Ketika Aku Masih Diingat
Sejauh
yang kuingat, seminggu lalu aku dan teman-teman relawan Rumah Zakat telah mengunjungi
rumah Mbah Tosi yang bertempat di Arjasa, Jember. Kami berkunjung untuk
melaksanakan program Kejutan Bahagia. Meski waktunya sudah lewat, aku tetap
merasa memiliki hutang jika belum menuliskannya.
Awal
melihat foto beliau bersama adiknya yang bernama Mbah Misni, aku merasa iba.
Dari kondisi fisik mereka sudah terlihat memprihatinkan. Sebelumnya, tidak
terpikirkan olehku perjalanan ke rumahnya itu sesulit apa, atau kondisi
rumahnya bagaimana.
Saat
perjalanan ke rumahnya, ada jawaban yang tidak pernah aku pertanyakan. Ternyata,
istana kecil mereka berada jauh dari pusat kota. Untuk ke sana, harus melewati
jalan yang terjal, berkelok-kelok, dan menanjak.
Apalagi
saat itu Jember sedang diguyur hujan, sehingga jalanan lebih terasa licin. Ada
perasaan takut yang menyelinap, karena jalanan yang sempit dan belum diaspal
itu berdekatan dengan jurang dan sungai yang arusnya deras.
Keadaan
semakin mencekam saat motor salah satu dari kami ada yang menurun di tanjakan.
Pertolongan Tuhan tetap menyertai. Tak ada kekurangan suatu apa pun saat
perjalanan. Terpaksa, beberapa meter kami harus turun dan berjalan menuju rumah
beliau.
Mungkin
kau kira aku sedang mendramatisir suatu keadaan. Bisa jadi, kau pikir aku
sedang menulis sebuah setting cerpen yang aku lebih-lebihkan. Tidak, sama
sekali tidak. Di tulisan ini aku mendeskripsikan keadaan mereka seperti
kenyataannya.
Jika
kau datang bersamaku, akan dapat terlihat halaman rumahnya yang tidak terlalu
luas. Atapnya yang tidak terlalu tinggi dan cat tembok yang sudah mengelupas di
hampir semua bagian. Rumahnya hanya berlantaikan tanah.
Pelan-pelan
aku mengikuti langkah teman yang lain. Sesampai di ruang tamu yang berisi
tumpukan barang bekas, tidak akan kau dapati sofa atau bahkan kursi dan meja
kayu seperti rumah pada umumnya. Bisa jadi, ruang kecil itu tidak bisa disebut
ruang tamu, tapi tempat penyimpanan barang.
Semakin
masuk ke dalam, aku melihat ada wanita yang kecantikannya tertutupi rambut uban
dan kerutan halus di setiap lipatan kulitnya. Giginya juga hanya tinggal
beberapa. Tapi syukurlah, di usianya yang hampir atau mungkin lebih dari seabad
itu, Tuhan masih memberikan penglihatan yang tetap berfungsi.
Kulihat,
ada satu ruangan yang tidak tertutupi pintu atau sehelai kain. Kutemukan
ranjang kayu yang sudah reyot tanpa empuknya kasur. Yang ada hanyalah tumpukan
kain yang telah kumal dan satu buah almari kayu usang.
Meski
hanya ada satu lampu yang sedikit redup, aku tetap bisa mengamati setiap
sudut-sudut rumahnya. Beliau duduk di kursi bambu yang masih kuat untuk
menyangga tubuhnya, meski terlihat sudah pudar warna aslinya. Bahkan, kutemukan
sepiring bekas nasi yang seperti sudah lama dibiarkan teronggok di meja kecil
di pojokan.
Jangan
heran, jika setiap sudut rumahnya ada sarang laba-laba bergelantungan. Yah
seperti itulah, gambaran tentang tempat tinggal beliau yang begitu
memprihatinkan. Aku tidak bisa membayangkan jika sedang hujan angin, keadaan
rumahnya seperti apa. Karena, dinding kiri dan belakang terbuat dari anyaman
bambu yang sudah bolong di beberapa bagian.
Saat
kami datang, hujan sudah reda dan hanya gerimis. Sehingga aku tidak tahu
kondisi rumahnya saat hujan. Tidak kutemui genangan air yang masuk, mungkin
atap rumah beliau masih kuat. Di bagian paling belakang, hanya ada tumpukan
kayu dan batu bata yang kadang digunakan beliau untuk memasak.
