(CERPEN) Tangisan di Rumah Marni

by - 15.55

Tangis anaknya melengking terhitung sangat lama sejak tadi. Dia biarkan. Marni tidak perlu khawatir tetangga kanan kiri rumah akan protes mendengarnya. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan tangisan bayi sejak dua tahun yang lalu. Bahkan bukan hanya itu, suara jeritan Marni atau barang-barang melayang sudah menjadi hal yang biasa bagi para tetangganya. Dulu mulanya mereka kaget tak terkira, lalu lama-lama terbiasa berdampingan dengan bagian hidup Marni. 

Marni amat tahu gendongan atau pelukan darinya tidak akan mampu meredakan tangis anak keduanya. Anak itu hanya ingin susu untuk mengisi lambung yang ukurannya masih tidak seberapa itu. Susu formula habis, tidak ada satu butir pun yang tersisa di kemasannya. Tubuhnya yang kurus kering juga sudah tidak mampu memproduksi air susu. 

Kehilangan anak pertama karena dipaksa untuk dirawat saudaranya ternyata menjadi hal yang amat disyukurinya saat ini. Seandainya dia harus mengasuh dua balita, tambah pecah kepalanya. Saudaranya khawatir akan seperti apa anak yang diasuh perempuan seperti Marni.

Marni merasa buntu. Biasanya air gula atau air rebusan beras bisa menjadi pengganti susu, tapi saat ini gula dan beras pun sudah tandas. Marni sudah tidak punya muka untuk berhutang di warung sebelah rumah. Nominalnya yang mencapai ratusan ribu belum juga terlunasi. 

Tak perlu bertanya kemana suami Marni, itu akan menambah perih lukanya. Memiliki suami atau tidak baginya sama saja. Nafkah suaminya seperti janji kepala desa yang akan memberikan bantuan, tak kunjung datang. Masih bagus kepala desa menyisakan janji, sedangkan suami Marni berjanji akan menafkahi saja tidak berani. Entah suaminya berfoya-foya di meja perjudian atau membeli kenikmatan perempuan, Marni tidak peduli. Suaminya mau pulang ke rumah seminggu sekali saja rasanya masih beruntung. Meski Marni bisa menebak, suaminya pulang bukan karena ingin memberi nafkah atau merindukan keluarga kecilnya, tapi karena uangnya sudah tinggal sedikit. Itu berarti sedang tidak sanggup menebus kenikmatan pada perempuan di warung remang-remang. Lalu pada Marni dia bisa memuaskan hasrat tanpa harus menguras kantong. Meski wajah Marni tak cantik di matanya, kulit tubuhnya sudah kendor kemana-mana, setidaknya dia bisa puas. 

Marni berjalan lunglai ke dapur. Mengisi botol minum anaknya dengan air tawar. Dia tahu anaknya tidak akan bisa dibohongi. Anak sekecil itu tahu mana rasa manis dan air tanpa rasa. Dia jejalkan begitu saja dot itu ke mulut mungil anaknya. Tangisnya mereda. Mulutnya langsung menyedot air itu keras-keras. Ternyata anak kecil sama saja seperti orang dewasa, tak peduli apa rasanya yang penting bisa membasahi tenggorokannya yang kering dan mengisi lambungnya yang meronta-ronta. 

Suara pintu depan diketuk begitu keras. Marni meninggalkan anaknya di kamar lalu bergegas membukakan pintu. Dia tidak berharap itu adalah suaminya daripada menelan kekecewaan. Setelah daun pintu terbuka lebar, dia melihat Bu Darmi yang ada di depan. 

"Mar, ini Mbakmu ngirim uang buat kamu. Lima ratus ribu, coba kamu hitung dulu." Bu Darmi mengulurkan uang lembar biru yang masih bagus seperti baru diambil dari mesin ATM.

"Iya, genap lima ratus ribu. Terima kasih, Bu Darmi."

"Sama-sama. Ini sekalian kubelikan susu untuk anakmu. Biasanya anakmu minum susu merk ini, kan?" Ada sekotak susu formula di dalam kantong plastik hitam yang diberikan Bu Darmi.

"Bu Darmi kok repot-repot." Ini memang bukan pertama kalinya tetangga kanan kiri rumah memberi bantuan untuknya. 

"Bu, ini uangnya untuk ganti susu, ya." Marni mengembalikan uang satu lembar biru.

"Halah, ndak usah. Ndak apa-apa." Bu Darmi mendorong tangan Marni. 

"Saya ndak tahu harus bagaimana berterima kasih kepada Bu Darmi dan tetangga lainnya." Tanpa malu Marni mengusap matanya yang membasah. Sudah menjadi rahasia umum tentang apa yang terjadi dengan rumah tangganya. Uang dari kakak-kakaknya juga tidak sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan.

"Ya sudah, anakmu nangis segera buatkan susu. Aku pulang dulu."  Bu Darmi berjalan terburu-buru keluar dari pelataran rumah peninggalan almarhum Bapak Marni. 

