Aku
membuang kertas surat itu dengan kasar. Ada bagian potongan hati yang terasa
nyeri saat mengetahui lembar kebohongan itu terbuka. Terasa ada petir yang
menggelegar menyambar diriku. Sangat terasa sakit.
“Han.”
Mama memegangi pundakku.
Aku
membuang tangan mama dengan kasar. Bagiku mama sama saja, beliau juga menutupi
kebohongan. Aku tak sempat melihat wajahnya. Pandanganku sudah memburam, aku
sibuk menghapus buliran air mata yang membasahi tebing pipi. Aku berdiri dengan
lemah, lalu berjalan pelan menuju kamar.
“Han.”
Terdengar suara mama yang lemah diiringi isak tangis tertahan.
“Hanna
ingin sendiri.” Suaraku terdengar parau. Kubanting daun pintu dengan keras. Tak
kupedulikan mama di luar sana.