facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog


Waktu sudah menunjukkan 00:48 WIB tapi aku juga belum bisa memejamkan mata. Salahku sih, pas masuk jam tidur buka twitter. Baca thread orang pikiranku jadi kemana-mana, nggak bisa tidur mikir banyak hal.

Tadi ada thread tentang menulis, sebenarnya menulis itu bisa memperkuat ingatan kita pada hal-hal yang telah kita pelajari atau baca. Aku jadi ingat sebuah hal. Beberapa kali ditanya sama orang, pengen melanjutkan S2 nggak? Aku jawab senyum dan bilang belum tahu. Padahal sebenarnya aku pengen sekali, tapi alasanku bukan untuk menambah gelar dan ijazah, atau ingin menambah kompetensi. Kalau nurutin nambah kompetensi mah banyak banget yang pengen aku pelajari. Lalu alasannya apa? Alasanku absurd sih, karena aku baru menyadari esensi belajar detik-detik mau lulus kuliah. Lucu ya? Atau nggak lucu? Bagiku sih sangat konyol. Helloooo, terus kamu kuliah 3,5 tahun ngapain aja?

Jadi gini, aku memulai kuliah dengan sebuah alasan yang salah. Atau lebih tepatnya aku nggak tahu apa alasanku untuk kuliah pada waktu itu. Gita Savitri pernah cerita di vlognya, di Jerman orang tua baru nempuh S1 itu hal biasa. Karena di sana orang kuliah karena tahu apa alasannya. Ketika lulus Senior High School mereka belum tahu alasan untuk apa kuliah ya mereka belum ambil kuliah. Karena orang di sana sadar tugas belajar bukan untuk orang yang sekolah atau kuliah aja. Siapa pun itu punya kewajiban belajar.

Nah, masalahnya adalah aku kuliah hanya karena anak-anak seusiaku pada waktu itu kalau nggak kerja ya kuliah. Aku ya ngikut aja. Pengen banget kuliah sih waktu itu, tapi aku nggak punya alasan kuat kenapa harus kuliah. Em, atau lebih tepatnya aku kuliah agar bisa dapat pekerjaan yang lebih enak gitu.

Alhasil, aku merasa pas kuliah nggak terlalu belajar banyak hal. Cuma dikit yang nyantol. Karena belajar pas mau ujian, nilai bagus, yaudah. Nggak ada effort apa-apa untuk menambah kompetensi. Tapi nih, kalau dipikir-pikir, semisal saat ini aku mau kuliah lagi apakah aku akan dapat lingkungan belajar yang mendukung? Mungkin iya, tergantung sebagus apa universitas tempat aku kuliah. Eh ndak, mungkin tergantung semujur apa aku bertemu dosen yang bisa bener-bener punya jiwa pengajar.

Hubungannya nulis dengan dosen apa? Jadi akhir-akhir ini aku merasa kesulitan memahami sebuah bacaan karena tidak ada teman diskusi. Eh ada ding, tapi nggak seenak diskusi di kelas yang lebih luas. Aku juga baru sadar bikin makalah atau paper itu berguna sekali untuk menguatkan ingatkan kita tentang apa yang kita baca. Itu makanya aku sering jadiin apa yang aku baca atau dengar melalui tulisan, biar inget. Baca, paham, nulis, menyampaikan, diskusi. Pola itu yang sering dilakukan pas kuliah. Kok ya aku baru sadar, kalau ternyata hal-hal itu sangat penting juga untuk kemampuan berpikirku.

Dulu aku diajar dosen yang menurutku kurang objektif dalam menilai mahasiswanya. Dilihat ni anak deket nggak sama beliau, kalau iya kasih nilai lumayan. Ni cewek cantik nggak, kalau iya kasih A dong. Percaya atau tidak, hal ini benar-benar terjadi. Aku jadi merasa nggak punya tantangan belajar di sana. Kadang, presentasi rasanya juga seperti debat kusir karena dosen sendiri tidak menengahi karena memang tidak memperhatikan. Nah, di semester 1 ada matkul pancasila sistemnya sharing universitas. Aku kuliah dengan anak dari fakultas mana pun dan parahnya dari semester berapapun. Rezekiku milih kelas yang ternyata isinya anak Hubungan Internasional semester 3 pas itu. Apalagi dosennya sangaaaat objektif. Nilaimu adalah tanggung jawabmu sendiri. Matih! Karena aku paling nggak nyantol sama pelajaran sejarah, undang-undang, semacam itu. sehari sebelum matkul itu pasti aku sempetin baca buku dan buka web untuk lihat isu terkini. Karena dosennya sering bahas isu-isu terkini dan ditanyakan ke mahasiswa secara random. Mahasiswa baru digituin, panas dingin rasanya. Dinginnya AC ruangan kelas ndak ada apa-apanya dibandingkan dinginnya tubuhku. Wkwkwkw

