facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

Hasil gambar untuk gambar bersyukur



Dari sebuah kalimat simple, “Aku pengen jalan-jalan, lagi jenuh.” Akhirnya obrolan kami beranak-pinak melahirkan berbagai macam topik. Obrolan panjang yang kami lakukan dengan jeda waktu yang lumayan lama karena kita harus melakukan berbagai macam kegiatan di dunia nyata.

Namanya Sarkutika. Bukan nama sebenarnya, tapi aku memanggilnya begitu. Gadis berkacamata yang memiliki suara bak Raisa. Teman kos dulu semasa di Jember. Kami masih intens berkomunikasi sampai sekarang di tengah-tengah hiruk-pikuknya pekerjaan.

Dia bertanya bagaimana aku menjalani hari di perantauan. Aku bercerita pengalamanku yang sering makan di tempat makan, nonton, ke mall sendirian selama di Mojokerto. Kita juga saling berkisah tentang teman-teman dan pekerjaan kami masing-masing. Lalu di suatu pagi aku ingat sesuatu hal yang membuat hatiku mengganjal beberapa hari belakangan ini. Kukirim voice note kepadanya, intinya aku merasa jenuh dengan tempat kerja yang tidak mempertemukanku dengan banyak orang. Apalagi di tempat kos, jarang terjadi komunikasi yang intens. Aku dan teman kos sibuk dengan rutinitas masing-masing lalu membawa lelah ke kos, dan kegiatan paling enak adalah tidur. Membuat kami menutup pintu dan sibuk dengan diri masing-masing. Aku merasa kesepian, namun di sisi lain ketika melihat story teman-temanku yang menjadi orang kantoran aku merasa tak mampu jika harus membaur di tengah-tengah pergaulan perkantoran. Ajakan nongkrong, karaokean, bahkan sampai minum-minum. This is real. Tapi aku tahu, nggak semua pergaulan seperti itu.

Aku merasa diriku memang aneh, seorang introvert yang tidak suka kesepian, tapi suka menyendiri. Kadang aku berpikir, tempat kerjaku yang sekarang adalah tempat yang tepat untukku. Dimana aku hanya bertemu dengan siswa, pengajar, dan 2 staff saja. Tidak terlalu banyak konflik yang terjadi, pun aku juga tak perlu menguras tenaga untuk beradaptasi dengan banyak orang di dalamnya. Sayangnya, jiwa ketidakbersyukuranku berteriak, minta lingkungan kerja yang beginilah begitulah. Padahal kalau boleh jujur, ini adalah yang terbaik untuk seorang introvert sepertiku. Yah begitulah manusia, berekspektasi tentang lingkungan pekerjaannya. Melihat bagaimana serunya menjadi orang kantor.

Aku bilang ke Sarkutika, “Beri aku nasihat agar aku bisa bersyukur,” ucapku menutup voice note yang kukirim.

Malam harinya dia baru sempat merespon ceritaku. Dia mengirimi beberapa voice note yang berdurasi lama. Intinya, dia cerita bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang berisiko jika tidak teliti, harus mengurus beberapa cabang dan itu adalah tanggung jawab yang besar. Dia bertemu dengan banyak orang dengan berbagai macam karakter, beberapa kali dia mendapat masalah karena kesalahpahaman.

Mendengar ceritanya, aku bertanya ke diriku sendiri, kalau seandainya Allah benar-benar menempatkanku di kantor yang besar dan bertemu dengan banyak orang apakah aku mampu untuk menjalani rutinitas itu semua, mengemban tanggung jawab sebesar itu, dan bertahan di tengah tekanan yang tidak aku sukai?

Aku bilang begini ke Sarkutika, “Aku menyimpulkan sebenarnya setiap pekerjaan dan tempat kerja memiliki kondisi tersendiri yang tidak bisa dibanding-bandingkan. Aku bekerja dengan bertemu orang yang tidak terlalu banyak, pekerjaan yang tidak terlalu menumpuk di bulan-bulan tertentu, enak memang sayangnya itu kurang membuat aku berkembang lebih jauh lagi dalam hal adaptasi. Setiap pekerjaan memberikan kita pelajaran, aku memang mendapat pelajaran yang baru dari pekerjaanku, tidak kamu temukan di bidang pekerjaanmu. Dan kamu bekerja dengan penuh tekanan dan tanggung jawab yang besar, tapi justru menurutku itu adalah hal yang baik untuk membuatmu lebih berkembang. Sekarang aku sadar, Allah itu menempatkan kita sesuai dengan kapasitas kita. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.”

