Sumber: Dakwahislam.com |
Aku pernah
Ada
temanku perempuan. Dia sudah lama dekat dengan seorang laki-laki tapi tak
sekali pun pernah mengungkapkan perasaannya. Hubungan mereka tanpa status tapi
apa yang mereka lakukan sudah seperti orang pacaran—kencan dan kemana-mana
bersama.
Suatu
ketika, saat tidak pernah kulihat lagi mereka jalan berdua, aku bertanya kepada
temanku tersebut. Dia menjawab, ternyata laki-laki itu tidak ingin mempunyai
pacar yang berjilbab. Itulah alasannya kenapa dia tidak pernah mengungkapkan
perasaannya dan lalu pergi secara tiba-tiba. Aku memaklumi hal itu. Kutahu
laki-laki tersebut mengikuti organisasi kesenian, dan kebanyakan anak-anak
kesenian itu mempunyai pandangan yang berbeda tentang Islam (tapi tidak semua
anak kesenian seperti itu).
Sudah lama
aku menjadi anggota di sebuah grup parenting
di whatsapp. Kemarin aku sengaja me-screenshoot
salah satu cerita yang di-share admin
tentang percakapan beberapa ibu yang membicarakan cara mendidik anak. Bagiku percakapan
itu menarik, karena sang ibu mengatakan bahwa dia sering menceritakan kepada
anak-anaknya tentang Rasulullah.
Sebelum
berangkat sekolah, si anak selalu mencium tangan beliau. Sambil mengusap kepala
anaknya, sang ibu selalu bilang, “Rasulullah
sedang menunggumu di Madinah untuk kau hafalkan hadist-hadist peninggalannya.”
Alhasil, dewasa ini anaknya telah hafal Al-Quran dan Hadist serta mendapat
beasiswa S2 di Madinah.
Screenshoot penggalan
cerita itu tadi aku upload di status
whatsapp. Ada seorang teman kuliah yang memberi komentar statusku tersebut.
“Itu
grup apa?”
“Grup
Wonderfull Parenting.”
“Waduh,
aku belum siap.”
“Aku
suka aja gabung di sana buat persiapan.”
“Iya
deh, calon mom.”
Lalu aku
tak membalas pesannya. Pikirku, ada mindset
yang salah bagi para calon ibu masa kini. Entah itu mereka yang sudah ingin menikah
atau pun belum. Mereka berpikiran bahwa ilmu parenting hanya diperuntukkan
untuk orang-orang yang sudah berumah tangga.
Di luar
sana banyak orang menghabiskan waktu lebaran tahun ini dengan berlomba-lomba
mengunggah foto keluarga yang manis. Mereka senang memperlihatkan senyum
manisnya dengan memakai baju baru.
Tidak dengan
aku. Lebaran tahun ini adalah momen paling berat. Mungkin bagimu terkesan
lebay, tapi jika kau ada di posisiku, akan terasa betapa beratnya di lingkaran
orang yang tidak sependapat denganmu.
Entah sudah
berapa waktu kuhabiskan di dalam kamar dan di atas sajadah. Sudah ratusan
istigfar aku gemakan, dan ratusan bulatan tasbih aku putar mengelilingi jemari.
Sebenarnya
simple. Aku hanya ingin menjalankan
syariat Islam—tidak ingin bersalaman dengan laki-laki yang bukan mahram. Tahukah?
Hari pertama lebaran, sepanjang perjalanan banyak mata memandang aneh, bahkan
ada tawa yang menggaung dari segerombolan laki-laki yang mencibir, dan yang
paling menyakitkan adalah teguran dari keluargaku sendiri.
Bulan
Ramadhan ini aku disibukkan dengan rutinitas kampus sehingga target Ramadhan
masih jauh tercapai. Seminggu sebelum lebaran, aku baru bisa khusyu’ tilawah,
karena tugas dan UAS telah selesai. Inginnya khatam selesai Ramadhan, sehingga
banyak waktu kuhabiskan untuk membaca Al-Quran. Ada penyesalan, kenapa Ramadhan
aku masih disibukkan dengan kegiatan dunia?
