(CERPEN) Penggenggam Rahasia

by - 20.40

fadelisme.files.wordpress.com

Setiap langit sudah lama memperlihatkan gelapnya, aku mendengar suara orang menangis. Tidak terlalu keras, hanya isakan yang sengaja dipelankan. Lama sekali suara itu menangis. Kudengar dia juga sedang berbicara terbata-bata, entah berbicara dengan siapa. Setahuku kamar yang berada di pojok itu hanya dihuni oleh seorang gadis. Hanya pemilik kamar itulah yang sering bersuara di malam hari menjelang pagi. Kamar lainnya senyap yang terdengar hanya dengkuran pemiliknya.

Pertama kali mendengarnya, kukira ada seorang kawannya yang sedang menginap. Tapi mana mungkin kawannya bisa menginap setiap hari di kamar kosan itu. Mengingat peraturan dari pemilik kos tidak boleh membawa teman menginap lebih dari tiga hari, kecuali jika kawan itu mau membayar separo harga kamar. Begitulah, percakapan tentang peraturan kos yang pernah kudengar dari beberapa anak di sini.

Aku sudah lama hidup diam-diam di rumah kosan besar ini. Bahkan, aku sudah hafal nama-nama pemilik setiap kamar. Tanpa mereka ketahui, aku sering menguping obrolan mereka. Entah itu berbicara tentang laki-laki, keluarga, teman, kuliah, bahkan urusan keuangan. Sedikit-sedikit aku mencuri ilmu dari mereka. Saat ada orang mengobrolkan film terbaru, aku jadi tahu. Aku pun juga tahu drama korea apa yang baru mereka tonton. Merk sepatu apa yang baru mereka beli, baju warna apa yang mereka inginkan, bahkan siapa nama laki-laki yang sedang dekat dengan salah satu dari mereka.

Aku tinggal di sini tidak sendiri, bersama keluarga dan teman-temanku. Tapi mereka tidak pernah peduli dengan kehidupan anak di kos ini. Kurasa hanya aku yang terlalu kelewat peduli dengan urusan setiap orang di sini.


Anak kos tak pernah tahu saat aku diam di selipan bak dekat besi jemuran depan kamar mereka. Saat tak ada orang aku berpindah di balik barang satu ke barang lainnya agar tidak ketahuan. Jika mereka tahu keberadaanku dan teman-temanku, pasti mereka akan berteriak ketakutan melihat kami. Padahal sekali pun aku dan teman-teman tidak berani mendekat atau bahkan menggigit mereka. Tugas kami hanya mencari makan atau mencuri makanan yang lupa mereka tutup di dapur.

Sebenarnya bentuk tubuhku itu menggelikan, tapi karena warnaku hitam dan terbiasa hidup di tempat kotor, mereka memandang aku dengan jijik. Aku memaklumi itu. Apalagi aku suka membuang kotoran sembarangan dan memakan apa saja yang bisa kukerat dengan gigi, termasuk salah satu sabun mereka yang kugigit lalu kutinggalkan sembarangan.


Pemilik kamar yang hampir setiap malam selalu menangis itu adalah orang yang selalu kudengar tawa renyahnya setiap pagi. Dia yang terdengar paling riang melontarkan guyonan-guyonan sampai temannya gemas melihat dirinya. Itulah yang membuatku bertanya-tanya, mana mungkin orang yang terlihat baik-baik saja itu menangis di setiap malam.

Aku ingin melihatnya saat menangis, namun sayangnya jendela dan pintu kamarnya terkunci setiap malam. Hari ini aku ingin memastikan kalau aku tak salah dengar. Dengan nekat, aku mencari jalan naik ke atap kamarnya. Dia tak akan melihatku, karena semua atap kamar ini tertutup dengan plafon. Saat langit sudah terlihat pongah memperlihatkan gelapnya, mulai kulaksanakan aksiku. Kulihat sekitar terlihat lengang. Aku segera menaiki pipa dekat jemuran. Salah seorang teman yang melihat segera meneriakiku. Dia bertanya kenapa aku naik. Memang jarang-jarang aku naik ke atap, karena aku lebih suka di daerah bawah apalagi di dapur yang menyimpan banyak sisa-sisa makanan. Tanpa menjawab, aku terus saja menaiki pipa itu sampai atap.

Kuingat-ingat lorong mana yang mengarah ke kamar gadis itu. Setelah mencoba belok kanan dan kiri, aku yakin sudah berada tepat di atas kamarnya. Saat tadi berada di kamar seseorang, aku mendengar suaranya bernyanyi. Dari situ aku tahu berarti sebelah kamar orang itu adalah kamar yang sedang ingin aku tuju.