Lalu si Sarkutika ini membuat aku tertampar begitu keras. Dia bertanya, “Kamu masih sering ngaji nggak?” Aku jawab, “Ya, tapi ada kalanya imanku lagi turun. Kadang aku malas. Kenapa?”

“Disitulah letak syukurmu seharusnya, aku selama bekerja hampir nggak pernah ngaji, bahkan untuk menyentuh Al-Quran pun tak sempat. Aku juga baru sadar, sering gelisah masalah pekerjaan, tapi aku tidak gelisah ketika sudah lama tak mengaji. Kadang saat waktu Sholat pun aku menunda-nunda karena sibuk dengan pekerjaan. Manfaatkan waktu yang diberikan Allah untukmu. Seharusnya kamu mensyukurinya.”

“Ya Allah, iyaya. Kenapa aku tidak kepikiran, malahan kadang aku mendustakan dengan Bermalas-malasan."

Kami melanjutkan cerita, lalu sampailah kita pada cerita tentang seorang teman. Aku mengawali ceritanya ke Sarkutika, “Aku mau cerita. Semoga kita bisa memetik cerita dari teman yang ini. Dia bekerja di kota besar, dengan gaji UMR, bonus yang lumayan, bahkan beberapa kali dari story-nya terlihat pulang pergi ke pulau orang, makan enak, menginap di hotel mewah, yah enak-enaklah pokoknya. Banyak teman yang bilang wih enak nih sekarang hidupnya sering ke pulau orang, dia bilang kelihatannya aja enak padahal jalan-jalannya cuma beberapa jam dan mikir kerasnya berjam-jam. Aku tahu bagaimana dia pernah bercerita di awal bekerja yang begitu putus asa dengan tugasnya yang sangat sulit sampai dia menangis. Lalu sekarang dia mulai paham dengan pekerjaannya, sering melewati malam-malam dengan begadang, bahkan weekend pun masih sering menyelesaikan pekerjaan. Tapi, ada hal yang lebih membuatku kaget. Dia pernah tiba-tiba tanya tempat kajian kepadaku, lalu aku menyarankannya untuk mem-follow IG kajian di kotanya. Tanpa bertanya, teman yang ini bercerita sendiri kepadaku bahwa hatinya merasa kosong. Dia bilang, secara materi dia memang kecukupan, tapi dia merasa itu semua tak ada artinya karena rohaninya kehausan.”

Sarkutika membalas pesan whatsappku dengan emoticon menangis. Dia bilang, “Kebahagiaan itu nggak bisa diukur dengan materi, ya.”

Terlihat dia mengetik pesan lagi dan bilang, “Secara materi mungkin nominalnya lebih besar aku dan teman yang kamu ceritakan, tapi sebenarnya secara akhirat kamu yang lebih beruntung.”

Lagi-lagi aku merasa tertohok membaca pesannya. Ada nikmat besar yang tidak kusadari, bahkan untuk kusyukuri. Karena hatiku dipenuhi duniawi. Pun nikmat waktu senggang yang lumayan banyak yang Allah berikan sering aku siakan, ibadah tetap ditelantarkan. Hamba macam apa aku ini, padahal pun aku bisa bekerja karena Allah yang membukakan pintu rezeki.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Jumat, 26 Juli 2019 Gunung Tangkuban Perahu erupsi. Media sosial ramai beredarnya video ketika erupsi. Di tengah-tengah sedang mengamati video dan komentar para netizen, ada satu pesan whatsapp dari adik di organisasi relawan.

“Mbak Anik, adikmu keluyuran nih ke Bandung,” tulisnya disertai dengan emoticon tersenyum menutup mulut seperti meledek.

“Ngapain, nyari Teteh-Teteh, ya,” ledekku.

“Hahaha. Kami dari aksi pembagian superqurban di Bromo, setelah itu mau silaturahmi ke Bandung. Sekalian ikut mobil orang pusat. Ternyata, setelah kami sampai di sini Gunung Tangkuban Perahu erupsi, akhirnya kami juga ikut aksi ke sana.”