Jujur,
seminggu sebelum lebaran justru aku malah kurang berdoa. Ya tetap berdoa. Tapi tidak
doa khusus seperti biasanya. Karena pada saat itu berada di kosan teman di
Malang. Merasa tidak leluasa berdoa tentang hal-hal pribadi kalau sedang ada
orang.
--Jika kita berlelah-lelah di jalan Allah,
InsyaAllah surga adalah tempat istirahat terbaik yang disiapkan oleh-Nya--
Ketika
ada kata “para”, maka kata yang mengikutinya berarti jamak. Terdengar aneh
memang, jodoh setiap orang diciptakan tunggal, tapi aku menggunakan kata jamak.
Aku menemukan arti baru tentang jodoh. Jodoh tak lagi hanya bisa diartikan secara
sempit sebagai pasangan hidup, tapi juga semua orang yang bertemu dengan kita
saat memiliki hajat.
Arti ini
kudapat dari Mas Pandu—salah satu Relawan Nusantara Malang—saat aku bersama
teman relawan Malang lain melakukan aksi Syiar Quran. Dalam setiap sambutan, Mas
Pandu bilang, “Alhamdulilah, hari ini
kita berjodoh untuk membagikan Al-Quran dari donatur.”
Dari situlah
aku menyadari, meski aku belum mendapatkan jodoh dalam arti pasangan, aku sudah
bertemu dengan para jodohku di Rumah Zakat.
Aksi Syiar Quran mungkin hanya terlihat biasa
bagi orang lain. Hanya membagikan beberapa Al-Quran dan Iqro’ di beberapa
tempat lalu selesai. Iya aksinya memang se-simple
itu.
Relawan adalah tentara langit yang dibayar
oleh Allah, bukan manusia. (Brand Manager Rumah Zakat Surabaya)
Aku
mendengar quote itu saat mengikuti kegiataan kemah relawan yang dilaksanakan di
Malang pada bulan Maret lalu (jika tidak salah ingat). Kalimat itu masih
membekas dan terpatri abadi dalam benakku. Menjadi sebuah pengingat jika diri
ini mulai ada niat yang melenceng saat menjadi relawan.
Saat melakukan
aksi sosial dengan teman-teman Rumah Zakat lain, tidak ada yang kami cari
selain lukisan senyum para penerima manfaat. Kami pun tak ingin menghamba dari
ucapan terima kasih mereka. Karena sejatinya, ucapan terima kasih patut
diucapkan kepada donatur, bukan kepada kami—karena kami hanyalah relawan yang
tak memiliki banyak harta, hanya waktu luang untuk menjadi jembatan antara
donatur dan penerima manfaat.
Suatu ketika,
jika aku tidak salah ingat pada bulan April lalu. Aku dan beberapa teman
relawan Jember lain melakukan survei ke suatu tempat yang amat pelosok. Tempat itu
jauh dari hingar bingar kota dan tak terjangkau oleh listrik dan sinyal. Kami sedang
melakukan survei untuk aksi Sepatu Anak Nusantara.
Orang
yang akan melakukan kebaikan selalu diuji oleh Allah, entah itu keadaan, niat
yang mulai goyah, atau hal lainnya. Sabtu lalu aku memberanikan diri mengikuti
kegiatan Tabligh Akbar di Rumah Zakat Malang. Kenapa aku bilang memberanikan
diri? Karena sebelum berangkat ke sana, banyak hal yang membuatku
mempertimbangkan rencana.
Dua
hari sebelum hari keberangkatan, ada kabar dari seorang teman bahwa kami
seangkatan tidak bisa pulang ke kampung halaman karena ada revisi makalah dari
dosen. Saat itu dosen masih sibuk urusan di luar kota, sehingga koreksinya
selalu ditunda. Lagi-lagi aku dibuat jengah oleh dosen yang selalu berlaku
seenaknya. Seminggu lalu bilang revisi kedua kemarin adalah revisi terakhir,
ternyata masih harus revisi lagi.
Parahnya,
pengumuman makalah yang direvisi diumumkan hari senin dan harus mengumpulkan hard file-nya. Sekelompokku tidak ada
yang berdomisili di Jember, dan sungkan kalau meminta bantuan dengan teman
lain.
