Keahlian Memasak dan Gaya Parenting Mona Ratuliu
Dulu saat sudah duduk di bangku kelas 6 SD, Ibu selalu
bilang bahwa aku harus mulai belajar mencuci baju sendiri. Apalagi saat itu aku
sudah menstruasi, kata beliau perempuan yang sudah menstruasi berarti sudah
baligh dan tidak boleh lagi bajunya dicucikan orangtuanya, apalagi kalau sampai
orangtua mencucikan baju yang ada bekas darah. Lalu naik ke tingkat SMP Ibu
mulai mengajariku hal baru yaitu memasak. Setiap hari Minggu saat libur sekolah
menonton kartun yang tiada hentinya tayang terasa lebih seru dibandingkan harus
memetik sayur dan menggoreng lauk di dapur bersama Ibu.
Ibu sering mengeluh ketika aku tidak mengindahkan
perintahnya. Ibu bilang, memasak itu harus belajar mulai dari sekarang agar
nanti ketika sudah dewasa tidak bingung belajar lagi. Dan belajar masak itu
katanya tidak mudah, harus mencoba berulang kali. Ibu takut aku hanya pandai
membaca buku, tapi tidak pandai meracik bumbu. Segala cara dilakukan ibu agar
aku mau belajar memasak. Namun, hasilnya nihil. Sampai lulus SMA, aku belum
juga bisa memasak kecuali merebus mie instans atau goreng telur.
Lalu setelah menjadi mahasiswa dan ngekos, aku mulai
belajar memasak karena biayanya lebih hemat. Sempat frustasi karena masakanku
tidak enak. Rasanya tidak keruan membuat tidak nafsu makan. Lalu aku menyerah
dan memilih untuk membeli makanan saja. Di kos yang baru diwajibkan untuk iuran
LPG sekalipun tidak memakainya, kupikir sayang kalau ikut iuran tapi tidak ikut
memakai. Akhirnya aku mulai lagi untuk belajar memasak. Rasanya tetaplah sama,
belum enak. Lebih sering keasinan. Tapi aku tetap saja melanjutkan untuk terus
memasak, lama-lama aku suka dan mulai mencoba memasak yang lainnya misalnya
membuat kolak, bubur, dan lainnya. Menurutku masih belum terlalu enak rasanya,
tapi not bad-lah, sudah lebih baik dari yang dulu.
Entah karena apa, saat aku sudah bekerja dan harus
ngekos lagi, aku lebih suka memasak. Jarang sekali membeli makanan kecuali
kalau memang lagi ingin jajan. Menu yang kumasak bervariasi, aku mulai mencoba
menu yang agak sulit (menurutku) seperti soto atau sayur lodeh. Karena saat
dulu masih kuliah aku hanya memilih menu yang mudah, seperti tumis atau sop.
Yang lebih bikin aku semangat lagi adalah rasa masakanku ini semakin enak
menurutku. Haha. Ya belum terlalu enak seperti masakan ibu sih, tapi sudah
nggak keasinan lagi. Rasanya sudah pas menurutku, kalau nawarin temen kos untuk
makan sudah nggak malu lagi. Hehe.
Aku menyadari suatu hal, dimana ketika aku sudah mau
belajar memasak itu bukan karena paksaan atau disuruh siapapun. Pun aku
menjalaninya dengan mood yang naik turun, sempat nyerah ngerasa capek masak ini
itu nggak pernah enak. Lalu tiba-tiba dengan sendirinya keinginan untuk belajar
lagi itu muncul kembali. Semacam ada alarm dalam diri sendiri bahwa perempuan
yang sudah masuk di usiaku memang seharusnya belajar masak untuk nanti bekal
berumah tangga.
Lalu hari ini aku membaca buku Parenthink dari Mona
Ratuliu. Di buku itu dijelaskan bahwa ada kalanya anak dibiarkan untuk
menjalani hidupnya sendiri tanpa campur tangan orangtua. Anak akan jenuh jika
diceramahi dan diperintah ini itu. Karena dia belum menemukan suatu alasan
kenapa harus melakukannya. Di buku ini Mona menceritakan bahwa anak pertamanya
yang bernama Mima dibiarkan untuk bertanggung jawab memilih belajar atau tidak
ketika ujian datang. Jika pun tidak, Mona membiarkan anaknya belajar untuk
mengetahui konsekuensi dari pilihannya.
Source: Pribadi |
Aku membaca buku ini sore tadi. Sebenarnya sudah lama ingin sekali membeli buku Mona ini, tapi karena dulu saat mahasiswa uang pas-pasan jadinya belum kebeli. Sekarang, Alhamdulillah sudah bisa beli memakai uang sendiri. Haha.
Baca buku itu membuat aku ingat dengan diriku sendiri.
Aku merasa banyak perubahan setelah lima tahun berpisah dari orangtua. Dimana aku
harus menjalani hidup dengan keputusan dan caraku sendiri. Banyak hal yang
membuat aku berpikir lebih mendalam dan belajar. Contoh kecilnya adalah memasak, ketika ibu
memintaku untuk belajar memasak sampai berbusa, menjelaskan perempuan harus
begini begitu, tetapi jika aku belum benar-benar memahami alasannya dan
merasakan konsekuensi ketika aku nggak bisa maka aku akan tetap tidak beranjak.
Bagiku saat itu memasak adalah kemampuan yang tidak wajib dimiliki oleh
perempuan. Tapi sekarang, tanpa di suruh pun aku sangat suka belanja ke pasar
dan mencoba resep baru di dapur. Karena aku sudah merasakan bagaimana serunya
bereksperimen di dapur dan betapa senangnya jika kita bisa menyajikan suatu
makanan.
2 komentar
Kalau udah kepepet biasanya hati tergerak melakukan sesuatu. Tau2 harus bisa masak aja deh begitu menikah ya kan? Step by step itu baguslah belajar ga kudu diburu2 yang penting hasil masakannya dinikmati dan ga boleh mencela tuh yang makannya, namanya juga belajar hehehe. Good luck!
BalasHapusIya nih, udah ngerasain susahnya masak, sekarang jadi sayang banget mau buang makanan. Hehe
Hapus