Ada pesan yang tak tertulis tapi aku bisa membacanya. Bukan pesan dari adik itu, tapi pesan dari Allah yang kuterjemahkan dengan kekaguman. Awalnya mereka ke Bandung hanya untuk bertemu dengan orang pusat sekalian jalan-jalan, ternyata siapa menyangka bahwa sebenarnya Allah seolah memperintahkan mereka untuk ikut aksi ke Gunung Tangkuban Perahu. Aku selalu percaya, bahwa Allah tak pernah salah memilih pundak untuk memikul amanah. Bukan sebuah kebetulan, tapi ini memang bagian dari skenario-Nya.


Di setiap waktu, harta, dan tenaga yang kita miliki, ada hak milik orang lain. Maka tunaikanlah hak mereka dengan membantu dengan sesama, entah dengan apapun itu caranya.

Bagi relawan, ikut aksi ke bencana bukan sebuah hal yang menyusahkan, karena liburan relawan tak melulu ke tempat wisata, ke tempat bencana pun adalah hiburan bagi kami. Insyaallah, lelahmu lillah ya, Dek.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hasil gambar untuk gambar quarter life crisis
Source: Medium.com

Akhir-akhir ini aku dirundung kebingungan, galau, jenuh, dan cemas entah pada hal apa. Meski terlihat dari luarnya biasa-biasa saja, sebenarnya aku sedang menutupi perasaanku. Bingung ingin menceritakan tentang apa ke orang lain, daripada terlihat murung tapi nggak bisa cerita yang akhirnya malah membuat orang-orang kebingungan, berpura-pura baik-baik saja adalah hal yang tepat dilakukan menurutku.

Sampai aku pernah googling dan tanya ke seorang teman buku judul apa yang membahas Quarter Life Crisis. Ada yang belum tahu apa itu QLC?

Jadi, QLC adalah kecemasan atas arah dan kualitas hidup seseorang yang dialami dalam periode mulai dari usia dua puluhan seseorang hingga pertengahan tiga puluhan. (Wikipedia)

Aku pikir perasaan yang bercampur-campur pada diriku ini terjadi wajar pada orang-orang seusiaku. Masalah krisis ini memang sudah kudengar sejak lama. Aku merasakan gejala QLC, dimana aku merasa takut dengan arah hidupku. Aku merasa dengan bekerja saat ini apakah aku tetap bisa menebar kebermanfaatan untuk orang-orang, apakah menjadi bermanfaat itu harus masuk pada sebuah organisasi atau komunitas? Mengingat di kota perantauanku saat ini aku masih belum menemukan jaringan untuk bisa bergabung pada sebuah perkumpulan. Lantas, hanya segelintir orang yang aku kenal di tempat ini, bagaimana caraku membuat jaringan? Benar-benar aku belajar semuanya dari awal.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Pengertian Media Sosial
Source: www.maxmanroe.com

Suatu ketika aku pernah membaca status whatsapp temanku, dia bercerita hp-nya ketinggalan di rumah temannya atau dimana aku lupa, yang jelas tempatnya aman hp-nya tidak hilang. Awalnya dia merasa cemas dan bosan seharian tanpa memainkan ponsel pintarnya. Karena tidak ada kesibukan, biasanya sibuk scroll media sosial, dengan terpaksa dia membuka buku pemberian temannya yang sudah lama tak terbaca, bahkan sebelumnya belum di baca sedikit pun meski hanya ucapan pembukanya. Lama-kelamaan dia asyik membaca buku dan sampai lupa ponselnya sedang ketinggalan. Seharian penuh dia sudah mencoba hidup tanpa media sosial. Dia bilang, tanpa media sosial lebih bisa menikmati hidup dan mengamati apa yang ada di sekitarnya. Beberapa hari kemudian dia mencoba lagi untuk meninggalkan ponselnya di rumah lalu pergi ke suatu tempat entah untuk apa. Dia menulis begini di statusnya, “Seharian ini off dulu, ya. Mau menikmati hidup.”

