Ketika Aku Masih Diingat

by - 05.27

Sejauh yang kuingat, seminggu lalu aku dan teman-teman relawan Rumah Zakat telah mengunjungi rumah Mbah Tosi yang bertempat di Arjasa, Jember. Kami berkunjung untuk melaksanakan program Kejutan Bahagia. Meski waktunya sudah lewat, aku tetap merasa memiliki hutang jika belum menuliskannya.

Awal melihat foto beliau bersama adiknya yang bernama Mbah Misni, aku merasa iba. Dari kondisi fisik mereka sudah terlihat memprihatinkan. Sebelumnya, tidak terpikirkan olehku perjalanan ke rumahnya itu sesulit apa, atau kondisi rumahnya bagaimana.

Saat perjalanan ke rumahnya, ada jawaban yang tidak pernah aku pertanyakan. Ternyata, istana kecil mereka berada jauh dari pusat kota. Untuk ke sana, harus melewati jalan yang terjal, berkelok-kelok, dan menanjak.

Apalagi saat itu Jember sedang diguyur hujan, sehingga jalanan lebih terasa licin. Ada perasaan takut yang menyelinap, karena jalanan yang sempit dan belum diaspal itu berdekatan dengan jurang dan sungai yang arusnya deras.


Keadaan semakin mencekam saat motor salah satu dari kami ada yang menurun di tanjakan. Pertolongan Tuhan tetap menyertai. Tak ada kekurangan suatu apa pun saat perjalanan. Terpaksa, beberapa meter kami harus turun dan berjalan menuju rumah beliau.

Mungkin kau kira aku sedang mendramatisir suatu keadaan. Bisa jadi, kau pikir aku sedang menulis sebuah setting cerpen yang aku lebih-lebihkan. Tidak, sama sekali tidak. Di tulisan ini aku mendeskripsikan keadaan mereka seperti kenyataannya.

Jika kau datang bersamaku, akan dapat terlihat halaman rumahnya yang tidak terlalu luas. Atapnya yang tidak terlalu tinggi dan cat tembok yang sudah mengelupas di hampir semua bagian. Rumahnya hanya berlantaikan tanah.

Pelan-pelan aku mengikuti langkah teman yang lain. Sesampai di ruang tamu yang berisi tumpukan barang bekas, tidak akan kau dapati sofa atau bahkan kursi dan meja kayu seperti rumah pada umumnya. Bisa jadi, ruang kecil itu tidak bisa disebut ruang tamu, tapi tempat penyimpanan barang.

Semakin masuk ke dalam, aku melihat ada wanita yang kecantikannya tertutupi rambut uban dan kerutan halus di setiap lipatan kulitnya. Giginya juga hanya tinggal beberapa. Tapi syukurlah, di usianya yang hampir atau mungkin lebih dari seabad itu, Tuhan masih memberikan penglihatan yang tetap berfungsi.

Kulihat, ada satu ruangan yang tidak tertutupi pintu atau sehelai kain. Kutemukan ranjang kayu yang sudah reyot tanpa empuknya kasur. Yang ada hanyalah tumpukan kain yang telah kumal dan satu buah almari kayu usang.

Meski hanya ada satu lampu yang sedikit redup, aku tetap bisa mengamati setiap sudut-sudut rumahnya. Beliau duduk di kursi bambu yang masih kuat untuk menyangga tubuhnya, meski terlihat sudah pudar warna aslinya. Bahkan, kutemukan sepiring bekas nasi yang seperti sudah lama dibiarkan teronggok di meja kecil di pojokan.

Jangan heran, jika setiap sudut rumahnya ada sarang laba-laba bergelantungan. Yah seperti itulah, gambaran tentang tempat tinggal beliau yang begitu memprihatinkan. Aku tidak bisa membayangkan jika sedang hujan angin, keadaan rumahnya seperti apa. Karena, dinding kiri dan belakang terbuat dari anyaman bambu yang sudah bolong di beberapa bagian.