Tapi dari situ aku jadi merasa tertantang, bener-bener belajar. Ya emang dasar belajar nggak ikhlas ya gini ini nih. Harus dipaksa. Lalu suatu ketika aku pernah nggak masuk dua atau tiga kali pertemuan karena opname. Aku ketinggalan banyak diskusi, nggak ada kesempatan menjawab pertanyaan otomatis nilaiku pasti kurang. Setelah ujian akhir semester, aku menghubungi dosen melalui e-learning. Aku bilang minta tugas tambahan karena sepertinya nilaiku sangat kurang karena pernah beberapa kali tidak masuk. Beliau malah bales, “Kamu sudah lihat hasil UAS? Coba lihat, ya. Saya rasa nilai kamu sudah lebih dari cukup.” Kubuka nilaiku B. Lumayan. Dapat nilai B di matkulnya beliau itu sudah sangat untung sekali. Beliau ini sangat transparan dengan nilai, tidak seperti dosen lain. Diunggahlah komposisi nilai semua mahasiswa. Aku kaget, nilai UASku menyentuh angka 9. Aku sampai mengirim pesan ke beliau karena aku merasa nilai UAS ku sangat jelek, nggak bisa ngangkat ketertinggalanku. Jawabku juga memakai bahasa sederhana sekali. Nggak terlalu panjang. Dan, yang bikin aku semakin nggak percaya nilaiku paling tinggi dibandingkan mas mas dan mbak mbak yang sering dapat nilai bagus pas diskusi. Kalau ngomong wuuss lancar banget, kelihatan pinter banget. Aku nggak nyangka. Aku senang bukan karena nilaiku, tapi aku merasa dihargai dengan jawaban bahasa sederhanaku.

Tapi ternyata, dosen seperti beliau rasanya sangat langka. Aku pernah kecewa ketika aku dipanggil DPA-ku. Beliau memintaku untuk mengulang mata kuliahnya, karena nilaiku C. Alasan beliau memberiku nilai C karena analisisku terlalu sedikit, tidak panjang lebar seperti teman yang lain. Aku jadi mikir, kenapa dosen sepintar beliau lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas. Andaikan beliau bilang analisisku salah atau kurang berisi aku pasti menerima. Tapi ini alasannya hanya karena sedikit lembarannya. Alasan macam apa ini pak. Kuiyakan tanpa babibu. Yaudahlah nggak apa-apa, biar aku merasakan kuliah sama adik tingkat. Heuheu menghibur diri sendiri.

Lalu di semester 7 pas sibuk-sibuknya PPL aku mengambil matkul Kewarnegaraan. Katanya sih nggak wajib, SKS ku juga udah lebih dari cukup. Tapi anak jurusan lain ngambil matkul itu. Aku khawatir kalau nanti di akhir bermasalah. Akhirnya, aku mengajak seorang teman untuk ngambil. Aku bilang, sekalipun nanti nilainya dibuang dari ijazah pun aku nggak apa-apa. Toh yang penting aku punya ilmunya. Temanku mengiyakan.

Oke, di pertemuan pertama ternyata aku kuliah dengan para maba, aku pun juga maba pas itu. Mahasiswa basi wkwkw

Daaaan, dosennya semacam dosen Pancasilaku dulu. Tegas dan objektif. Aku udah nggak sekaget dulu. Malah suka sekali bertemu dengan dosen yang niat ngajar begini. Wkwk

Aku dan temanku yang tua sendiri jadinya sering dijadikan sorotan. Pas itu kita dapat kesempatan presentasi paling awal karena NIM paling atas. Nggak tahu kenapa kalau diajar dosen semacam ini aku nggak takut untuk mengeluarkan pendapatku. Karena kalau salah, sama beliau pasti dibenerin. Dan beliau juga menghargai usaha mahasiswanya bagaimana pun itu hasilnya. Beliau juga bilang untuk membuat paper yang tidak terlalu banyak. Aku cuma bikin 8 lembar. Beliau malah bilang, paper kelompokku isinya tepat, nggak bertele-tele, dan bisa dipahami. Legalah kami.

