Suatu Malam Yang Wangi

by - 20.10

Sumber: www.rudydewanto.com

Mula-mula, seseorang yang mendapatkan uang arisan itu adalah hal biasa. Atau Mendapatkan dua anak sapi sekaligus dari rahim induk sapinya juga hal yang lumrah. Bahkan, menemukan segepok uang ratusan ribu di halaman rumah juga masih bisa dikatakan wajar. Bisa jadi, itu adalah uang konglomerat atau juragan yang jatuh tak sengaja saat lewat.

Itu semua menjadi hal yang menghebohkan jika terjadi pada satu orang dalam waktu yang berturut-turut. Hidup di desa memang seperti itu, apa pun yang terjadi dengan tetangga sebelah atau masyarakat sedesanya akan cepat menyebar dan menimbulkan banyak desas-desus gosip tak terelakkan.

Orang yang mengalaminya adalah Pak Burhan. Beliau sendiri juga tidak mengerti, kenapa Tuhan begitu baik padanya. Rezeki terus mengalir deras masuk ke pundi-pundi kantongnya. Itu semua menimbulkan banyak pertanyaan kepada warga desa yang tengah iri melihat Pak Burhan dan keluarganya bergelimangan rezeki.


Lalu suatu ketika, gosip susulan yang lebih heboh muncul. Pak Karman juga mengalaminya. Ada kesamaan di antara mereka, yaitu mendapatkan aliran rezeki setelah selesai ronda sekitar tiga harian yang lalu.

“Apa rahasiamu sampai mendapatkan undian hadiah bank kemarin? Padahal kamu ini orangnya sering apes. Jangankan menang undian, dapat uang arisan saja sering belakangan,” kata Pak Supri sambil meneguk kopi pekatnya di depan rumah Pak Karman.

“Aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah main ke dukun untuk menang hadiah atau melariskan daganganku.” Pak Karman mengambil sepotong pisang hangat yang asapnya masih mengepul.

“Ah, masa? Aku merasa kamu dan Pak Burhan mempunyai rahasia agar rezekimu lancar.” Pak Supri tetap memaksa Pak Karman untuk mengaku sesuatu yang sebenarnya tidak diketahuinya.

“Rahasia agar rezeki lancar ya berdoa.” Pak Karman tersenyum menjawab pernyataan lucu tetangga depan rumah yang rajin menyambangi setiap ada waktu luang.

“Aku sudah sering berdoa. Tapi ya rezekiku biasa saja. Tidak datang bertubi-tubi seperti kamu dan Pak Burhan.” Pak Supri menyesap kopinya sekali lagi sambil memegangi rokok yang tinggal setengah.

Pak Karman hanya tersenyum simpul mendengar temannya yang begitu ingin tahu. Dia berdehem lalu membetulkan posisi duduknya dengan tegak.

“Ada sesuatu yang ingin kuceritakan.” Pak Karman memandang Pak Supri mantap.
Pak Supri mencondongkan tubuhnya ke arah Pak Karman. Memasang telinga baik-baik, penasaran apa yang akan diceritakan lelaki berkumis tebal itu di depannya.

“Aku juga tidak tahu ini benar atau tidak. Entah, ini hanya kebetulan atau memang benar. Sebelum aku dan Pak Burhan mengalami hal yang serupa, malamnya kami melaksanakan tugas ronda. Saat melewati depan rumah Pak Juni, ada bau wangi yang lebih wangi dari melati sekali pun. Wanginya begitu khas.”

Mata Pak Supri membulat. Ada banyak penasaran yang menggelayuti benaknya.

“Bau apa itu? Pak Juni mempunyai sesajen di rumahnya?”

Pak Karman tertawa melihatkan gigi rapinya yang bersih. Kumis tebalnya naik turun mengikuti gerakan bibir tebalnya.

“Bukan, sepertinya bukan itu. Tetapi aku melihat ada dua kuntum bunga berwarna putih mekar di tengah malam di halaman rumahnya. Anehnya, saat siang, bunga itu sudah layu.” Pak Supri manggut-manggut mendengar penjelasan tetangga yang sudah dikenalnya puluhan tahun itu.

“Bunga apa itu?” Dia angkat bicara.

