Sepucuk Surat Merah Hati (16)

by - 06.45

Tulang-tulangku serasa lemah memandangi mereka duduk berdua di pelaminan. Ada perasaan sakit yang semakin terasa di sudut hati saat pertama kali masuk ke gedung megah ini. Bau melati mulai mengoar di hidung, dan sepasang mempelai mengenakan gaun putih yang tertangkap pandanganku menambah sesak.

“Han.” Mama menyenggol lenganku. Aku terlihat diam memandang mereka.

“Ayu cantik, Ma.” Aku tersenyum memandang mama dengan berkaca-kaca.

“Hanna lebih cantik,” ucapnya. Aku tertawa geli mendengar gurauan mama, lalu membalas menyenggol lengannya pelan.

Saat aku dan mama duduk untuk makan beberapa hidangan, ada teman-teman kuliah yang memandangiku dengan aneh. Pasti mereka iba melihatnya. Aku mencoba terlihat seperti biasanya. Terlihat kuat, meski sebenarnya hati ini rapuh.


Beberapa kali aku menggenggam tangan mama keras-keras agar bisa menahan tumpahan air mata. Sungguh, ini bukanlah hal yang mudah. Aku bukanlah aktris yang pandai bersandiwara, apalagi untuk hal yang semenyakitkan ini.

“Hanna, apa kabar, Nak?” Ada seorang wanita dewasa bersanggul di depanku. Aku tak mungkin lupa dengan wanita yang melahirkan dan membesarkan Dimas.

“Baik. Tante apa kabar?” Aku tersenyum bersalaman dengan beliau. Mama juga tersenyum menerima uluran tangan mama Dimas.

“Juga baik. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian. Boleh saya duduk di sini?” 

Beliau menunjuk ke kursi depanku. Aku dan mama berpandangan, lalu mengangguk mengiyakan.

“Han, saya sekeluarga meminta maaf atas hal ini.”

“Saya yakin perjodohan ini sudah direncanakan sejak lama. Kalau memang begitu, seharusnya tante tidak perlu menerima saya sejak dulu.” Aku tidak menatap mama Dimas. Kutundukkan kepalaku menyembunyikan raut sendu.

“Bukan maksud kami tidak menerimamu, Han. Sungguh, selama ini kami menyetujui hubungan kalian. Tapi kamu tahu, kan? Tante dan Dimas adalah anak tunggal. Sehingga semua pilihan hidup kami diatur oleh Kakek Dimas. Kami tidak bisa membantah permintaan antara Kakek Dimas dan Ayu.” Aku memandang mama Dimas dengan serius.

Kepingan memoriku berkelebatan. Aku teringat, bagaimana kakek Dimas memperlakukanku. Ya, orangnya memang terlihat baik-baik saja di depanku. Tetapi, begitulah. Sekali pun aku tak pernah diajaknya mengobrol. Dimas bilang, beliau memang orang yang tidak mudah berbaur dengan orang baru. Aku memahaminya. Meski sudah empat tahun aku mengenal keluarga beliau, tetap di matanya aku hanyalah orang baru yang tak akan pernah dikenalnya.

“Perjodohan ini memang sudah lama. Tapi Dimas sendiri baru mengetahuinya setengah bulan yang lalu.” Aku tertegun mendengarnya.

Enam bulan bukan waktu yang sedikit untuk menyimpan rahasia besar ini. Meski aku sudah merasa Dimas berbeda enam bulanan terakhir ini, tetapi aku tak pernah mempunyai pikiran buruk terhadapnya. Kukira, waktu empat tahun sudah cukup untuk bisa memberinya kepercayaan. Ternyata, tidak!

Apakah jujur kepadaku itu sulit, Dim?

Andai saja dari awal aku mengetahuinya. Mungkin saja saat aku datang ke pernikahanmu hari ini lukaku sudah cukup kering. Aku tidak datang dengan lubang luka yang masih banyak balutan.

“Jodoh saya dan Dimas sudah ada yang mengatur, Tante. Memang inilah takdir yang harus kita terima. Saya dan mama meminta maaf kalau selama ini ada salah dengan keluarga tante.”

“Saya yang salah, Han.” Beliau berhambur memeluk dan mencium pipiku. Ada perasaan haru yang menyeruak.

Wanita yang gagal kupanggil mama itu berhasil mengaduk-aduk perasaanku. Ingin rasanya aku menjadi bagian dari keluarganya. Tetapi, ah sudahlah....Terlalu sakit untuk dijelaskan.

Mama hanya diam di sampingku menyimak obrolan kami. Beliau tersenyum saat berulang kali mama Dimas mengucapkan maaf.


Setelah obrolan terasa cukup, mama Dimas kembali ke depan pintu masuk bersama kedua orangtua Ayu. Sekalipun aku dekat dengan keluarga Ayu, tetapi hanya kakak lelaki Ayu—Kak Galang—yang mengetahui hubunganku dengan Dimas. Orangtua Ayu tidak mengetahui hal ini. Mereka terlihat baik-baik saja.

*To be continued!

You May Also Like

5 komentar