Kalau
aku tidak bisa pulang, berarti gagal lah rencanaku ke Malang. Padahal dalam
hati kecilku ingin rasanya secepatnya berangkat, tapi selalu saja ada urusan
kampus yang membelit.
Saat aku
belum cukup dewasa, dari ibu aku belajar banyak tentang hukum-hukum Islam. Dan sampai
sekarang, segala ajaran yang beliau ajarkan melalui obrolan-obrolannya itu
masih tersimpan rapi di kepingan memori.
Masih
bisa kuingat, ibu pernah marah saat aku memakan darah ayam rebus. Saat itu
usiaku masih empat tahun. Aku bermain di rumah tetangga yang berjualan soto
ayam dengan kakak laki-lakiku. Saat kakak masih asyik bermain bola di sepetak
tanah tetangga, aku diberi seperti daging sapi coklat kehitam-hitaman oleh
tetangga tersebut. Tanpa bertanya apa yang dia beri, aku menerimanya dan
mengunyah pelan-pelan. Belum sampai kutelan, kakak berlari cepat-cepat membuang
daging itu jauh-jauh dariku. Aku lupa, apakah pemilik rumah saat itu melihat
ulah kakak.
Aku menangis
menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Kakak memaksa menggendongku dan mengajak
pulang. Aku memukul punggungnya keras-keras saat perjalanan. Rumahku dan
tetangga itu tidak terlalu jauh—hanya sekitar sepuluh langkah.
Sebelum
bulan Ramadan bertamu, jauh-jauh hari sudah banyak teman yang mengajak acara
buka bersama. Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, bulan Ramadan menjadi
momen temu rindu di saat adzan Maghrib berkumandang syahdu.
Tahun-tahun
sebelumnya aku memang sangat antusias mengikuti momen-momen seperti itu. Karena
agenda saat Ramadhan inilah momen yang bisa dijadikan alasan untuk berkumpul
dan itu terjadi setahun sekali.
Baru tahun
ini aku merasa malas sekali menanggapi puluhan chat di grup organisasi kampus,
kelas kuliah, bahkan teman SMA yang merundingkan masalah buka bersama. Bukan bermaksud
menjauhi, sebenarnya juga ingin berkumpul bersama mereka, tapi di satu sisi aku
punya alasan kenapa lebih memilih buka sendiri di kosan. Lebih tepatnya buka
bersama teman-teman di kosan.
Ada banyak
agenda buka bersama, itu berarti akan ada banyak waktu yang terbuang untuk
mengikuti salat Maghrib tepat waktu dan salat tarawih. Kebanyakan orang lebih mengutamakan menu
berbuka dibandingkan salat sebagai kewajibannya.
Mencari
teman itu mudah, tapi menjaga kelanggengannya yang sulit. Kadang, sebuah
pertemanan bisa retak karena salah paham. Hanya karena pesan whatsapp yang di read tanpa ada balasan bisa menimbulkan
prasangka yang tidak-tidak. Padahal, kadangkala centang pesan whatsaap sudah
biru, meskipun si penerima belum merasa membaca. Kadang berniat nanti akan
membalas lalu lupa. Begitulah di era instans ini, kesetiakawanan seseorang
dinilai juga sangat instans—hanya dari seberapa cepat dia membalas pesan
whatsapp.
Alangkah
tidak lucunya, jika aku dijauhi oleh para tetangga kos hanya karena lantai
kamar. Aku bukan manusia seperti kisah-kisah sahabat Rasulullah yang abadi
dalam dongeng pengantar tidur karena kesabarannya. Untuk menjadi orang yang
sabar, harus berlari maraton berkilo-kilo jauhnya. Karena, kesabaran tak
setipis mudahnya merindukan seseorang.
Di rumah,
ibu membiasakan mencuci kaki dan menggunakan sandal khusus dalam rumah sebelum
masuk kamar salat. Di mana pun itu, tempat yang digunakan salat harus suci. Begitulah,
aku sering diajari. Ibu bisa marah parah saat mengetahui anak-anaknya tidak
mengindahkan peraturan tak tertulis yang dibuatnya. Semakin dewasa, itu sudah
menjadi kebiasaan dan rasanya di kaki seperti ada kotoran yang menempel jika
tidak melaksanakan perintah beliau.