Marni segera ke dapur membuatkan susu untuk anaknya. Dia mengusap-usap mata agar air susu tidak terasa asin karena tetesan air matanya. 

Berulang kali Marni merutuki dirinya sendiri. Dia merasa menjadi anak terakhir yang hanya mendapat sisa-sisa takdir dari ketiga saudaranya. Kedua kakak laki-lakinya sukses menjadi karyawan BUMN, dan kakak perempuannya yang lebih beruntung memiliki paras cantik menjadi pramugari. Sedangkan dia, hanya perempuan yang kata orang otaknya tidak penuh. Sekolah sampai tamat SD saja sudah beruntung. Meski nilainya pas-pasan tetap tidak bisa untuk mempertanggungjawabkan kemampuan akademiknya. Fisiknya juga jauh berbeda dengan kakaknya. Kulit kecoklatan dan wajah yang tidak ada manis-manisnya. Lalu kedua almarhum orangtuanya kala itu tidak menyekolahkan dia lagi karena dianggapnya sia-sia menyekolahkan anak yang tidak bisa maksimal berpikir. Marni dibiarkan di rumah melakukan apapun sesukanya bersama pembantu, lalu ditinggal kedua orangtuanya bekerja sebagai abdi negara di kantor dinas. 

Mungkin memiliki anak seperti Marni adalah aib bagi mereka. Nasibnya tambah memburuk ketika perempuan polos itu percaya rayuan Somad yang menginginkan harta orangtuanya. Laki-laki yang dikenalkan tetangganya. Awalnya saat orangtua Marni masih ada, Somad memperlakukan Marni dengan baik. Dia terlihat seperti laki-laki santun yang bertanggung jawab. Orangtua Marni tidak peduli meski Somad hanya buruh bangunan, asalkan ada yang mau dengan anaknya, mereka menyetujuinya.  

Sampai akhirnya orangtua Marni meninggal pada kecelakaan tunggal di tol. Marni kelimpungan harus hidup dengan siapa sedangkan kakak-kakaknya sudah mempunyai kehidupan sendiri di pulau seberang. Hampir sebagian barang-barang di rumah dijual suaminya untuk menambal kekurangan uang untuk bersenang-senang. Beruntung rumah itu masih utuh dan sertifikat tanah disembunyikan oleh Marni. Hanya rumah itu harta Marni satu-satunya. Murni mengaku kepada saudaranya dia yang menjual semuanya untuk memenuhi biaya lahiran dan anaknya.

Kakak-kakak Marni bergantian mengirim uang karena iba mendengar keadaan ekonomi Marni dari Bu Darmi. Hanya saja, Marni melarang Bu Darmi untuk menceritakan tabiat suaminya. Uang dari mereka disembunyikan Marni agar suaminya tidak tahu. Berulang kali Marni memiliki ponsel hasil dibelikan kakaknya, dirampas dan dijual oleh suaminya. Lalu Marni mengirim kabar apapun kepada saudaranya melalui Bu Darmi. Marni beralasan butuh uang sehingga menjual ponselnya. Beruntungnya, pajak tanah dan rumah ditanggung saudaranya. Dia tidak terlalu banyak menggunakan listrik agar tidak membengkak tagihan bulanan. 

Marni melihat botol yang berisi air tawar telah habis dan tergeletak di samping anaknya yang nangis berguling-guling. Dia mengganti dengan botol yang sudah diisi susu penuh. Anaknya diam lagi. Lalu Marni menggendongnya, diajak ke toko dekat rumah untuk membayar sebagian hutang dan belanja bahan pokok. 

"Mar, kamu ndak pengen cerai sama suamimu?" tanya Bu Budi pemilik toko langganannya berhutang.

Marni diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Dia memaklumi mulut Bu Budi yang kalau bicara seenak jidatnya sendiri. Apalagi tahu Marni orang yang tidak akan melawan, tambah sesuka hatinya dia bicara apa. 

"Kamu itu lho Mar, sering disiksa sama dia. Dipukul sampai kepalamu biru itu. Kasian anakmu harus dengar kamu bertengkar sama suamimu terus."

Marni mendengarkan sambil memilih barang yang dibelinya di rak toko. 

"Nanti Mar, kamu kerja di tokoku sini nggak apa-apa. Bantu-bantu aku atau di cateringnya anakku si Lila. Kamu bisa hidup bebas dan mandiri."

Bekerja memang tidak ada di kamus Marni. Dia selama ini tidak tahu cara bekerja sama atau berkomunikasi dengan orang. Dunianya hanya di rumahnya sendiri. Beli barang, masak, makan, hanya itu yang dia tahu. Dari pengantin baru pun Marni hanya pernah merasakan diajak jalan di pasar malam oleh suaminya dalam hitungan jari saat orangtuanya masih ada. 