Diajar beliau bener-bener diperhatikan presentasi perorangannya. Kita benar paham apa yang kita sampaikan atau engga, kita baca naskah atau engga. Suka banget dosen macam ini tuh. Ada beberapa anak yang nggak paham materi yang disampaikan, akhirnya aku dan temanku ini diminta untuk presentasi lagi. Aku inget sih pas itu topiknya tentang cinta tanah air tapi kusangkutin sama bayar pajak. Aku pernah baca orang luar negeri itu merasa bangga jika bayar pajaknya lebih besar karena itu tandanya kekayaannya banyak. Kalau orang Indonesia, makin banyak kekayaannya, makin ogah bayar pajak.

Beliau bilang, “Kalau saya diajar ekonomi sama kalian, saya bakal suka dan betah.”

Ini bukan tentang pujiannya, tapi tentang seorang pengajar yang menghargai setiap usaha anak didiknya. Sampai aku merasa berat untuk ninggalin kelas beliau setelah ujian UAS. Aku ngerasa waktu kuliah yang 2 SKS itu kurang. Karena ilmu beliau tumpah ruah ke kita. Duduk di kelas beliau ada manfaatnya.

Udah panjang aja tulisanku, padahal masih ada yang mau kutulis. Besok lagi, tidur dulu. Udah 01:47. Siap-siap besok diomelin emak karena habis Shubuh tidurnya lebih panjang. Wkwk

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

“Ini sudah yang ketiga kalinya, ya?” Aku tahu kemana arah pembicaraan ibuk. Mulutku berat untuk menanggapi meski sekadar mengiyakan. Aku juga tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Dua bulan ini sudah ada tiga tawaran yang aku tolak dengan hanya sehari dua hari pertimbangan.
“Nggak pengen tahu orangnya dulu atau istikhoroh?” Aku menjawab pertanyaan beliau dengan menggeleng.

Aku ingat almarhum Mbak Nufit (teman relawan yang pernah kuceritakan di tulisan Ramadhan Mencuri ingatanku). Beberapa hari sebelum pernikahannya, aku menemui dia. Kubilang, “Mbak, ada pesan nggak untuk kita-kita yang masih dalam penantian ini?”

Dia bilang, “Nanti jika ada laki-laki yang agamanya baik datang, pertimbangkan dulu, jangan langsung ditolak.” Dia melanjutkan, “Menikah itu bukan untuk memiliki seseorang yang kita inginkan.”

Aku masih ingat pesannya dengan baik, tapi dalam diriku sendiri tidak ada keyakinan sama sekali pada ketiga orang itu meski hanya untuk mengenalnya. Sekalipun sudah mapan dengan hartanya, aku bisa duduk manis menikmati di rumah, nggak bikin aku buka pintu begitu saja. Karena bukan itu tujuanku.

“Sebenarnya yang kamu pengen itu seperti apa?” tanya ibu suatu ketika. Mungkin beliau heran dengan anaknya ini yang mungkin terkesan pemilih di mata beliau. Ini itu nggak mau. Ada laki-laki yang kata orang agamanya insyaallah baik, tapi juga kuabaikan. Sampai aku pernah takut kalau Allah murka aku menolak laki-laki ini hanya karena alasan manusia “Nggak sreg”.

Terus yang bikin sreg yang gimana, aku diam. Rumit untuk dijelaskan.

