Sepucuk Surat Merah Hati (12)

by - 21.38

*Maaf telat banget ya ngepostnya. Karena tidak bisa memakai alat komunikasi beberapa hari lalu jadi nggak bisa nulis dan ngeblog dulu. Ada yang bilang nggak kangen aku, tapi kangen cerbungku. Huhuhu. Alhamdulilah, setidaknya ada yang dikangenin wkwk :D udahah ah, aku kalo udah ngomong jadi panjang nanti urusannya. Langsung aja baca lanjutannya gaeess, jangan bosen baca ya meskipun ini masih jelek pake banget, semrawut acakadut, kritik saran boleh kok di kolom komentar. Nggak dimarahin, justru malah aku terima kasih banget udah diperhatiin *kedip-kedip* #Yakan intermezzo jadi panjang gini. Udah ah :D


Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali, karena ruang kamarku yang berada paling depan, bisa kudengar suara itu sangat jelas. Mata masih enggan untuk terbuka. Kukira, suara itu terdengar dari alam mimpi, tetapi semakin lama semakin terdengar keras.

Kubuka mata pelan dan kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Meski korden jendela sampingku belum terbuka, tetapi bisa terlihat di luar sana sudah sangat terang. Cahaya mentari sudah masuk ke celah-celah ventilasi kamar.

Mungkin pagi ini mama masih belanja, dari tadi suara ketukan pintu itu masih terdengar dan tidak ada yang menyahut dari dalam. Kusibakkan selimut lalu berjalan gontai sambil mengusap-usap kedua mata. Dengan malas kubuka pintu depan, terlihat ada sosok lelaki yang memunggungi. Tanpa dia membalikkan badan, aku sudah tahu siapa dia. Dari caranya berdiri, potongan rambut, bahkan kaos jersey kesukaan yang dipakainya saat ini.


Dengan buru-buru aku menutup pintu dengan kasar sebelum dia melihatku. Napasku memburu karena terkejut dengan kedatangannya pagi ini. Kukunci pintu rapat-rapat.
“Han, aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya!” Dia memukul pintu rumahku dengan kasar.

Telingaku panas mendengar teriakannya. Ingin rasanya aku membuka pintu, lalu memaki-maki, memukuli, bahkan menamparnya sepuasku. Tapi selalu saja, amarah yang ada pada diriku hanya mengendap lalu terakumulasi menjadi gumpalan emosi dan pecah menjadi tetesan air mata.

Saat aku bertengkar hebat dengan sepupu sewaktu SMP dulu, mama pernah bilang, kemarahan hanya akan menyisakan penyesalan, lebih baik diam dan tenangkan dirimu. Semenjak saat itu, aku takut untuk meluapkan amarahku kepada siapa pun.

Setiap amarah yang terluap selalu berhasil membuatku mengucapkan kata-kata pedas yang bisa menyakiti banyak hati. Aku takut luapan kemarahanku akan menjadi aliran air yang bisa membuat orang terpeselet dan terluka.

Sehingga aku lebih memilih diam. Mematikan ponsel dan tidak menengok media sosialku selama tiga hari ini. Meski awalnya aku tidak bisa tanpa melihat dunia luar, tetapi kurasa ini jauh lebih baik, daripada nanti aku terguncang dengan serbuan pesan-pesan dari Ayu atau pun Dimas.

Bagiku, tidak ada yang perlu dijelaskan di antara kita. Mereka dijodohkan, menikah, dan urusan selesai. Sudah saatnya kita berjalan di jalan masing-masing dan tak ada yang perlu didebatkan.

“Han, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.” Terdengar suara Dimas bergetar di balik pintu. Aku menghela napas menenangkan diri.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Dim. Kau pulang sekarang!” Suaraku terisak.

“Ada yang harus aku bicarakan.”

“Di antara kita sudah selesai.” Aku menyumpal mulut dengan kedua tangan agar tangisku tidak sampai terdengar dari luar. Aku terduduk lesu di dekat pintu menahan rasa nyeri yang semakin terasa karena kedatangannya.

Lama sekali tak kudengar apa pun dari luar. Mungkin Dimas sudah pulang karena terlalu lelah membujukku untuk keluar dan nyatanya tak berhasil. Saat aku berdiri dan akan melangkahkan kaki kembali ke kamar, terdengar ada obrolan kecil di luar.

Tak terdengar jelas suara siapa yang ada di depan. Kuintip dari balik jendela depan, kulihat mama membawa sekantong plastik sayuran berdiri di hadapan Dimas. Kulihat mereka sedang membicarakan sesuatu. Suara mereka hanya terdengar seperti dengungan lebah; tak jelas.

Akhirnya aku memutuskan untuk membuka pintu dan memperlihatkan diri. Baru separo daun pintu terbuka, kudengar suara Dimas lirih namun jelas, “Maaf saya sudah berusaha, tapi ternyata tetap tidak bisa memperjuangkan Hanna.”

Dengan lembut mama menepuk-nepuk pundak Dimas. “Sekeras apa pun kita menolak, jika memang ini adalah jalan kalian, maka ini akan tetap terjadi. Tidak ada yang perlu minta maaf, memang Tuhan tidak menggariskan kalian untuk bersama lagi.”

To Be Continued!

You May Also Like

3 komentar