Aku, Insecure, dan Parenting Orangtuaku

by - 21.28

Aku pernah meminta seorang teman untuk menebak di antara dua tulisan yang aku kirim, mana yang tulisanku sendiri. Aku melakukan ini karena ingin tahu apakah aku punya ciri khas dalam menulis. Kupilih teman yang sudah lama kenal dan sering mengikuti perkembangan tulisanku. Jawabannya benar, lalu kumintai alasan kenapa memilih pilihan tersebut.

Dia bilang, “Karena ada satu kata yang akhir-akhir ini sering kamu gunakan.”

Kutanya, “Kata apa itu?”

Dia bilang, “Kata insecure.”

Padahal aku yang nulis, tapi aku yang kaget. Aku bilang, masa sih. Lalu kubuka lagi tulisanku beberapa hari dan bulan sebelumnya. Iya ternyata, meski nggak banyak amat sih. Aku jadi berpikir sesuatu, secara teori apa yang kita tulis dan gambar adalah menggambarkan apa yang kita rasakan. Mungkin memang benar, akhir-akhir ini aku diserbu rasa bersalah, menyesal, dan lebih parahnya kepercayaan diriku sedang krisis. Mulai di usia 20-an memang ada quarter life crisis pada diri setiap orang. Pencarian jati diri kedua dimulai di usia ini.

Setelah mempelajari parenting dan melihat perilaku orangtuaku, aku menemukan banyak hal yang membuat aku sadar bahwa aku ini adalah cetakan atau hasil dari perilaku orangtuaku di masa kecilku. Sebenarnya aku sudah tahu hal ini sejak lama, bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ketika mengetahui hal itu benar-benar terjadi pada diriku sendiri jadi semacam ada perasaan kaget, ya ampun ya pantes kalau aku gini, ternyata cara orangtuaku bersikap ke anaknya seperti ini itu. Begitulah kira-kira yang ada di pikiranku setiap aku menemukan satu-persatu kenyataanya.

Aku tahu siapa pun itu yang menjadi ibu, pasti dia akan lebih mengkhawatirkan anaknya. Namun, aku melihat ibuku ini mempunyai rasa khawatir berlebihan. Dari kecil ibu melarang aku melakukan banyak hal sampai aku tidak mencoba berbagai macam permainan atau hal baru. Fatalnya agar aku menuruti ucapan beliau, aku ditakut-takuti. Itulah yang berdampak pada psikisku sampai saat ini. Menjadi takut mencoba hal baru dan menantang karena takut dengan risiko. Selalu mempertahankan zona nyamanku sendiri.

Aku baru tahu kalau ibuku adalah orang yang perfeksionis. Melakukan sesuatu hal harus sebaik mungkin dan ketika pekerjaan itu dialihkan kepada orang, beliau merasa keberatan karena hasilnya akan berbeda dari yang beliau harapkan. Seperti misalnya ketika aku belajar memasak. Ibu tidak melihat seberapa aku ingin dan usahaku untuk memasak, tapi lebih pada masakanku yang keasinan atau gosong. Aku merasa tidak mendapat apresiasi dari kecil, karena apa yang kulakukan selalu salah dan aku merasa tak bisa apa-apa.

Dulu ketika ibu memperlakukan ini dan itu, aku diam dan menurut. Sekarang ketika aku sudah tahu, aku jadi bisa ngomong ke beliau. Awalnya dulu pas tahu hal ini aku suka uring-uringan meski dengan cara diam. Menyimpan dongkol dalam hati. Kenapa ibu begini begitu, kenapa tidak seperti ini seperti itu. Lama-lama setelah banyak belajar lagi, aku merasa harus mengkomunikasikan apa yang aku rasakan dan tidak melakukan hal yang sekiranya memancing emosiku. Seperti contohnya memasak, dulu aku selalu berambisi juga ikut memasak dengan beliau, aku ingin diberi kepercayaan untuk menuangkan bumbu sendiri. Meski tidak bilang, aku bisa membaca raut muka beliau yang khawatir jika aku yang memasak. Beliau takut nggak enak atau lainnya. Sekarang aku menurunkan egoku, hanya membantu hal-hal yang kecil dan urusan menuangkan bumbu atau tahap penting kuserahkan pada beliau. Kuamati diam-diam cara memasak, bumbunya apa saja, dan kematangannya seperti apa. Nanti kalau aku ingin masak, aku akan masak sendiri, kucoba dan kumakan sendiri.

