa. Aku menunduk mengikutinya. Menatap wajahnya yang membasah keringat dan air mata. Dingin karena air hujan yang membasahi tubuhnya tak terasa. Emosi yang membelenggunya membuat dia panas seperti di atas bara api. Aku bisa melihatnya.

“Dim, dengarkan aku! Tidak ada yang kita lakukan selain menerima takdir dengan lapang dada. Bukankah kau yang pernah datang kemari, lalu mengatakan untuk tidak mencintaimu berlebihan? Kau juga bilang jodoh itu ada di tangan Tuhan.”

“Tapi menerima itu semua tidak mudah, Han.”

“Pulanglah sekarang, Dim! Jangan membuat Ayu menunggu terlalu lama.”

“Aku ingin kau yang menjadi tempatku pulang.”

“Tetapi takdir tidak selalu sama dengan yang kita inginkan.” Dimas menangkap kedua bola mataku. Tatapannya penuh harap. Aku menunduk menyembunyikan gambaran kepingan rasa yang masih ada di mataku.

Setelah aku berhasil menyuruhnya pulang, aku menutup pintu lalu berbalik ke ruang tengah. Aku tersentak saat ada orang berdaster putih berambut panjang terurai berdiri tepat di belakangku tanpa suara.

“Ma.” Mataku membulat dan mulutku menganga melihatnya.


“Apa Mama bilang, anak Mama pasti kuat.” Beliau tersenyum tipis sambil bersedekap.

To be continued!

You May Also Like

1 komentar