Kejadian itu sebenarnya sudah terjadi lama, bulan kemarin sepertinya. Aku ingat lagi hal itu karena hari ini aku merasa jenuh (yang kesekian kalinya) dengan media sosial. Kadang aku merasa media sosial itu bagus untuk menunjang kita memperkaya informasi, karena akun yang ku-follow Alhamdulillah yang berfaedah. Tapi di sisi lain, gadget membuat kita apatis dengan keadaan sekitar. Kepekaan terhadap hidup yang terjadi di sekitar kita kurang terasah. Sampai akhirnya aku ingat pada akun instagramku yang lama. Aku sudah menulis mengenai ini di akun instagramku yang baru. Tentang keputusanku kenapa memilih untuk berpindah akun dan tak mem-follow teman-teman yang kukenal. Insyaallah kapan-kapan aku tulis lagi di sini. Saat sudah berpindah akun, aku menulis di bio pada akunku yang lama seperti ini, “Akun ini sudah tidak digunakan, urgent hubungi cahyanix@gmail.com. Bye-bye instagram.” Aku mencantumkan emailku di sana. Sampai detik aku menulis ini, tidak ada satu pun orang yang mempunyai kepentingan denganku lalu mengirimi email. Dari sekian banyak temanku, hanya satu dua orang yang menanyakan kenapa aku tidak lagi menggunakan instagram. Itu pun mereka tahu karena sedang iseng mengecek akun yang di-follow mereka lalu mendapati akunku tanpa foto profil dan sudah lama tak muncul di beranda. Dan aku pindah ke akun baru pun tidak berpamitan, entah membuat story atau postingan terakhir. Lenyap begitu saja aku menghilang. Bagus sih, setidaknya aku tidak perlu capek-capek menjelaskan kepada mereka.

Tapi hari ini aku terpikirkan suatu hal, ketika aku pergi dari dunia maya dan tidak ada yang mencariku karena suatu kepentingan, berarti sebenarnya keberadaanku di dunia maya tak berpengaruh apa-apa bagi mereka. Ada atau tidak adanya postingan dan storyku di media sosial itu ya sebenarnya nggak memberikan dampak apa-apa kepada orang-orang. Pernah nggak sih kalian menunggu postingan dari seseorang karena merasa setiap postingannya memberikan manfaat atau motivasi untuk kalian? Sesuatu yang ketika nggak ada bikin kita cari-cari itu adalah respon refleks dalam diri kita ketika sudah nyaman dengan suatu hal. Sayangnya, aku bukan salah satu dari akun itu. Aku terdiam lamaaa banget. Jadi sebenarnya selama ini aku membuat postingan untuk kepentinganku sendiri, ya. Untuk kepuasan pribadiku, sebagai ajang pemberitahuan kepada orang-orang aku lagi ini lho, lagi makan ini, lagi di sini. Dan sebenarnya tanpa aku mengumumkannya lewat story pun, orang-orang ya biasa-biasa aja. Lantas jika begini, kenapa kita harus membuang beberapa menit kita untuk memperindah story? Logikanya begini, jika sama-sama membuang waktu kenapa kita tidak membuang waktu untuk hal yang bermanfaat? Setidaknya ada nilai positifnya. Entah media sosial digunakan untuk sharing, menyebarkan informasi, atau hal edukatif lainnya.

Media sosial sebenarnya berfungsi untuk eksistensi diri. Kalau kita punya karya bisa kita unggah di media sosial untuk membangun branding diri kita. Sebagai media untuk menampun krativitas kita. Seharusnya dengan cara itulah kita dikenal orang, bukan dengan kehidupan pribadi yang cuma-cuma kita suguhkan. Sebenarnya dengan cara itulah kita bisa menikmati hidup. 
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Dulu saat sudah duduk di bangku kelas 6 SD, Ibu selalu bilang bahwa aku harus mulai belajar mencuci baju sendiri. Apalagi saat itu aku sudah menstruasi, kata beliau perempuan yang sudah menstruasi berarti sudah baligh dan tidak boleh lagi bajunya dicucikan orangtuanya, apalagi kalau sampai orangtua mencucikan baju yang ada bekas darah. Lalu naik ke tingkat SMP Ibu mulai mengajariku hal baru yaitu memasak. Setiap hari Minggu saat libur sekolah menonton kartun yang tiada hentinya tayang terasa lebih seru dibandingkan harus memetik sayur dan menggoreng lauk di dapur bersama Ibu.

Ibu sering mengeluh ketika aku tidak mengindahkan perintahnya. Ibu bilang, memasak itu harus belajar mulai dari sekarang agar nanti ketika sudah dewasa tidak bingung belajar lagi. Dan belajar masak itu katanya tidak mudah, harus mencoba berulang kali. Ibu takut aku hanya pandai membaca buku, tapi tidak pandai meracik bumbu. Segala cara dilakukan ibu agar aku mau belajar memasak. Namun, hasilnya nihil. Sampai lulus SMA, aku belum juga bisa memasak kecuali merebus mie instans atau goreng telur.