"Kalo aku jadi kamu dulu ndak mau nikah sama Somad, Mar. Mobilnya orangtuamu dan barang-barang di rumahmu lho sudah ludes dijual dia. Kakak-kakakmu sudah punya kehidupan sendiri di pulau orang. Ndak usah nambah beban dirimu sendiri."

Marni tetap tidak menjawab ocehan Bu Budi. Tetangganya sudah kenal Marni dari dulu memang seperti itu, tidak bisa diajak ngobrol. Tidak ada yang bisa tahu sebenarnya pikiran Marni itu ada isinya atau tidak. 

Sepulang dari toko Bu Budi, pikiran Marni berkecamuk. Benar juga apa yang dikatakan Bu Budi, pikirnya. Tapi apakah Somad mau menceraikannya. Bertahan dengan Marni, si Somad masih bisa merampas uang dari kakaknya dan pulang ke rumah meski dia tidak ikut sepeser pun andil dalam pembangunannya. Kalau dia cerai dari Marni, dia sudah tidak punya rumah. Pulang ke orangtuanya juga akan diusir karena tahu anaknya malas kerja, tukang judi dan main perempuan.

Malam panjang Marni lalui tanpa lelapnya mata. Dia sudah merasa lelah lima tahu harus hidup dengan siksaan seperti ini. Bagi Marni, hanya Somad dan rumah ini yang dia miliki. Kalau dia berpisah dengan laki-laki gondrong itu, dia sudah tak memiliki siapa-siapa. Saudara dari bapak atau ibunya juga sudah tidak peduli lagi dengannya. Tapi kalau dipikir-pikir, hidup Marni akan lebih baik tanpa siksaan dari Somad. Dia tidak akan lagi bingung menyembunyikan uangnya agar tidak dicuri Somad. 

Seminggu berlalu, hari ini Marni bertekad untuk bisa cerai dari suaminya. Kalau perlu Marni meminjam uang ke tetangga atau meminta uang ke saudaranya untuk bisa mengurus perceraian. Berhari-hari Marni sudah memikirkannya dengan matang. Dia sudah yakin dengan pilihannya. Dia ke toko Bu Budi untuk berbelanja sekaligus bertanya, apa yang harus dipersiapkan untuk mengurus perceraian. Dia berjalan dengan riang menemui Bu Budi, seperti layaknya akan menemui kehidupan baru. Sebentar lagi dia bisa bernapas lega tanpa Somad. Dia akan belajar menjadi perempuan seperti pada umumnya yang bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan anaknya. Rumahnya akan lebih tenang tanpa jeritan kesakitan saat dipukul atau dilempar barang oleh suaminya. 

"Eh, Mar. Mau beli apa?" 

Marni masih diam. Ada beberapa orang di toko Bu Budi, Marni sungkan untuk bertanya. Dia pura-pura memilih barang sambil menunggu orang-orang pulang. 

"Bu Darmi, kemarin ada barang baru pembalut sirih. Siapa tahu Bu Darmi suka. Lihat saja di rak pojok, Bu." Suara Bu Budi membuat Marni terdiam sesaat.

Mengajak pikirannya mengingat, rasanya dia sudah lama tidak beli pembalut. Dia juga merasa beberapa bulan ini tidak menstruasi. Tubuhnya berkeringat. Diingat-ingatnya, selama hamil dua anak ini dia memang tidak merasa apa-apa ketika hamil muda. Dia akan merasa mual memasuki bulan keempat atau kelima. Apa benar aku hamil, batinnya.

Dia keluar dari toko Bu Budi dengan anak di gendongannya. Berjalan cepat ke apotek dekat ujung gang untuk membeli alat tes kehamilan.

"Mar, ndak jadi belanja, Mar?" Suara Bu Budi diabaikannya.

Tubuhnya hampir lemas, gemetar. Pikirannya berkecamuk. Tidak, tidak boleh, batinnya. Bayangan bahagia ketika berjalan ke toko Bu Budi sudah melebur. Jantungnya berdegup tak beraturan, napasnya tersengal-sengal. Dia berjalan setengah berlari. Anak dalam gendongannya melihat ibunya dengan tatapan polos.

Marni datang dengan malu-malu menyebut sesuatu yang akan dibelinya. Tubuh berkeringat, bingung menelusup memporak-porandakan pikiran dan hatinya.

Besok paginya dengan tangan gemetar dia memasukkan alat tes itu ke urinnya. Beberapa saat kemudian, dia mengambil alat tersebut.

"Mati aku!"

Tubuh Marni lemas. Air mata membelah tebing pipinya. Melanjutkan atau mematikan kehidupan sama-sama membutuhkan uang. Dia membentur-benturkan kepalanya di dinding kamar mandi. Andai dia lebih pintar sedikit untuk mengenal apa itu program KB. Beban hidupnya bertambah lagi, akan ada tangisan di rumahnya, dua anaknya dan tangisan Marni.

Selesai.

You May Also Like

0 komentar