Saat kami datang, hujan sudah reda dan hanya gerimis. Sehingga aku tidak tahu kondisi rumahnya saat hujan. Tidak kutemui genangan air yang masuk, mungkin atap rumah beliau masih kuat. Di bagian paling belakang, hanya ada tumpukan kayu dan batu bata yang kadang digunakan beliau untuk memasak.

Sayangnya, beliau hanya menguasai Bahasa Madura. Sehingga tidak bisa kudengarkan secara langsung cerita-ceritanya, tapi melalui temanku yang bisa menerjemahkannya.

Kau bisa membayangkan jika dirimu hidup di rumah seperti ini?

Rumahnya gelap karena kurangnya ventilasi. Tebaran debu ada dimana-mana, serta tidak ada layanan hiburan seperti televisi. Jangankan memikirkan hiburan, untuk makan saja mereka masih sulit.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan seorang yang sudah lanjut usia hidup kesepian di rumah ini. Melewati malam dengan kedinginan karena tidak ada selimut tebal. Atau bahkan, gerah karena tempatnya yang sempit. Jika aku menjadi mereka, mungkin aku sudah mati kebosanan.

Oh iya, mereka tidak memiliki kamar mandi. Melalui kran warga di depan rumahlah Mbah Tosi dan adiknya mengandalkan kebutuhan air bersih.

Saat ada yang bertanya, “Mbah, nyaman ndak tinggal di sini?” Beliau menjawab “Nyaman,” tanpa berpikir panjang.

Saat kutanya kepada tetangga beliau yang mengantar kami ke sini, apa pekerjaan beliau. Dia menjawab, “Beliau bekerja menjual daun dan rumput.”

Jika aku sedang meminum air, mungkin aku akan tersedak mendengarnya. “Dagangannya laku, Mas?” tanyaku.

“Laku. Tapi hanya orang-orang yang merasa kasihan saja yang akan membeli. Mbah Tosi bilang daripada meminta-minta, lebih baik aku menjual barang seadanya,” jelasnya. Aku terdiam begitu lama mencerna kata-katanya.

“Kadang, jika tidak ada yang mengantar ke pasar, beliau jalan kaki sendiri ke sana. Pagi berangkat, malam baru pulang dengan membawa uang yang tidak seberapa.” Perasaanku mengharu-biru mendengarnya, mungkin juga teman yang lain.

“Makannya beliau darimana?” tanyaku lagi.

“Dari para tetangga.”

“Beliau sudah tidak mempunyai saudara?”

“Ini keponakannya,” jelasnya sambil menunjuk seorang bapak di sampingnya. “Kalau saudara yang lain sudah meninggal saat tsunami Aceh dulu.”

Tidak ada kata yang mampu kuucap melihat dan mendengar tentangnya. Aku melihat tubuhnya yang sudah tidak terawat lagi. Salah satu dari kami ada yang membantu menyisir dan mengucir rambutnya yang tadinya berantakan.

Ada suara dari seorang teman yang melontarkan pertanyaan kepada beliau, “Mbah, senang ndak kita datang ke sini?”

“Senang. Kok ya kalian masih ingat saya,” ucapnya dengan logat Madura yang kental.
Saat kami memberikan beberapa bungkusan, beliau mengucapkan terima kasih berulang kali.

Tuhan memberi kehidupan yang terlalu mudah untukku, sampai aku lupa untuk mensyukuri setiap nikmat yang diberikannya.






You May Also Like

10 komentar

  1. Tuhan memberi kehidupan yang terlalu mudah untukku, sampai aku lupa untuk mensyukuri setiap nikmat yang diberikannya.


    Suka dengan tulisanmu, Mbak Anik. Semoga semakin banyak yang membantu dan terbantu, berempati untuk sekitar.

    Thanks and gudlak Mbak Anik. Aku terharu baca ini.

    BalasHapus
  2. Allahuu....

    Allahku sungguhan sudah memberi kehidupan yang terlalu mudah untukku.

    Dek, terima kasih banyak sudah menulis inii. Terima kasih banyak.

    BalasHapus
  3. Huuuaaa aku jd brebesmili ... semakin banyak bersyukur....

    BalasHapus