Dari atap terdengar senyap. Tidak ada suara apa pun di bawah sana. Mungkin dia sedang sibuk dengan barang-barang yang sering mereka sebut buku atau ponselnya. Seperti yang sering kulihat saat mencoba mengintipnya di celah jendela atau pintunya yang terbuka.

Setelah kelelahan naik dan mencari kamarnya, aku tidur sejenak meringkuk di atas  kayu kelapa di bawah naungan genting. Karena terlalu nyenyak dan banyak gerak, tubuhku jatuh ke plafon. Aku kaget bukan kepalang. Kepalaku sakit karena terbentur begitu keras. Sesaat aku menimbulkan suara gaduh. Di bawah sana dia tetap diam. Mungkin dia sudah terbiasa dengan ulah teman-temanku di atas atapnya. Beruntung, kali ini aku di atas sendiri. Tidak ada satu pun kawanku yang lewat sehingga aku bisa leluasa melakukan apa saja. Dan untungnya, plafon yang kujatuhi tidak jebol. Coba kalau jebol, pasti dia akan menjerit ketakutan memanggil teman-temannya untuk mengejarku yang menjatuhinya.

Dan benar, malam harinya entah saat itu pukul berapa. Karena aku selama ini tidak mengenal jam seperti orang-orang di kos sini. Yang kutahu hanyalah langit gelap, terang, dan berwarna lainnya entah warna apa itu. Dia menangis lagi. Kali ini kudengar dia juga sedang berbicara seperti biasanya. Namun, aku tidak mendengar seseorang yang membalas ucapannya. Aku heran. Mana mungkin dia berbicara sendiri. Apa dia sedang berbicara dengan hantu kosan yang sering kluyuran? Tapi setahuku hanya aku dan teman-temanku lah yang bisa melihat hantu itu. Jika pun ada orang yang bisa melihat, mereka tidak mempunyai hubungan yang dekat atau mengobrol lama. Suaranya tidak terlalu jelas dari atas sini. Mungkin karena lapisan plafon yang terlalu tebal dan rapat membuat suaranya tidak bisa menembus sampai atap ini.

Penasaranku semakin menjadi-jadi. Apa yang terjadi dengan gadis itu, kenapa gadis yang tertawanya paling keras itu selalu menangis di malam hari. Besoknya, aku memilih turun lewat pipa dan masuk ke dalam kamarnya. Aku baru kepikiran dengan masuk kamarnya, bisa kulihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh, ini hal yang paling nekat kulakukan. Jika orangtuaku tahu pasti akan meneriaki dan menyuruhku keluar. Karena itu sama saja membunuh diriku sendiri jika sampai ketahuan gadis itu.

Di depan kamarnya, aku mencari jalan untuk bisa masuk. Ya, aku akan masuk melalui jendela yang selalu dibuka dari pagi sampai dia berangkat tidur. Aku mencari persembunyian di celah-celah pagar besi dan tembok yang memagari lantai dua. Kutunggu waktu yang tepat agar bisa mengendap masuk tanpa dia ketahui. Agar dia tidak teriak ketakutan atau mengejar sambil melempari dengan barang-barang.

Sore harinya, saat dia mandi dan tidak ada orang yang lewat, aku mengendap-endap naik ke jendela dan berhasil terjun ke kasurnya. Langsung aku sembunyi di bawah meja. Aku mencari cara, kalau hanya di bawah meja pasti dia tahu. Lalu aku melihat almarinya sedikit terbuka. Aku melompat dan masuk ke dalamnya. Sekarang aku berada di dekat kardus dan tumpukan kertas. Sembunyi dibalik tumpukan itu agar dia tak menemukanku. Berdiam diri cukup lama supaya dia tidak mengendus keberadaanku.

Karena terlalu lelah diam dan badanku rasanya kaku, sedikit saja aku menggerakkan tangan dan kaki. Lagi-lagi gerakanku yang tidak seberapa itu menimbulkan suara gaduh. Dia yang sudah masuk kamarnya mulai curiga. Dibukanya almari yang sedang kudiami sambil dipukul-pukul pelan. Aku diam lagi agar dia tidak mengobrak-abrik isi almari lalu mengusirku. Dengan susah payah aku menahan tubuhku yang mulai pegal-pegal. Aku ingin dia tidak lagi curiga atau khawatir dengan keberadaanku. Aku berjanji tidak akan mengganggu atau menyakitinya. Ah, aku bodoh sekali. Mana mungkin dia akan percaya dengan janjiku, mendengarku saja dia enggan.

Kudengar ada seseorang yang bercakap-cakap dengannya hanya sebentar. Lalu suasana kosan senyap berarti waktu sudah malam dan semuanya tidur. Aku bernapas lega. Akhirnya bisa sedikit bergerak di tempat pengap ini. Aku bisa mendapat udara dari bagian almari yang sedikit berlubang. Secepatnya aku tidur agar nanti malam bisa bangun saat dia mulai menangis lagi.

