(Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan
Dok. Pribadi |
Sehingga siapa pun yang hendak menikah
sudah selayaknya merenungkan nasihat sederhana ini: daripada kita habiskan
waktu bertahun-tahun untuk saling mengenal, padahal itu tidak menjamin apa-apa
kecuali peluang untuk melakukan dosa, lebih baik kita membangun kesiapan untuk
menerima. (Hlm.45)
Sekilas
dari judulnya hampir semua orang berpikiran buku ini menuliskan kisah seseorang
yang sedang menunggu jodoh. Memang iya, pada halaman awal kita akan disuguhi
dengan cerita pendek tentang proses taaruf antara Azhar Nurun Ala dan istrinya
yang bernama Vidia Nuarista. Tentang sebuah pertemuan yang sudah lama terjadi,
namun mereka lebih memilih mengenal lebih dekat dengan sebuah pernikahan.
Meskipun
jodoh sudah berada di sisi, pertanyaan tentang kedatangan tetap datang
bergantian. Bukan berarti pertanyaan tentang jodoh adalah satu-satunya yang
membuat seseorang menjadi mati kutu. Tapi setelah itu, akan lebih banyak lagi
pertanyaan yang mampir di telinga lalu membuat sesak ruang hati yang masih
tersisa.
Buku ini
berkisah tentang hidup penulis yang digandrungi anak muda akhir-akhir ini. Hidup
penulis yang selama ini terlihat baik-baik saja. Namun dibalik itu semua, ada
proses panjang tentang sebuah perjuangan menanti kedatangan. Azhar Nurun Ala
melamar seseorang yang usianya lebih tua darinya. Dan yang paling mengejutkan,
ternyata seorang Azhar menikah sebelum lulus dari pendidikan S1. Sedangkan istrinya
sudah lulus dengan cumlaude. Hari-hari
Azhar terlalu sibuk dengan kegiatan menulis dan seminar kepenulisan, sehingga
skripsinya ngangkrak di draft
komputer.
Hingga akhirnya
dia sadar. Sesukses apa pun dia, kelak orangtuanya juga menginginkan bisa
berfoto dengan anaknya yang mengenakan toga. Lalu dengan kesibukan yang semakin
menjerat, dia menyelesaikan penelitiannya di rumah sakit. Beruntung, memiliki
istri yang pengertian. Dengan bantuan sang istri, berbagai hal yang menghambat
kelulusannya bisa segera diatasi. Dan akhirnya, dia sudah menemukan jawaban
tentang pertanyaan kelulusannya.
Di tengah-tengah
kesibukan mengerjakan skripsi, ada sebuah pertanyaan yang sering mengaduk-aduk
perasaannya begitu juga sang istri. Meski istrinya tidak pernah berkata
langsung, tapi Azhar cukup paham bagaimana perasaan seorang perempuan jika
ditanya tentang keturunan. Azhar tahu setiap malam dihabiskan istrinya dengan
garis basah yang membelah pipinya. Isak tangis yang disembunyikan tak mampu
membohongi seorang suami. Tapi dia lebih
memilih berbaring pada jarak tertentu, membiarkan perempuan itu memeluk dirinya
sendiri. Tak ada kata, atau bujuk rayu apa pun yang bisa menghentikan
tangisnya. Tak ada humor yang bisa membuatnya tertawa, atau sekadar
menyunggingkan senyum di ujung bibirnya. Tak ada raba yang sanggup
menenangkannya. (Hlm.9)
Dia dan
istrinya menceritakan berbagai macam upaya agar segera mendapat jawaban dari
penantian panjang buah hatinya. Bagaimana setiap hari dihabiskan dengan menelan
banyak pertanyaan pahit dari orang-orang. Orang lain tak pernah tahu berapa
banyak biaya, usaha, waktu, bahkan doa yang mereka keluarkan untuk dipercaya
Tuhan menjaga titipan-Nya. Tuhan terlalu sayang, menguji Azhar dan istrinya
untuk berjuang bersama-sama.
Buku
ini ditulis dengan bahasa yang ringan dan mengalir. Menghanyutkan pembaca pada
kisah penulis. Mengajarkan kita tentang sebuah perjalanan kehidupan yang
dihabiskan untuk menunggu kedatangan tanpa berkesudahan. Dan pada akhirnya, kita
sadar hakikatnya semua manusia di dunia ini sedang antri menunggu ajal. Kita
akan berhenti menunggu setelah berada pada ujung usia dan sisa embusan napas.
Sungguh
naif rasanya jika pernikahan dilukiskan hanya baiknya saja. Padahal di dalamnya
banyak problema yang lebih pelik. Banyak hal tak terduga dari pasangan yang
akan kita temui. Itulah mengapa, Azhar menyebutkan dalam buku ini bahwa
pernikahan adalah proses mengenal tiada akhir. Usia pernikahan yang sudah
belasan tahun pun belum sepenuhnya kita bisa mengenal pasangan masing-masing
dengan baik.
Pada
sebuah pernikahan, kita dipaksa untuk mengeluarkan semua sifat buruk tanpa
sadar. Kita akan meluapkan aib pada diri masing-masing sampai akhirnya tak akan
tersisa lagi. Dan kita sudah tidak mempunyai sifat buruk yang bisa
disembunyikan. Sehingga proses saling
mengenal yang tak didahului oleh kesiapan untuk menerima hanya akan melahirkan
perasaan kecewa, yang jika ditumpuk lama-lama akan sangat berbahaya. (Hlm.45)
/1/
Ada waktu kita jatuh cinta. Ketika tak cukup lagi rasa
digema dalam kata. Ketika rembulan selalu tampak bulat sempurna. Ketika duka-duka
bisa dilupa. Saat perih pedih luka bisa ditunda untuk sementara. Dan hidup
adalah padupadan warna yang begitu bernyawa.
/2/
Ada waktu kita patah hati. Hidup serasa permen karet
yang telah habis gulanya. Yang tersisa untuk dicecap adalah hambar atau pahit. Hambar
atau pahit dan bukan manis. kita begitu ingin membuangnya tapi tak punya
apa-apa lagi untuk dikunyah. Tak punya topeng untuk terlihat baik-baik saja.
/3/
Ada waktu kita harus pergi. Berjalan saling menjauh membawa
sekotak koper besar berisi rindu. Tanpa kalimat perpisahan. Tanpa lambai
tangan. Dan yang terpedih, tanpa kesepakatan yang menenangkan.
/4/
Ada waktu kita saling menunggu. Menebak-nebak keajaiban macam
apa yang sudi menghampiri dua manusia penuh dosa yang terlanjur jatuh cinta
/5/
Ada waktu kita bertemu. Dan pelan-pelan mengerti:
hidup adalah sekotak kado rahasia yang tak perlu tergesa-gesa kita buka.
2 komentar
Sungguh naif rasanya jika pernikahan dilukiskan hanya baiknya saja. Padahal di dalamnya banyak problema yang lebih pelik
BalasHapusBener banget ini...
Yapps bener mbak wid :)
Hapus