Dimana Letak Syukurku?
Dari sebuah kalimat simple, “Aku pengen jalan-jalan, lagi jenuh.” Akhirnya obrolan kami
beranak-pinak melahirkan berbagai macam topik. Obrolan panjang yang kami
lakukan dengan jeda waktu yang lumayan lama karena kita harus melakukan
berbagai macam kegiatan di dunia nyata.
Namanya Sarkutika. Bukan nama sebenarnya, tapi aku
memanggilnya begitu. Gadis berkacamata yang memiliki suara bak Raisa. Teman kos
dulu semasa di Jember. Kami masih intens berkomunikasi sampai sekarang di
tengah-tengah hiruk-pikuknya pekerjaan.
Dia bertanya bagaimana aku menjalani hari di
perantauan. Aku bercerita pengalamanku yang sering makan di tempat makan,
nonton, ke mall sendirian selama di Mojokerto. Kita juga saling berkisah
tentang teman-teman dan pekerjaan kami masing-masing. Lalu di suatu pagi aku
ingat sesuatu hal yang membuat hatiku mengganjal beberapa hari belakangan ini. Kukirim
voice note kepadanya, intinya aku
merasa jenuh dengan tempat kerja yang tidak mempertemukanku dengan banyak
orang. Apalagi di tempat kos, jarang terjadi komunikasi yang intens. Aku dan
teman kos sibuk dengan rutinitas masing-masing lalu membawa lelah ke kos, dan
kegiatan paling enak adalah tidur. Membuat kami menutup pintu dan sibuk dengan
diri masing-masing. Aku merasa kesepian, namun di sisi lain ketika melihat story teman-temanku yang menjadi orang
kantoran aku merasa tak mampu jika harus membaur di tengah-tengah pergaulan
perkantoran. Ajakan nongkrong, karaokean, bahkan sampai minum-minum. This is real. Tapi aku tahu, nggak semua
pergaulan seperti itu.
Aku merasa diriku memang aneh, seorang introvert yang
tidak suka kesepian, tapi suka menyendiri. Kadang aku berpikir, tempat kerjaku
yang sekarang adalah tempat yang tepat untukku. Dimana aku hanya bertemu dengan
siswa, pengajar, dan 2 staff saja. Tidak terlalu banyak konflik yang terjadi,
pun aku juga tak perlu menguras tenaga untuk beradaptasi dengan banyak orang di
dalamnya. Sayangnya, jiwa ketidakbersyukuranku berteriak, minta lingkungan
kerja yang beginilah begitulah. Padahal kalau boleh jujur, ini adalah yang
terbaik untuk seorang introvert sepertiku. Yah begitulah manusia, berekspektasi
tentang lingkungan pekerjaannya. Melihat bagaimana serunya menjadi orang
kantor.
Aku bilang ke Sarkutika, “Beri aku nasihat agar aku
bisa bersyukur,” ucapku menutup voice
note yang kukirim.
Malam harinya dia baru sempat merespon ceritaku. Dia mengirimi
beberapa voice note yang berdurasi
lama. Intinya, dia cerita bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang berisiko
jika tidak teliti, harus mengurus beberapa cabang dan itu adalah tanggung jawab
yang besar. Dia bertemu dengan banyak orang dengan berbagai macam karakter,
beberapa kali dia mendapat masalah karena kesalahpahaman.
Mendengar ceritanya, aku bertanya ke diriku sendiri,
kalau seandainya Allah benar-benar menempatkanku di kantor yang besar dan
bertemu dengan banyak orang apakah aku mampu untuk menjalani rutinitas itu
semua, mengemban tanggung jawab sebesar itu, dan bertahan di tengah tekanan
yang tidak aku sukai?