Suara isakan itu terdengar lagi. Cukup keras kudengar. Sepertinya dia berada tepat di balik almari ini. Aku berjalan sedikit menuju dekat dengan pintu almari. Saat perpindahanku menimbulkan suara, sejenak dia diam. Lalu aku memelankan gerakan tubuhku. Dia melanjutkan menangisnya dan berbicara lagi. Sedikit kudorong pintu almari lalu dengan susah payah keluar melalui celah yang sempit. Tanpa sepengetahuannya, aku duduk di bawah ranjang tidur.  Aku melihat dia duduk menghadap tembok sambil mengenakan kain panjang seperti yang dikenakan hantu wanita kosan ini. Bedanya, dia menutupi sampai bagian kepala. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Kulihat tangannya menengadah sambil berulang kali menyebut Allah. Entah, siapa orang yang dia maksud. Padahal di ruangan ini tidak ada siapa-siapa, selain dia dan aku. Hantu-hantu kosan pun sudah menghilang entah kemana, karena sebentar lagi waktu akan berganti menjadi pagi.

Sekarang aku mendengar suaranya dengan jelas. Aku tidak tahu apa maksudnya, hanya saja di dalam kamar ini aku menjadi tahu suatu rahasia. Aku juga ingin menangis mendengar ucapannya. Ternyata tawanya yang begitu keras saat di depan orang-orang tidak sebanding dengan tangisannya setiap malam. Cerita hidupnya begitu memilukan. Meskipun hatiku dan hatinya tidak sama, tapi aku juga mampu merasakan begitu getir perjalanannya.

Air mata merembes di kelopak mataku. Rasanya aku ingin tertawa dan menangis bersamaan. Bagaimana bisa aku menangis karena iba dengan dia yang sangat jauh berbeda denganku. Selama ini aku jarang sekali menangis, terakhir saat kakiku terjepit pintu di garasi bawah. Jalan hidupnya lebih sulit dari pengetahuanku. Yang kutahu selama ini hidup itu tentang mencari sisa-sisa makanan, mencuri makanan di dapur, dan berlari jika ada yang menemukanku di tempatnya.  Tapi ternyata liku-liku hidupnya lebih tajam. Banyak aral melintang yang harus dilaluinya. Aku tidak mengerti, kenapa dia bisa tertawa di depan orang banyak lalu menangis menyebut nama yang tidak aku ketahui wujudnya. Entah, mungkin untuk yang satu ini aku memang tidak diciptakan untuk bisa menjangkaunya.

Pelan-pelan aku kembali lagi ke dalam almari. Aku ingin tetap di sini menemani dan mendengarkannya menangis setiap malam. Aku tidak banyak makan, hanya makan sedikit saja jika ada yang terjatuh lalu lupa diambil atau belum dibersihkan sebelum dia bepergian. Sampai beberapa hari ke depan hari-hari kuhabiskan untuk berdiam diri sambil mengamatinya dari celah pintu almari. Aku melihat dia sering tertidur dengan benda persegi panjang yang sering mereka sebut buku di sampingnya. Kadang, kulihat dia juga ketiduran di lantai karena kelelahan mengerjakan sesuatu di benda hitam yang menyala terang.

Sebenarnya dia tahu keberadaanku karena aku sering berisik saat mengerat kayu almari untuk membuat lubang udara lebih lebar, atau saat menggigit sepotong roti yang berhasil aku curi tadi pagi di mejanya. Tapi dia terlalu takut untuk mengambilku di dalam almarinya. Dia lebih memilih membiarkanku begitu saja asal aku tak mengganggu, begitu mungkin di pikirannya.

Sampai akhirnya, aku tidak bisa lagi menemani dan mengamatinya. Tubuhku sudah lemas karena tidak mendapatkan makanan terlalu banyak. Aku sudah tidak mempunyai energi lagi untuk bertahan di sini. Lalu tiba-tiba, aku mati begitu saja. Tubuhku membusuk di dalam almari. Besok pasti dia sudah mencari-cari keberadaanku karena bau bangkaiku yang menyengat. Yang dia tahu hanyalah tentang kematian seekor tikus di dalam almari. Padahal aku mati membawa banyak sekali rahasia yang dia pikir hanya dia dan Allah-nya saja yang tahu.


End

You May Also Like

4 komentar

  1. eh awalnya aku kira, si "aku" ini kucing :D

    BalasHapus
  2. Bagus cerpennya mba. Jadi "aku" ini maksudnya tikus ya. Komenku sama yg di atas, kirain kucing hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak :)
      Hehee salah tebak ya :D

      Hapus