Sepucuk Surat Merah Hati (21)

by - 00.30

Untuk sementara, aku bisa lega berada di tempat yang jauh dari Dimas. Aku tidak lagi mendengar namanya dan melihat segala tentangnya. Tetapi ternyata, hatiku seperti digerus saat melihat mama tiap hari datang dengan tangisannya.

Sudah lima hari aku mencoba bertahan, tapi pertahananku runtuh karena mama yang tak putus asa menyambangi tiap hari. Kulihat mama selalu tertawa dengan mata berkaca-kaca, setelah tak tahan menahan tangisnya, mama pergi begitu saja.

Sempat aku bertanya pada diriku sendiri, kapan aku keluar dari sini. Mereka yang benar-benar gila akan keluar jika sudah sembuh. Sedangkan aku, bukan orang gila layaknya mereka. Aku waras dan sadar sesadar-sadarnya.

Setelah lama batinku berkecamuk, aku luluh untuk menemui mama. Aku bilang kepada perawat, agar aku dipertemukan dengan mama. Meski awalnya perawat itu kaget mendengar permintaanku. Ya, bagaimana mungkin orang baru gila bisa meminta bertemu keluarganya. Perawat itu pasti tahu aku meminta itu dalam keadaan sadar. Setelah obrolan panjang, dan perawat itu benar-benar yakin aku sudah membaik, akhirnya diizinkan.


“Mama apa kabar?” Tangisku pecah memeluk mama. Kami diizinkan bertemu di sebuah tempat tunggu dekat dengan ruang perawat. Hanya kami dan dua pengunjung lain yang sedang duduk di kursi panjang ini. Suasana tempat ini lengang.

“Baik. Hanna sudah sehat?” Mama memegangi kedua pipiku dengan menangis sesenggukan. Aku mengangguk dengan memejamkan mata mati-matian menahan tangis agar tidak tumpah lebih banyak lagi.

Aku dan mama mengobrolkan banyak hal. Mulai dari kesepian mama di rumah, betapa rindunya mama denganku, dan cerita lucu lain dengan tetangga sebelah.

“Ada yang nyariin Hanna, dia tiap pagi main ke rumah,” kata mama tiba-tiba. Mataku membulat. Pasti Dimas datang lagi ke rumah.

“Siapa, Ma?” tanyaku penasaran.

“Pak Rahmat,” jawab mama sambil tertawa renyah.

“Apa sih, Ma.” Aku mencubit lengannya pelan sambil menahan tawa.

“Katanya dia nyariin Hanna mau dijadiin mantu.” Kali ini tawaku dan mama beradu.
Aku teringat, pagi-pagi bertemu Pak Rahmat tukang sayur di depan rumah. Saat itu aku membuka gerbang akan berangkat kuliah, lalu Pak Rahmat memanggilku dengan sebutan “mantu idaman”. Semenjak saat itu, Pak Rahmat selalu menanyakan aku pada mama. Salam dari beliau selalu rajin mampir untukku. Setiap pagi mama menggodaiku habis-habisan dan aku hanya manyun di depannya.

“Han.” Mama mengembuskan napas terdengar sangat panjang. Ada nada serius yang terdengar.

“Mama minta maaf atas kesalahan mama selama ini. Terlalu banyak kebohongan yang mama tutupi.” Aku hanya memandangi mama dari samping.

Mengamati setiap lekuk wajah cantik mama yang lama tak kunikmati sedekat ini. Bulu mata panjang dan lentiknya terlihat naik-turun karena matanya sering berkedip. Hidungnya yang besar seperti jambu air terlihat kembang-kempis menarik dan membuang napas. Serta bibir mungilnya yang sedang bergerak-gerak berbicara padaku.

Wanita secantik dan sebaik mama tidak pantas disiakan laki-laki. Mama patut mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tenggorokanku tercekat saat mengingat mama pernah bilang, “Bagaimanapun hidup mama, semuanya akan membaik jika ada Hanna di samping mama. Memiliki Hanna sudah lebih dari cukup.”

Aliran hangat itu mengalir ke tebing pipiku. Semua kenangan bersama mama terputar otomatis layaknya film.

“Han, kau ingat saat masih SD dulu? Saat guru Hanna memberi tugas menulis kenangan bersama ayah. Lalu Hanna bertanya pada mama, apa yang bisa kau tulis jika Hanna saja belum pernah melihat Papa. Lalu mama menyuruh Hanna menceritakan kenangan saat Hanna masih kecil. Saat Hanna sering digendong dan diajak bermain ke taman kota atau ke lapangan sepak bola tak jauh dari rumah setiap sore. Melihat para tetangga berlomba-lomba menerbangkan layang-layang paling tinggi. Melihat burung blekok sawah dan capung berlomba terbang di sawah dekat rumah. Dan, itu semua hanya khayalan mama.”

Diam-diam aku menggenggam tangan mama. Merasakan kehangatan tubuhnya yang lama kurindukan.

“Hanna masih ingat? Saat guru bahasa Inggris Hanna menugaskan membuat tulisan tentang seorang pahlawan, Hanna menulis sebuah tulisan My Father My Hero. Dan mama bangga, karena Hanna bersorak gembira tulisan itu mendapat nilai A. Mama diam-diam menangis suatu malam membaca tulisan Hanna. Mama menangis karena semua cerita itu hanya manis menjadi sebuah dongeng. Tetapi mama senang karena Hanna selalu bilang bangga mempunyai ayah seperti Papa. Bahkan, Mama sempat heran saat anak seusia SD seperti Hanna sudah bisa bercerita ingin mempunyai suami sebaik Papa.”

Mama sesenggukan menangis di sampingku. Aku merangkulnya lalu bersandar di bahu beliau.

“Ma, dongeng yang mama ceritakan tentang Papa setiap malam terasa begitu nyata, sampai Hanna percaya dan selalu hadir dalam mimpi Hanna. Dalam setiap doa, Hanna selalu menyelipkan nama Papa. Hanna bilang kepada Tuhan, ingin dipertemukan di surga.”

Tangisku dan mama beradu. Tak memedulikan beberapa orang yang berjalan melewati kami.

“Mama berjuang sendirian membesarkan Hanna. Setiap malam begadang seorang diri merawat Hanna yang sering sakit saat kecil. Mengantar Hanna keluar-masuk rumah sakit. Tapi mama tak pernah keberatan dengan itu semua.”

“Ma, jika Hanna ingin dipertemukan papa, apakah mama bisa?”

Mama mencuri waktu untuk bernapas sesaat, lalu menjawab pertanyaanku, “Akan Mama usahakan, tapi Mama tidak bisa berjanji.”

 “Han, pulang, ya! Hanya Hanna yang Mama miliki.”


“Iya, Ma. Hanna sudah bosan menjadi orang gila.” Lagi-lagi tawa kami beradu, terdengar renyah.

To be continued!

You May Also Like

0 komentar