“Aku juga tidak tahu.” Pak Karman mengangkat bahu.

“Tetapi…” Kalimat Pak Karman tak terselesaikan. Dia menghisap rokoknya sejenak.
Mereka terdiam sebentar menikmati asap satu sama lain yang mengudara seperti kabut pagi menutupi jalanan. Hanya saja, asap rokok ini terasa begitu menyesakkan. Mereka terlihat biasa saja saat asap menyeruak masuk mengobrak-abrik paru-parunya.

Setelah mencuri napas sejenak, Pak Karman melanjutkan kalimatnya sambil membuang sedikit abu rokoknya ke asbak. “Burhan bilang itu bunga joyo kusumo.”
Pak Supri yang sedari tadi sibuk menghisap dan mengeluarkan asap dari mulutnya, terdiam saat itu juga. Memandangi Pak Karman lamat-lamat. Dari air mukanya terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Pak Supri pasti tahu kaitan antara hal yang kualami dan Pak Burhan dengan bunga itu.”

Pak Supri diam mengambil napas beberapa kali lalu membuangnya kasar. “Aku tahu.”

“Aku dan Pak Burhan berpikir, mungkin kesuksesan usaha toko Pak Juni akhir-akhir ini juga karena bunga itu. Dalam waktu dekat ini, Pak Juni juga akan membuka usaha bengkel di dekat balai desa. Bagaimana mungkin, orang baru seperti Pak Juni bisa mendapatkan banyak pelanggan di tokonya. Padahal banyak toko yang sudah lama berdiri di desa ini. Tidak ada yang antrenya seperti toko Pak Juni.”

“Apa bunga itu mekar setiap malam?”

“Kenapa? Pak Supri mau juga melihatnya?” Pak Karman tersenyum menggoda.
Pak Supri membalas dengan tatapan sinis lalu berdehem dan mengalihkan pembicaraan ke topik harga cabai yang kian melambung.

***
Berita tentang wangi bunga joyo kusumo atau Jaya Kusuma menyebar ke seluruh sudut desa. Dari anak kecil, remaja, sampai dewasa membicarakan khasiat ajaibnya. Banyak orang penasaran dengan kebenaran kabar tersebut. Mereka berebut jadwal ronda agar mempunyai alasan untuk bisa berjalan di depan rumah Pak Juni tengah malam. Nyatanya, tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama seperti Pak Burhan dan Pak Karman. Bunga putih yang batangnya seperti kaktus itu tidak bisa diprediksi kapan akan berbunga. Tidak semua orang bisa melihatnya.

Tentang mitos bunga ini memang sudah mampir ke telinga para warga desa di Kota Kediri. Itu semua hanya dianggap sebagai dongeng oleh mereka. Karena mereka tidak pernah membuktikan sendiri kebenarannya. Bunga ini pun juga tidak dimiliki oleh semua orang, seperti bunga kamboja, melati, atau cocor bebek. Bunga ini juga tidak dijual secara luas oleh penjual bunga.

Menurut kepercayaan warga desa itu, jika bunganya mekar berarti pertanda sang empu akan mendapatkan rezeki yang berlimpah, atau orang yang bisa melihat mekarnya tengah malam juga akan ikut tertular rezekinya.

Mitos itu sudah lama. Tapi warga desa hanya sekadar tahu, tidak sampai percaya berlebihan lalu mencari ke sudut-sudut kota untuk memiliki bunga itu. Baru setelah ada yang bilang bunga itu benar-benar terbukti mitosnya, banyak orang berbondong-bondong membuktikan.

Mendengar itu, Pak Supri tergelitik untuk mencoba. Dia merasa iri dengan Pak Burhan dan Pak Karman yang dengan mudahnya mendapat aliran rezeki seperti tetesan air hujan.

Pak Supri menatap rumah Pak Juni dengan tatapan tajam seperti harimau yang sedang membidik mangsa. Sudah beberapa kali dia mencuri-curi waktu untuk lewat di rumah orang kaya baru itu tengah malam, hasilnya tetap tidak dilihatnya bunga putih itu.