Hal-hal yang sekiranya beliau tidak percaya ke aku, kutanyakan detail seperti apa, setiap melakukan apapun aku tanya dulu apakah boleh. Cara ini cukup manjur agar aku tidak melakukan banyak kesalahan di mata beliau. Lalu pas kita lagi istirahat dalam keadaan santai aku baru bilang apa yang aku pengenin. Aku bilang apa adanya, aku merasa tersinggung kalau nggak dipercaya dari dulu, adakalanya aku pengen nyoba masak dan ngerasain masakanku dimakan orang rumah. Barang ngasih sejumput garam aja aku pengen nyoba, ibu cukup melihat dan menyicipi apakah rasanya sudah pas. Kalau belum, bilang ke aku apa yang kurang. Yaa, meski dengan cara ini belum mengubah banyak hal dari beliau. Aku sangat memahami, perasaan khawatir dan perfeksionis memang butuh proses panjang untuk dikondisikan.

Benar kata Mark Manson di bukunya Seni Untuk Bersikap Bodo Amat bahwa apapun kesalahan orang lain yang dilakukan kepada kita adalah tanggung jawab kita untuk menyelesaikannya. Kita tidak bisa mengontrol apa yang akan dilakukan oleh orang lain, tapi kita bisa mengkondisikan bagaimana respon kita. Kurasa aku terlalu membuang waktu jika hanya menyalahkan keadaan, aku yang harus memahami dan menyikapinya sebaik mungkin.

Aku pernah bertanya kepada pakar parenting di sebuah kulwap. Apakah karakter hasil didikan orangtua bisa diubah? Beliau bilang, bukan diubah sepenuhnya tapi lebih dikontrol dan kita belajar cara menyikapinya. Misal nih, aku menjadi orang yang penakut. Gimana caraku untuk mengasah agar aku bisa terbiasa berani menghadapi sesuatu, jika takut itu datang bagaimana caraku menyikapinya. Kita nggak bisa menyalahkan orangtua yang menurunkan sifat bawaan atau bentukan karakter, karena orangtua kita juga hasil cetakan nenek moyang.

Hm, iya juga ya kalau dipikir-pikir. Jadi sekarang harusnya aku yang berperan untuk memutus rantai parenting yang kurang tepat di generasiku. Buang-buang waktu kalau hanya menyalah-nyalahkan. Apa iya, aku mau menyalahkan ibu yang begadang nemenin aku sakit-sakitan dan meyajikan masakan terbaiknya, bapak yang bermandikan keringat membiayai aku kuliah sampai akhirnya aku bisa mengenal ilmu parenting ini.

Nggak ada rumah tangga atau parenting orangtua yang sempurna, pasti ada kurangnya. Aku selama ini fokus pada kurangnya orangtuaku, padahal selama ini sudah banyak hal yang mereka lakukan. Setiap orangtua memang mempunyai cara mendidiknya masing-masing. Dengar cerita teman-temanku yang bermacam-macam tentang orangtuanya, aku jadi sadar sesuatu hal. Aku tumbuh besar di tengah keluarga yang bukan broken home saja harusnya aku sangat bersyukur.


You May Also Like

13 komentar

  1. Baca tulisannya Mba Anik, bener-bener menyentil saya sebagai seorang Ibu mba 😂 soalnya kadang saya juga suka begitu ke anak, tapi itu biasanya terjadi karena kalo saya masak, waktu udah mepet dan keuangan gak cukup kalo harus mengganti makanan yang rusak karena gosong atau keasinan dan lain-lain. Saya pikir sebenarnya itu lebih ke permasalahan di diri Ibunya yang mungkin sedang banyak pikiran, kewalahan atau sedang capek, sehingga berimbas dengan orang disekitarnya bukan semerta-merta karena kesalahan anak.

    Mungkin, pintar-pintarnya kita untuk membaca situasi dan beradaptasi. Karena dalam hati pasti Ibunya juga menyesali tindakan ke anak yang seperti itu. Hanya saja mungkin gak bisa ngomong karena emang tidak dibiasakan dari Orangtuanya dulu.

    Good work, mba. Ternyata kamu anak yang baik, mau mengerti keadaan Orangtua 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya mbak udah ngasih sudut pandang aku sbg orangtua.

      Sedang belajar mengerti dan mengkomunikasikan sih mbak hehee

      Hapus
    2. Sama-sama mba 😂 sepertinya malah saya yang jadi bisa belajar dari tulisan ini, seolah mendengar isi hati anak pertama saya dari masa depan 😁

      Bukan hanya anak muda yang perlu belajar mba, bahkan Orangtua dan juga Kakek nenek pun masih harus belajar, karena emang gak ada batasannya selama kita masih ada di dunia 😊

      Hapus
  2. Halo Kak Anik. Jujur itu juga yang aku rasakan. Kalau kakak kan ibunya yang perfeksionis, kalo aku malah papaku. Bahkan papa kalo meja geser sedikit tidak pas sesuai garis lantai, dia akan mengubahnya agar sesuai garis lantai.