Lalu setelah menjadi mahasiswa dan ngekos, aku mulai belajar memasak karena biayanya lebih hemat. Sempat frustasi karena masakanku tidak enak. Rasanya tidak keruan membuat tidak nafsu makan. Lalu aku menyerah dan memilih untuk membeli makanan saja. Di kos yang baru diwajibkan untuk iuran LPG sekalipun tidak memakainya, kupikir sayang kalau ikut iuran tapi tidak ikut memakai. Akhirnya aku mulai lagi untuk belajar memasak. Rasanya tetaplah sama, belum enak. Lebih sering keasinan. Tapi aku tetap saja melanjutkan untuk terus memasak, lama-lama aku suka dan mulai mencoba memasak yang lainnya misalnya membuat kolak, bubur, dan lainnya. Menurutku masih belum terlalu enak rasanya, tapi not bad-lah, sudah lebih baik dari yang dulu.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar



Ini adalah pengalaman yang menurutku sangat konyol, atau mungkin cuma aku yang baru mengalaminya. Di antara kalian adakah yang ternyata mengalami hal seperti aku?

Jadi ceritanya, aku excited untuk nonton film Iqro ini setelah tahu trailernya di youtube. Aku memang pendukung film Islami. Sebagaimana pun itu filmnya, yang kata orang kayaknya biasa deh, pemerannya kok itu, atau alasan lainnya, aku nggak peduli. Selagi film itu dibuat oleh umat Islam dan bertujuan untuk dakwah, aku akan mendukung. Nah, dengan menonton inilah sebagai upayaku untuk mendukungnya. Sayangnya, aku tahu nggak semua orang sepemikiran denganku. Nggak semua orang mendukung perfilman yang berunsur dakwah. Ketika aku menawari beberapa teman untuk nonton, mereka bilang lebih suka nonton film luar negeri di bioskop. Aku mengembuskan napas kasar. Oke, kuakui film luar negeri memang keren, dari segi teknologi, alur, pemeran, dan lainnya. Aku juga sangat memilih film dalam negeri yang akan kutonton. Kalau filmnya hanya untuk seru-seruan tanpa ada unsur edukasi, hanya romance menye-menye, aku nggak akan nonton. Tapi film Iqro ini film dakwah gaes, film saudara seiman kita sendiri. Bagaimana pun cerita dan pengemasannya, pasti film itu mengagungkan Allah. Ada nilai-nilai keagamaan yang bisa kita pelajari.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hasil gambar untuk gambar mendengar dengan hati
Source: Hipwee.com

Seingatku dulu awal-awal ngeblog aku pernah cerita tentang alasanku kenapa membuat blog. Entah di postingan yang mana aku lupa atau bahkan sudah kuhapus. Sebenarnya di blog ini sudah ada ratusan tulisan, tapi dengan sangat terpaksa aku hapus karena menurutku banyak tulisan alay sebelumnya wkwk. Maklum karena waktu itu aku membuat blog sejak SMA, ya begitulah ya anak SMA.

Kuulang lagi siapa tahu ada dari kalian yang belum membaca. Jadi aku ini adalah orang yang introvert, dimana aku lebih suka berdiam diri. Sebenarnya bukan tidak ada yang kuceritakan, tapi aku hanya memilih beberapa orang terdekat yang kupercaya untuk mendengar ceritaku. Nanti jika kamu baru menemuiku, aku akan menjadi orang yang super diam. Tapi jika kamu sudah akrab dan lama bertemu denganku, aku akan bercerita apa saja denganmu sekalipun itu tentang rasa sakit digigit semut atau kebiasaan burukku menuang air sampai tumpah. Hal sepele apa pun akan kubagikan kepadamu. Rasanya aku tidak akan melewati perjalanan hidupku tanpa kubagikan denganmu.