Bapak dan ibuk memang bukan orang yang memburu-buruku untuk menikah. Ini sebagai ikhtiar beliau untuk anak perempuanya, bukan karena beliau ingin aku segera menikah. Setiap aku menolak orang yang datang, beliau legowo. Tidak pernah memaksa atau lainnya. Aku bilang enggak, beliau sudah diam ndak akan memberikan pembenaran lainnya. Tapi beliau nggak tahu sebenarnya yang aku inginkan seperti apa. Aku pernah bilang mau yang agama dan akhlaknya baik saja sudah cukup. Tapi pas ada yang udah datang itu, juga ndak kuiyakan. La trus mau yang gimana wkwkwk

Maaf ya pak, buk. :(

Tulisanku dari tadi muter-muter mulu ya, karena di otakku juga sedang banyak yang berputar. Aku tuh merasa gimana gitu melihat bapak ngobrol sama orang yang bersangkutan dengan beratnya harus menolak. Aku kayak ngerasa nggak tega. Aku nggak tahu, apakah bapak malu atau sungkan harus menolak orangnya. Sedangkan aku sembunyi di balik punggung bapakku. Aku memasuki usia dimana menolak laki-laki nggak semudah nolak ditembak orang yang bisa enteng kubilangi dia cuma kuanggep temen. hahaa

Didekati lawan jenis di usia remaja memang menyenangkan. Tapi sekarang malah ngerasa, buat apa sih gitu-gituan. Didekati orang malah ngerasa was-was sendiri. 

Tapi ya gimana, aku emang nggak sreg. Nggak ada yang bisa dipaksa. Kan katanya kalau sudah ketemu jodoh tuh bakal ada kecondongan hati dan keyakinan sendiri. Ibuk sebagai perempuan juga sudah merasakan bagaimana dulu menolak banyak laki-laki, lalu pilihannya jatuh pada bapak yang sederhana dan tidak menjanjikan masa depan yang baik-baik saja. Kok ibuk dulu mau, ibuk seringnya cuma jawab, ya nggak tahu. Tiba-tiba yakin gitu aja, katanya. Rencana Allah memang seringnya melebihi logika manusia.

Aku pernah cerita ke seorang teman panggil aja dia Brown, kalau aku punya keyakinan bakal ada seseorang yang ke rumah. Entah siapa aku juga nggak tahu. Orang yang mengenali Anik dari hatinya sendiri, bukan dari apa kata orang. Orang yang bisa melihat something dalam diri Anik, yang orang-orang nggak pernah tahu. Kan setiap orang pasti punya something specialnya sendiri ya. Cuma dengan hati kita bisa melihat hal itu di diri orang lain.

Lalu aku bilang lagi ke dia, apa salah kalau sebagai perempuan aku hanya menunggu di rumah?
Si Brown ini jawab, nggak salah juga kok. Memperbaiki diri juga upaya untuk mendapatkan jodoh. Kamu kelihatan yakin banget dengan hal itu ya?

Kujawab, iya, aku juga nggak tahu itu keyakinan darimana.

Lalu aku bilang ke si Brown ini, kurasa sebenarnya dapat jodoh nggak perlu dicari-cari juga, ya. Aku pernah dengar berjalan saja apa yang semesta minta, nanti akan dipertemukan sendirinya dengan takdirmu. Harusnya aku fokus saja melakukan banyak hal sekarang, kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri.

Lalu si Brown jawab, nah itu kamu sudah tahu jawabannya. Wkwkwk

Yaudah malam ini cuma mau cerita itu aja untuk 1 Minggu 1 Cerita, beberapa hari nggak nulis kaku banget :(



Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Tangis anaknya melengking terhitung sangat lama sejak tadi. Dia biarkan. Marni tidak perlu khawatir tetangga kanan kiri rumah akan protes mendengarnya. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan tangisan bayi sejak dua tahun yang lalu. Bahkan bukan hanya itu, suara jeritan Marni atau barang-barang melayang sudah menjadi hal yang biasa bagi para tetangganya. Dulu mulanya mereka kaget tak terkira, lalu lama-lama terbiasa berdampingan dengan bagian hidup Marni. 

Marni amat tahu gendongan atau pelukan darinya tidak akan mampu meredakan tangis anak keduanya. Anak itu hanya ingin susu untuk mengisi lambung yang ukurannya masih tidak seberapa itu. Susu formula habis, tidak ada satu butir pun yang tersisa di kemasannya. Tubuhnya yang kurus kering juga sudah tidak mampu memproduksi air susu. 

Kehilangan anak pertama karena dipaksa untuk dirawat saudaranya ternyata menjadi hal yang amat disyukurinya saat ini. Seandainya dia harus mengasuh dua balita, tambah pecah kepalanya. Saudaranya khawatir akan seperti apa anak yang diasuh perempuan seperti Marni.

Marni merasa buntu. Biasanya air gula atau air rebusan beras bisa menjadi pengganti susu, tapi saat ini gula dan beras pun sudah tandas. Marni sudah tidak punya muka untuk berhutang di warung sebelah rumah. Nominalnya yang mencapai ratusan ribu belum juga terlunasi. 

Tak perlu bertanya kemana suami Marni, itu akan menambah perih lukanya. Memiliki suami atau tidak baginya sama saja. Nafkah suaminya seperti janji kepala desa yang akan memberikan bantuan, tak kunjung datang. Masih bagus kepala desa menyisakan janji, sedangkan suami Marni berjanji akan menafkahi saja tidak berani. Entah suaminya berfoya-foya di meja perjudian atau membeli kenikmatan perempuan, Marni tidak peduli. Suaminya mau pulang ke rumah seminggu sekali saja rasanya masih beruntung. Meski Marni bisa menebak, suaminya pulang bukan karena ingin memberi nafkah atau merindukan keluarga kecilnya, tapi karena uangnya sudah tinggal sedikit. Itu berarti sedang tidak sanggup menebus kenikmatan pada perempuan di warung remang-remang. Lalu pada Marni dia bisa memuaskan hasrat tanpa harus menguras kantong. Meski wajah Marni tak cantik di matanya, kulit tubuhnya sudah kendor kemana-mana, setidaknya dia bisa puas. 

Marni berjalan lunglai ke dapur. Mengisi botol minum anaknya dengan air tawar. Dia tahu anaknya tidak akan bisa dibohongi. Anak sekecil itu tahu mana rasa manis dan air tanpa rasa. Dia jejalkan begitu saja dot itu ke mulut mungil anaknya. Tangisnya mereda. Mulutnya langsung menyedot air itu keras-keras. Ternyata anak kecil sama saja seperti orang dewasa, tak peduli apa rasanya yang penting bisa membasahi tenggorokannya yang kering dan mengisi lambungnya yang meronta-ronta. 

Suara pintu depan diketuk begitu keras. Marni meninggalkan anaknya di kamar lalu bergegas membukakan pintu. Dia tidak berharap itu adalah suaminya daripada menelan kekecewaan. Setelah daun pintu terbuka lebar, dia melihat Bu Darmi yang ada di depan. 

"Mar, ini Mbakmu ngirim uang buat kamu. Lima ratus ribu, coba kamu hitung dulu." Bu Darmi mengulurkan uang lembar biru yang masih bagus seperti baru diambil dari mesin ATM.

"Iya, genap lima ratus ribu. Terima kasih, Bu Darmi."

"Sama-sama. Ini sekalian kubelikan susu untuk anakmu. Biasanya anakmu minum susu merk ini, kan?" Ada sekotak susu formula di dalam kantong plastik hitam yang diberikan Bu Darmi.

"Bu Darmi kok repot-repot." Ini memang bukan pertama kalinya tetangga kanan kiri rumah memberi bantuan untuknya. 

"Bu, ini uangnya untuk ganti susu, ya." Marni mengembalikan uang satu lembar biru.

"Halah, ndak usah. Ndak apa-apa." Bu Darmi mendorong tangan Marni. 

"Saya ndak tahu harus bagaimana berterima kasih kepada Bu Darmi dan tetangga lainnya." Tanpa malu Marni mengusap matanya yang membasah. Sudah menjadi rahasia umum tentang apa yang terjadi dengan rumah tangganya. Uang dari kakak-kakaknya juga tidak sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan.

"Ya sudah, anakmu nangis segera buatkan susu. Aku pulang dulu."  Bu Darmi berjalan terburu-buru keluar dari pelataran rumah peninggalan almarhum Bapak Marni. 

Marni segera ke dapur membuatkan susu untuk anaknya. Dia mengusap-usap mata agar air susu tidak terasa asin karena tetesan air matanya. 

Berulang kali Marni merutuki dirinya sendiri. Dia merasa menjadi anak terakhir yang hanya mendapat sisa-sisa takdir dari ketiga saudaranya. Kedua kakak laki-lakinya sukses menjadi karyawan BUMN, dan kakak perempuannya yang lebih beruntung memiliki paras cantik menjadi pramugari. Sedangkan dia, hanya perempuan yang kata orang otaknya tidak penuh. Sekolah sampai tamat SD saja sudah beruntung. Meski nilainya pas-pasan tetap tidak bisa untuk mempertanggungjawabkan kemampuan akademiknya. Fisiknya juga jauh berbeda dengan kakaknya. Kulit kecoklatan dan wajah yang tidak ada manis-manisnya. Lalu kedua almarhum orangtuanya kala itu tidak menyekolahkan dia lagi karena dianggapnya sia-sia menyekolahkan anak yang tidak bisa maksimal berpikir. Marni dibiarkan di rumah melakukan apapun sesukanya bersama pembantu, lalu ditinggal kedua orangtuanya bekerja sebagai abdi negara di kantor dinas. 

Mungkin memiliki anak seperti Marni adalah aib bagi mereka. Nasibnya tambah memburuk ketika perempuan polos itu percaya rayuan Somad yang menginginkan harta orangtuanya. Laki-laki yang dikenalkan tetangganya. Awalnya saat orangtua Marni masih ada, Somad memperlakukan Marni dengan baik. Dia terlihat seperti laki-laki santun yang bertanggung jawab. Orangtua Marni tidak peduli meski Somad hanya buruh bangunan, asalkan ada yang mau dengan anaknya, mereka menyetujuinya.  

Sampai akhirnya orangtua Marni meninggal pada kecelakaan tunggal di tol. Marni kelimpungan harus hidup dengan siapa sedangkan kakak-kakaknya sudah mempunyai kehidupan sendiri di pulau seberang. Hampir sebagian barang-barang di rumah dijual suaminya untuk menambal kekurangan uang untuk bersenang-senang. Beruntung rumah itu masih utuh dan sertifikat tanah disembunyikan oleh Marni. Hanya rumah itu harta Marni satu-satunya. Murni mengaku kepada saudaranya dia yang menjual semuanya untuk memenuhi biaya lahiran dan anaknya.

Kakak-kakak Marni bergantian mengirim uang karena iba mendengar keadaan ekonomi Marni dari Bu Darmi. Hanya saja, Marni melarang Bu Darmi untuk menceritakan tabiat suaminya. Uang dari mereka disembunyikan Marni agar suaminya tidak tahu. Berulang kali Marni memiliki ponsel hasil dibelikan kakaknya, dirampas dan dijual oleh suaminya. Lalu Marni mengirim kabar apapun kepada saudaranya melalui Bu Darmi. Marni beralasan butuh uang sehingga menjual ponselnya. Beruntungnya, pajak tanah dan rumah ditanggung saudaranya. Dia tidak terlalu banyak menggunakan listrik agar tidak membengkak tagihan bulanan. 

Marni melihat botol yang berisi air tawar telah habis dan tergeletak di samping anaknya yang nangis berguling-guling. Dia mengganti dengan botol yang sudah diisi susu penuh. Anaknya diam lagi. Lalu Marni menggendongnya, diajak ke toko dekat rumah untuk membayar sebagian hutang dan belanja bahan pokok. 

"Mar, kamu ndak pengen cerai sama suamimu?" tanya Bu Budi pemilik toko langganannya berhutang.

Marni diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Dia memaklumi mulut Bu Budi yang kalau bicara seenak jidatnya sendiri. Apalagi tahu Marni orang yang tidak akan melawan, tambah sesuka hatinya dia bicara apa. 

"Kamu itu lho Mar, sering disiksa sama dia. Dipukul sampai kepalamu biru itu. Kasian anakmu harus dengar kamu bertengkar sama suamimu terus."

Marni mendengarkan sambil memilih barang yang dibelinya di rak toko. 

"Nanti Mar, kamu kerja di tokoku sini nggak apa-apa. Bantu-bantu aku atau di cateringnya anakku si Lila. Kamu bisa hidup bebas dan mandiri."

Bekerja memang tidak ada di kamus Marni. Dia selama ini tidak tahu cara bekerja sama atau berkomunikasi dengan orang. Dunianya hanya di rumahnya sendiri. Beli barang, masak, makan, hanya itu yang dia tahu. Dari pengantin baru pun Marni hanya pernah merasakan diajak jalan di pasar malam oleh suaminya dalam hitungan jari saat orangtuanya masih ada. 

"Kalo aku jadi kamu dulu ndak mau nikah sama Somad, Mar. Mobilnya orangtuamu dan barang-barang di rumahmu lho sudah ludes dijual dia. Kakak-kakakmu sudah punya kehidupan sendiri di pulau orang. Ndak usah nambah beban dirimu sendiri."

Marni tetap tidak menjawab ocehan Bu Budi. Tetangganya sudah kenal Marni dari dulu memang seperti itu, tidak bisa diajak ngobrol. Tidak ada yang bisa tahu sebenarnya pikiran Marni itu ada isinya atau tidak. 

Sepulang dari toko Bu Budi, pikiran Marni berkecamuk. Benar juga apa yang dikatakan Bu Budi, pikirnya. Tapi apakah Somad mau menceraikannya. Bertahan dengan Marni, si Somad masih bisa merampas uang dari kakaknya dan pulang ke rumah meski dia tidak ikut sepeser pun andil dalam pembangunannya. Kalau dia cerai dari Marni, dia sudah tidak punya rumah. Pulang ke orangtuanya juga akan diusir karena tahu anaknya malas kerja, tukang judi dan main perempuan.

Malam panjang Marni lalui tanpa lelapnya mata. Dia sudah merasa lelah lima tahu harus hidup dengan siksaan seperti ini. Bagi Marni, hanya Somad dan rumah ini yang dia miliki. Kalau dia berpisah dengan laki-laki gondrong itu, dia sudah tak memiliki siapa-siapa. Saudara dari bapak atau ibunya juga sudah tidak peduli lagi dengannya. Tapi kalau dipikir-pikir, hidup Marni akan lebih baik tanpa siksaan dari Somad. Dia tidak akan lagi bingung menyembunyikan uangnya agar tidak dicuri Somad. 

Seminggu berlalu, hari ini Marni bertekad untuk bisa cerai dari suaminya. Kalau perlu Marni meminjam uang ke tetangga atau meminta uang ke saudaranya untuk bisa mengurus perceraian. Berhari-hari Marni sudah memikirkannya dengan matang. Dia sudah yakin dengan pilihannya. Dia ke toko Bu Budi untuk berbelanja sekaligus bertanya, apa yang harus dipersiapkan untuk mengurus perceraian. Dia berjalan dengan riang menemui Bu Budi, seperti layaknya akan menemui kehidupan baru. Sebentar lagi dia bisa bernapas lega tanpa Somad. Dia akan belajar menjadi perempuan seperti pada umumnya yang bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan anaknya. Rumahnya akan lebih tenang tanpa jeritan kesakitan saat dipukul atau dilempar barang oleh suaminya. 

"Eh, Mar. Mau beli apa?" 

Marni masih diam. Ada beberapa orang di toko Bu Budi, Marni sungkan untuk bertanya. Dia pura-pura memilih barang sambil menunggu orang-orang pulang. 

"Bu Darmi, kemarin ada barang baru pembalut sirih. Siapa tahu Bu Darmi suka. Lihat saja di rak pojok, Bu." Suara Bu Budi membuat Marni terdiam sesaat.

Mengajak pikirannya mengingat, rasanya dia sudah lama tidak beli pembalut. Dia juga merasa beberapa bulan ini tidak menstruasi. Tubuhnya berkeringat. Diingat-ingatnya, selama hamil dua anak ini dia memang tidak merasa apa-apa ketika hamil muda. Dia akan merasa mual memasuki bulan keempat atau kelima. Apa benar aku hamil, batinnya.

Dia keluar dari toko Bu Budi dengan anak di gendongannya. Berjalan cepat ke apotek dekat ujung gang untuk membeli alat tes kehamilan.

"Mar, ndak jadi belanja, Mar?" Suara Bu Budi diabaikannya.

Tubuhnya hampir lemas, gemetar. Pikirannya berkecamuk. Tidak, tidak boleh, batinnya. Bayangan bahagia ketika berjalan ke toko Bu Budi sudah melebur. Jantungnya berdegup tak beraturan, napasnya tersengal-sengal. Dia berjalan setengah berlari. Anak dalam gendongannya melihat ibunya dengan tatapan polos.