    Aku pun merasa apa yang orangtua aku lakukan tidak sepenuhnya berdampak positif untukku. Aku sudah menikah dan pernah merasakan momen hamil dan melahirkan. Walaupun babyku di panggil kembali oleh Tuhan pada usia delapan hari setelah lahir. Namun, saat hamil, aku merasa khawatir sebab aku tidak ingin seperti mamaku.

    Di saat orang lain ingin seperti ibunya, aku malah tidak mau menjadi ibu seperti mamaku. Karena mamaku juga pernah seperti ibunya kakak. Aku dilarang untuk main dan coba ini dan itu. Contohnya naik sepeda roda dua. Sampai sekarang aku tidak bisa kak. Karena mama dulu larang, alasannya takut jatoh dan nanti jadi luka yang membekas.

    Nah, kebetulan aku pernah ikut IG Live di akun Kak @Fathyartha. Beliau seorang psikolog dan membahas juga tentang inner child. Ya.. inner child kita pada masa kecil bisa mempengaruhi kita dewasa ini. Coba cek aja kak ke IG nya kak fathya, ada beberapa IGTV yang di save dan di bahas mengenai masa lalu, seperti berdamai dengan masa lalu, bahkan yang terakhir membahas untuk negosiasi dengan takdir. Kak Fathya ini juga concern dengan parenting, karena beliau psikolog anak. Aku pas dengeri IGTV dia, merasa bahwa aku bukan mamaku. Jadi aku bisa menjadi berbeda dengan mamaku dan itu tidak masalah.

    Yuk sama-sama kita mencoba untuk menjadi diri sendiri. Karena aku pun masih proses belajar kak hhhe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Di saat orang lain ingin seperti ibunya, aku malah tidak mau menjadi ibu seperti mamaku."

      Mbaaak, ini bener banget sih. Aku pernah kepikiran gitu juga. Tp kadang aku juga mikir, ibuku adalah terbaik versi dirinya. Bagaimana pun dia yg udah ngasih terbaik buat aku. Huhu mangat ya mbak.

      Ohyaa makasih infonya coba aku lihat IG nya

      Hapus
  3. Seperti biasa tulisan Anik selalu ringan namun punya makna dalam. Memutus mata rantai parenting yg kurang tepat adalah tugas generasi penerus, mari semangat!

    BalasHapus
  4. Aku waktu itu pernah ngbrol sama psikolog di sekolah anakku saat tes minat bakat dia jelasin, kalau hal itu akan mempengaruhi emosi anak selain kepercayaan dirinha jd membuat dia jd suka ikut2an dg lingkungan sekitar. Jd dia lbh banyak melihat teman2ny kaya gimana, trus ikut melakukan hal yg sama.
    Belajar dr situ aku jd brusaha lbh ngasi kepercayaan buat dia, dan jg adik2nya. Dan itu kerasa bgd sih perbedaan percaya diri si sulung sama adik2ny.
    Tp namanya parenting kita memang dituntut untuk terus belajar jd lbh baik.. hehehe..
    Btw, salam kenal ya mba 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mbaakkk.

      Btw, itu yg aku rasain sih. Ngelihat si X pengen jadi si X. Ngelihat A pengen jadi A. Karena aku gak percaya sama diriku sendiri.

      Ini sedang proses belajar untuk mencintai diri sendiri mbak hehe makasih sharingnya ya

      Hapus
  5. Omaigaaat, Mbak. Sama persis seperti didikan almarhumah ibuku. Sekarang aku enggak berani keluar dari zona nyaman dan cenderung paranoid. Karena aku enggak pernah diizinkan gini gitu. Bahkan berenang pun aku enggak pernah, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Samaaa. Aku kalo diajak renang cuma berani dipinggir doang main air. Takut aku buat belajar karena dari kecil dilarang.

      Hapus
  6. Menarik sekali tulisannya, Kak. Setelah sekarang menjadi ibu, aku jadi banyak berkontemplasi tentang pola pengasuhan yang didapat saat kecil. Sedikit banyak berpengaruh pada cara saya merespons sesuatu. Bagi saya ada inner child yang negatif. Saya sedang berusaha untuk mengontrol inner child itu...

    vita.. mamanesia.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. semangatt jadi ibu ya kak. Hehee aku masih belajar

      Hapus