Untuk saat ini, hanya Pak Karman dan Pak Burhan yang berhasil melihat mekarnya. Hati Pak Supri bercokol mendapati kegagalan. Beberapa kali dia pulang tengah malam dengan menelan kekecewaan. Dia hanya mendapat gigitan nyamuk pada sekujur tubuhnya karena berdiri di balik rumput yang menjulang tinggi terlalu lama di tanah kosong depan rumah Pak Juni.

Karena sudah lelah dengan kegagalannya, dia menyerah untuk mencoba lagi. Dia mempunyai cara lain. Jika dia tidak bisa melihatnya, tentu juga tidak boleh orang lain melihat. Begitulah kiranya cara berpikir bapak tiga anak ini.

Suatu malam, Pak Supri datang lagi ke tanah kosong yang hanya berjarak lima rumah dari tempat tinggalnya. Kali ini tujuannya bukan untuk melihat mekar bunga itu, tapi untuk hal lain. Setelah dia mengintai dan dipastikan benar-benar aman, dia keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa golok.

Rumah Pak Juni yang hanya berpagarkan tanaman hijau, memudahkan siapa pun untuk masuk ke halamannya. Malam ini ternyata keberuntungan tidak berpihak lagi pada Pak Supri. Sebelum dia menginjakkan kaki ke halaman rumah besar bercat putih itu, terdengar suara deritan pintu yang terbuka. Dilihatnya sosok besar tinggi keluar. Pelan-pelan Pak Supri berjalan cepat lurus kembali ke rumahnya.

Percuma menunggu Pak Juni sampai masuk lagi. Karena seringnya ronda, dia tahu pemilik rumah itu akan duduk di teras lama sekali sampai menghabiskankan beberapa batang rokok. Pak Juni pernah bercerita di kondangan beberapa minggu lalu, bahwa dia mempunyai kebiasaan insomnia. Di kursi kayu itulah dia sering menghabiskan waktu malamnya.

Ternyata Pak Supri bukanlah tipikal orang yang menyerah dan kehabisan akal begitu saja. Ada cara lain yang disiapkan untuk membabat habis tanaman yang telah membius banyak orang untuk percaya dengan mitos itu.

Besoknya, Pak Supri membawa sebuah cairan yang berwarna sedikit keruh dalam sebuah botol bekas air mineral. Dia berniat menyiramkan minyak tanah itu ke bunga Pak Juni, agar bunganya layu lalu mati. Pak Supri keluar rumah menutup pintu dengan hati-hati agar istri dan anak-anaknya tidak mendengar kepergiannya. Lantas, sebelum keluar dari halaman, tiba-tiba perutnya mules ingin buang hajat.

Dia masuk lagi ke dalam rumah. Meletakkan botol cairan itu di atas meja makan, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Selang beberapa menit, terdengar suara istrinya mengetuk pintu dan memanggil-manggilnya. Anak keduanya yang masih usia tiga tahun juga sedang mulas ingin buang hajat. Pak Supri menjawab ketukan pintu itu dengan menyuruhnya menunggu.

Anaknya menunggu sambil duduk di meja makan dengan mata yang masih sedikit terpejam karena sangat mengantuk. Dia terpaksa bangun karena perutnya begitu mulas. Istri Pak Supri mendengar anaknya yang masih bayi menangis, lalu segera berlari kecil kembali ke kamar.

Anak perempuan Pak Supri melihat ada sebotol minuman di meja makan, dia membuka tutupnya lalu meneguk berulang kali. Dirasakan cairan pahit membasahi tenggorokannya.

Setelah Pak Supri keluar dari kamar mandi, dia melihat anaknya terkapar di lantai dengan penuh busa lalu berteriak-teriak memanggil istrinya.

Pak Supri membatalkan niat jahatnya. Padahal dia ingin membuat Pak Juni kehilangan bunga pembawa rezeki itu, tapi nyatanya dia yang malam ini merasakan kehilangan karena ulahnya sendiri.




You May Also Like

3 komentar

  1. Bagus banget nik cara penyampaiannya ceritanya

    BalasHapus
  2. Waaah....
    Kereen mbak....
    Urban legend nya dapat,
    Tokohnya dapet,
    Twistnya juga oke punya

    Suka suka suka

    BalasHapus