Aku memiliki beberapa teman dekat yang sampai sekarang aku tidak bisa berbohong kepada dia. Sekalipun aku menutupi kesalahan burukku, ujungnya aku selalu cerita ke dia. Karena aku sudah terbiasa untuk membagikan kisahku kepadanya. Namun, jika kita tak saling akrab atau dekat, hanya mengenal sebatas say hello atau basa basi. Sedikit pun perasaanku tak akan kubagikan kepadamu. Aku akan terlihat sebagai manusia yang tanpa ekspresi. Hidupku dilihat orang-orang flat.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hasil gambar untuk gambar mood
Source: mix.com



Aku itu tipe orang yang moody. Kalau lagi males, ngapain aja ogah. Sekalipun ngerjain tugas, pasti mepet banget deadline. Sukanya pacaran sama kasur. Kalau lagi rajin, sekosan aja bisa aku bersihin. Eh bener lho ini. Temen sekamarku pernah heran sendiri sama tingkah anehku. Kalau lagi rajin, aku suka bersihin dapur kosan atau nyapu ngepel kamar, cuci baju seabrek pun hayuk aja. Ada perasaan berbeda setelah aku berhasil membersihkan sekelilingku. Rasanya niat dan tenaga terkumpul semua.

Postingan ini terinspirasi dari salah satu postingan di instagram @bukaalbum. Ada yang bercerita di akun itu yang direpost oleh admin judulnya Inem mood. Jadi ceritanya, si penulis apabila sedang mengalami jenuh atau pusing dengan pekerjaan selalu break sejenak dari pekerjaannya lalu membersihkan meja kerja dan sekelilingnya. Dengan waktu 30 menit sampai sejam moodnya bisa kembali lagi membaik. Saat membaca itu aku merasa sedang ngaca. Kok kayaknya aku banget ya.

Dan entah apa cuma aku yang ngerasain ini atau teman-teman yang lain juga. Ketika diri kita dan sekeliling kita bersih rasanya keimanan kita semakin membaik. Awalnya yang malas ibadah, sholat ditunda-tunda, lalu tiba-tiba saja serasa baterai keimanan terisi penuh. Akhir-akhir ini aku suka membaca atau mengikuti hidup minimalis dan zero waste. Awal mulanya aku tidak sengaja menemukan bukunya Marie Kondo yang membahas tentang seni bersih-bersih. Lucu aja baca judulnya THE LIFE CHANGING MAGIC OF TIDYING UP SENI BERES-BERES DAN METODE MERAPIKAN ALA JEPANG. Pikirku masa beres-beres aja ada seninya sih. Pendahuluan di buku itu diceritakan bahwa dengan memiliki tempat yang bersih dan penataan barang yang baik, maka akan mengubah kualitas hidup kita, mood dalam diri kita juga akan terjaga dengan baik. Membaca itu aku langsung kepo, masa iyaya.

 

Meskipun sampai sekarang aku belum menerapkan metode Marie Kondo ini karena bentuk almariku yang tidak recommended, tapi aku sudah mulai hidup minimalis. Memilah barang yang sudah lama tidak aku gunakan untuk diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Membeli barang yang memang dibutuhkan saja, bukan hanya untuk sekadar keinginan.


Kapan-kapan aku cerita lagi pengalaman hidup minimalis dan zero waste,ya. Kalau lagi males-malesan coba memaksakan diri untuk membersihkan sekitar, siapa tahu moodnya bisa kembali. Aku menyimpulkan bahwa apa yang ada di sekitar kita adalah cerminan dari dalam diri kita. Apabila kamar berantakan pasti saat itu hati juga sedang tak keruan. Maka dari itu kita mulai menata hati dengan menata barang-barang yang ada di dalam kamar kita.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

https://www.pixelscrapper.com

Aku tahu ketika bulanmu datang, belum banyak perubahan yang kulakukan. Aku masih berjuang melawan kemalasan, masih suka menunda-nunda. Miris ya, gapapa, bismillah mulai berubah lagi. Semoga project yang direncanakan akan segera selesai.

Malam ini aku ingin bercerita sesuatu yang terjadi pada bulan Februari lalu. Tanpa bulan-bulan sebelumnya, langkahku tak akan sampai di bulan Juli. Maka setiap rekam peristiwa di bulan-bulan lalu adalah bagian dari bulan Juli. Tentang sebuah kekuatan hati atau sinyal yang tersambung langsung dari Tuhan.

Jadi begini, bulan Februari tepatnya tanggal 4 aku mendapat informasi bahwa telah diterima di perusahaan bimbingan belajar tempatku sekarang. Bertempat di luar kota tak jauh dari kota kelahiran, namun aku tak pernah mencoba untuk menjajakinya. Aku sama sekali buta tentang kota ini kecuali letak terminal busnya. Karena selama 4,5 tahun aku sering berwira-wiri menyinggahinya kala ke perantauan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose