(Katanya sih) Quarter Life Crisis
Source: Medium.com |
Akhir-akhir ini aku dirundung kebingungan, galau,
jenuh, dan cemas entah pada hal apa. Meski terlihat dari luarnya biasa-biasa
saja, sebenarnya aku sedang menutupi perasaanku. Bingung ingin menceritakan
tentang apa ke orang lain, daripada terlihat murung tapi nggak bisa cerita yang
akhirnya malah membuat orang-orang kebingungan, berpura-pura baik-baik saja
adalah hal yang tepat dilakukan menurutku.
Sampai aku pernah googling dan tanya ke seorang teman
buku judul apa yang membahas Quarter Life Crisis. Ada yang belum tahu apa itu
QLC?
Jadi,
QLC adalah kecemasan atas arah dan kualitas hidup seseorang yang dialami dalam
periode mulai dari usia dua puluhan seseorang hingga pertengahan tiga puluhan.
(Wikipedia)
Aku pikir perasaan yang bercampur-campur pada diriku
ini terjadi wajar pada orang-orang seusiaku. Masalah krisis ini memang sudah
kudengar sejak lama. Aku merasakan gejala QLC, dimana aku merasa takut dengan
arah hidupku. Aku merasa dengan bekerja saat ini apakah aku tetap bisa menebar
kebermanfaatan untuk orang-orang, apakah menjadi bermanfaat itu harus masuk
pada sebuah organisasi atau komunitas? Mengingat di kota perantauanku saat ini
aku masih belum menemukan jaringan untuk bisa bergabung pada sebuah
perkumpulan. Lantas, hanya segelintir orang yang aku kenal di tempat
ini, bagaimana caraku membuat jaringan? Benar-benar aku belajar semuanya dari
awal.
Dulu ketika aku di Jember, semuanya terasa enak
kujalani. Karena aku mempunyai teman, bisa ke sini ke situ, gabung di acara ini
itu, selalu ada saja. Tapi sekarang, harus berusaha keras sendiri. Atau aku
masih pada masa adaptasi dari dunia kampus ke dunia kerja. Teman-teman kosku
mereka juga seperti itu, kerja-kos-kerja-kos, sesekali pun main mungkin nonton,
ngemall, atau yah have fun ke
tempat-tempat terdekat. Sedangkan aku, nggak cukup dengan hanya seperti itu.
Aku merasakan selama bekerja ini kurang menemukan esensi hidupku. Semuanya berubah.
Seakan aku merasa hidupku hanya tentang diriku sendiri, padahal aku ingin
sekali menambah kebermanfaatan diriku. Tapi nyatanya, aku merasa belum
melakukan apa-apa.
Setahun terakhir ini aku suka dengan hal-hal yang
bertema self improvement. Aku follow
Kak Novie, seseorang yang sedang menempuh magister psikologi dan merangkul para
perempuan dengan membuat program Sister
of Deen. Program itu mengirimi surat kepada perempuan yang sudah
mendaftarkan emailnya. Beliau juga membuat program baru bernama heal yourself. Atau ada juga Kurniawan
Gunadi suami dari Mbak Aji Nurafifah (Mbak Apik), Choqy dari Bandung, mereka
adalah penulis buku yang sering membuat konten mengenai self improvement di IG. Aku sadar selama ini aku ingin menjadi
penulis, kadang aku merutuki diri sendiri kenapa aku belum bisa menjadi penulis
seperti mereka yang bisa merangkul banyak orang, dan menebar kebermanfaatan di
penjuru media sosial.
Hari Minggu kemarin penerbitan Langitlangit yang
dimiliki oleh Kurniawan Gunadi mengadakan career
class. Setelah itu mereka melakukan Live di IG berbincang mengenai pekerja
lepas dan pekerja kantoran. Di Live itu Mas Gun—panggilan akrab Kurniawan Gunadi—menjelaskan
sebelum menjadi penulis dengan banyak karya dan dibaca banyak orang seperti
saat ini, dia mengawali menulis dari bertahun-tahun lalu sampai sekarang rajin
membuat konten. Kita bisa mikir, enak kali ya penulis sudah terkenal, bukunya
cetak berulang kali, punya banyak fans. Padahal dibalik itu semua ada usaha
yang lebih keras yang dia lakukan dibanding kita. Ada kejenuhan yang dia lawan
dan ada macam-macam upaya yang dia cari agar idenya selalu mengalir untuk tetap
bekarya. Sedangkan aku, selama ini nulis dan ngeblog cuma untuk seneng-seneng. Pernah
belajar tapi nggak diseriusi, nyerah gitu aja, upayaku masih setengah-setengah.
Semangatku tak kujaga sehingga naik-turun.
Temannya Mas Gun yang mengisi materi career class ini bernama Mbak Alia. Beliau
seorang konsultan. Beliau bilang ada banyak orang yang saat ini tidak menikmati
pekerjaannya, karena kemungkinan mengambil segala peluang yang ada. Tidak memetakan
potensi dirinya untuk berkarir. Aku berpikir, apakah aku adalah salah satu
orang yang dimaksud. Apa itu penyebabnya aku mengalami QLC, karena tidak
mempersiapkan diriku jauh sebelum aku lulus kuliah.
Yang aku bisa saat ini adalah menikmati segala yang
Allah beri. Ada banyak orang yang mungkin sedang berjuang mendapat pekerjaan,
tapi tak kunjung diterima. Ada banyak orang yang pusing memikirkan skripsinya
tak kunjung selesai padahal semester semakin menua. Pikiran-pikiran itulah yang
membuat aku kembali belajar untuk mensyukuri dulu segalanya. Dan, aku masih
berjalan mencari jawaban tentang hidupku dan apa langkahku selanjutnya.
2 komentar
Memang QLC ini jadi gejala yang lumrah untuk usia dewasa muda, cuma kesuksesan kita mengatasi krisis itu juga berkaitan dengan manajemen diri sendiri. Terus percaya saja, kalau Allah pasti punya rencana yang terbaik untuk kita. Kita tinggal melakukan segala sesuatu dengan usaha terbaik dan niat yang ikhlas. Bukannya menggurui, tapi saya juga berada di rentang usia QLC, hhe
BalasHapusTerima kasih sarannya. Ternyata aku nggak sendiri menghadapi QLC hehee.
Hapus