Sayangnya,
beliau hanya menguasai Bahasa Madura. Sehingga tidak bisa kudengarkan secara
langsung cerita-ceritanya, tapi melalui temanku yang bisa menerjemahkannya.
Kau
bisa membayangkan jika dirimu hidup di rumah seperti ini?
Rumahnya
gelap karena kurangnya ventilasi. Tebaran debu ada dimana-mana, serta tidak ada
layanan hiburan seperti televisi. Jangankan memikirkan hiburan, untuk makan
saja mereka masih sulit.
Aku
tidak tahu bagaimana perasaan seorang yang sudah lanjut usia hidup kesepian di
rumah ini. Melewati malam dengan kedinginan karena tidak ada selimut tebal.
Atau bahkan, gerah karena tempatnya yang sempit. Jika aku menjadi mereka,
mungkin aku sudah mati kebosanan.
Oh iya,
mereka tidak memiliki kamar mandi. Melalui kran warga di depan rumahlah Mbah
Tosi dan adiknya mengandalkan kebutuhan air bersih.
Saat
ada yang bertanya, “Mbah, nyaman ndak
tinggal di sini?” Beliau menjawab “Nyaman,” tanpa berpikir panjang.
Saat
kutanya kepada tetangga beliau yang mengantar kami ke sini, apa pekerjaan
beliau. Dia menjawab, “Beliau bekerja menjual daun dan rumput.”
Jika
aku sedang meminum air, mungkin aku akan tersedak mendengarnya. “Dagangannya
laku, Mas?” tanyaku.
“Laku.
Tapi hanya orang-orang yang merasa kasihan saja yang akan membeli. Mbah Tosi
bilang daripada meminta-minta, lebih baik aku menjual barang seadanya,”
jelasnya. Aku terdiam begitu lama mencerna kata-katanya.
“Kadang,
jika tidak ada yang mengantar ke pasar, beliau jalan kaki sendiri ke sana. Pagi
berangkat, malam baru pulang dengan membawa uang yang tidak seberapa.”
Perasaanku mengharu-biru mendengarnya, mungkin juga teman yang lain.
“Makannya
beliau darimana?” tanyaku lagi.
“Dari
para tetangga.”
“Beliau
sudah tidak mempunyai saudara?”
“Ini
keponakannya,” jelasnya sambil menunjuk seorang bapak di sampingnya. “Kalau
saudara yang lain sudah meninggal saat tsunami Aceh dulu.”
Tidak
ada kata yang mampu kuucap melihat dan mendengar tentangnya. Aku melihat
tubuhnya yang sudah tidak terawat lagi. Salah satu dari kami ada yang membantu
menyisir dan mengucir rambutnya yang tadinya berantakan.
Ada suara dari
seorang teman yang melontarkan pertanyaan kepada beliau, “Mbah, senang ndak kita datang ke sini?”
“Senang.
Kok ya kalian masih ingat saya,” ucapnya dengan logat Madura yang kental.
Saat
kami memberikan beberapa bungkusan, beliau mengucapkan terima kasih berulang
kali.
Tuhan
memberi kehidupan yang terlalu mudah untukku, sampai aku lupa untuk mensyukuri
setiap nikmat yang diberikannya.
10 komentar
Tuhan memberi kehidupan yang terlalu mudah untukku, sampai aku lupa untuk mensyukuri setiap nikmat yang diberikannya.
BalasHapusSuka dengan tulisanmu, Mbak Anik. Semoga semakin banyak yang membantu dan terbantu, berempati untuk sekitar.
Thanks and gudlak Mbak Anik. Aku terharu baca ini.
Sama-sama, Mbak Fit. Aku juga terharu T.T
HapusAllahuu....
BalasHapusAllahku sungguhan sudah memberi kehidupan yang terlalu mudah untukku.
Dek, terima kasih banyak sudah menulis inii. Terima kasih banyak.
Samasama, Mbak. Semoga bermanfaat :)
HapusHuuuaaa aku jd brebesmili ... semakin banyak bersyukur....
BalasHapusAlhamdulilah :)
HapusHmmmm.... :)
BalasHapushaaaaaaaaaa :)
HapusHiks hiks...but so inspired
BalasHapusHiks T.T
Hapus