Aku bilang begini ke Sarkutika, “Aku menyimpulkan sebenarnya setiap pekerjaan dan tempat kerja memiliki kondisi
tersendiri yang tidak bisa dibanding-bandingkan. Aku bekerja dengan bertemu
orang yang tidak terlalu banyak, pekerjaan yang tidak terlalu menumpuk di
bulan-bulan tertentu, enak memang sayangnya itu kurang membuat aku berkembang
lebih jauh lagi dalam hal adaptasi. Setiap pekerjaan memberikan kita pelajaran,
aku memang mendapat pelajaran yang baru dari pekerjaanku, tidak kamu temukan di
bidang pekerjaanmu. Dan kamu bekerja dengan penuh tekanan dan tanggung jawab
yang besar, tapi justru menurutku itu adalah hal yang baik untuk membuatmu
lebih berkembang. Sekarang aku sadar, Allah itu menempatkan kita sesuai dengan
kapasitas kita. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.”
Lalu si Sarkutika ini membuat aku tertampar begitu
keras. Dia bertanya, “Kamu masih sering ngaji nggak?” Aku jawab, “Ya, tapi ada
kalanya imanku lagi turun. Kadang aku malas. Kenapa?”
“Disitulah letak syukurmu seharusnya, aku selama
bekerja hampir nggak pernah ngaji, bahkan untuk menyentuh Al-Quran pun tak
sempat. Aku juga baru sadar, sering gelisah masalah pekerjaan, tapi aku tidak
gelisah ketika sudah lama tak mengaji. Kadang saat waktu Sholat pun aku
menunda-nunda karena sibuk dengan pekerjaan. Manfaatkan waktu yang diberikan
Allah untukmu. Seharusnya kamu mensyukurinya.”
“Ya
Allah, iyaya. Kenapa aku tidak kepikiran, malahan kadang aku mendustakan dengan Bermalas-malasan."
Kami melanjutkan cerita, lalu sampailah kita pada
cerita tentang seorang teman. Aku mengawali ceritanya ke Sarkutika, “Aku mau cerita. Semoga kita bisa memetik cerita dari teman yang
ini. Dia bekerja di kota besar, dengan gaji UMR, bonus yang lumayan, bahkan
beberapa kali dari story-nya terlihat
pulang pergi ke pulau orang, makan enak, menginap di hotel mewah, yah
enak-enaklah pokoknya. Banyak teman yang bilang wih enak nih
sekarang hidupnya sering ke pulau orang, dia bilang kelihatannya aja enak
padahal jalan-jalannya cuma beberapa jam dan mikir kerasnya berjam-jam. Aku tahu
bagaimana dia pernah bercerita di awal bekerja yang begitu putus asa dengan
tugasnya yang sangat sulit sampai dia menangis. Lalu sekarang dia mulai paham
dengan pekerjaannya, sering melewati malam-malam dengan begadang, bahkan weekend pun masih sering menyelesaikan
pekerjaan. Tapi, ada hal yang lebih membuatku kaget. Dia pernah tiba-tiba tanya
tempat kajian kepadaku, lalu aku menyarankannya untuk mem-follow IG kajian di kotanya. Tanpa bertanya, teman yang ini
bercerita sendiri kepadaku bahwa hatinya merasa kosong. Dia bilang, secara
materi dia memang kecukupan, tapi dia merasa itu semua tak ada artinya karena
rohaninya kehausan.”
Sarkutika membalas pesan whatsappku dengan emoticon menangis.
Dia bilang, “Kebahagiaan itu nggak bisa diukur dengan materi, ya.”
Terlihat dia mengetik pesan lagi dan bilang, “Secara
materi mungkin nominalnya lebih besar aku dan teman yang kamu ceritakan, tapi
sebenarnya secara akhirat kamu yang lebih beruntung.”
Lagi-lagi aku merasa tertohok membaca pesannya. Ada nikmat
besar yang tidak kusadari, bahkan untuk kusyukuri. Karena hatiku dipenuhi
duniawi. Pun nikmat waktu senggang yang lumayan banyak yang Allah berikan
sering aku siakan, ibadah tetap ditelantarkan. Hamba macam apa aku ini, padahal
pun aku bisa bekerja karena Allah yang membukakan pintu rezeki.
0 komentar