Marni datang dengan malu-malu menyebut sesuatu yang akan dibelinya. Tubuh berkeringat, bingung menelusup memporak-porandakan pikiran dan hatinya.

Besok paginya dengan tangan gemetar dia memasukkan alat tes itu ke urinnya. Beberapa saat kemudian, dia mengambil alat tersebut.

"Mati aku!"

Tubuh Marni lemas. Air mata membelah tebing pipinya. Melanjutkan atau mematikan kehidupan sama-sama membutuhkan uang. Dia membentur-benturkan kepalanya di dinding kamar mandi. Andai dia lebih pintar sedikit untuk mengenal apa itu program KB. Beban hidupnya bertambah lagi, akan ada tangisan di rumahnya, dua anaknya dan tangisan Marni.

Selesai.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku pernah meminta seorang teman untuk menebak di antara dua tulisan yang aku kirim, mana yang tulisanku sendiri. Aku melakukan ini karena ingin tahu apakah aku punya ciri khas dalam menulis. Kupilih teman yang sudah lama kenal dan sering mengikuti perkembangan tulisanku. Jawabannya benar, lalu kumintai alasan kenapa memilih pilihan tersebut.

Dia bilang, “Karena ada satu kata yang akhir-akhir ini sering kamu gunakan.”

Kutanya, “Kata apa itu?”

Dia bilang, “Kata insecure.”

Padahal aku yang nulis, tapi aku yang kaget. Aku bilang, masa sih. Lalu kubuka lagi tulisanku beberapa hari dan bulan sebelumnya. Iya ternyata, meski nggak banyak amat sih. Aku jadi berpikir sesuatu, secara teori apa yang kita tulis dan gambar adalah menggambarkan apa yang kita rasakan. Mungkin memang benar, akhir-akhir ini aku diserbu rasa bersalah, menyesal, dan lebih parahnya kepercayaan diriku sedang krisis. Mulai di usia 20-an memang ada quarter life crisis pada diri setiap orang. Pencarian jati diri kedua dimulai di usia ini.

Setelah mempelajari parenting dan melihat perilaku orangtuaku, aku menemukan banyak hal yang membuat aku sadar bahwa aku ini adalah cetakan atau hasil dari perilaku orangtuaku di masa kecilku. Sebenarnya aku sudah tahu hal ini sejak lama, bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ketika mengetahui hal itu benar-benar terjadi pada diriku sendiri jadi semacam ada perasaan kaget, ya ampun ya pantes kalau aku gini, ternyata cara orangtuaku bersikap ke anaknya seperti ini itu. Begitulah kira-kira yang ada di pikiranku setiap aku menemukan satu-persatu kenyataanya.

Aku tahu siapa pun itu yang menjadi ibu, pasti dia akan lebih mengkhawatirkan anaknya. Namun, aku melihat ibuku ini mempunyai rasa khawatir berlebihan. Dari kecil ibu melarang aku melakukan banyak hal sampai aku tidak mencoba berbagai macam permainan atau hal baru. Fatalnya agar aku menuruti ucapan beliau, aku ditakut-takuti. Itulah yang berdampak pada psikisku sampai saat ini. Menjadi takut mencoba hal baru dan menantang karena takut dengan risiko. Selalu mempertahankan zona nyamanku sendiri.

Aku baru tahu kalau ibuku adalah orang yang perfeksionis. Melakukan sesuatu hal harus sebaik mungkin dan ketika pekerjaan itu dialihkan kepada orang, beliau merasa keberatan karena hasilnya akan berbeda dari yang beliau harapkan. Seperti misalnya ketika aku belajar memasak. Ibu tidak melihat seberapa aku ingin dan usahaku untuk memasak, tapi lebih pada masakanku yang keasinan atau gosong. Aku merasa tidak mendapat apresiasi dari kecil, karena apa yang kulakukan selalu salah dan aku merasa tak bisa apa-apa.

Dulu ketika ibu memperlakukan ini dan itu, aku diam dan menurut. Sekarang ketika aku sudah tahu, aku jadi bisa ngomong ke beliau. Awalnya dulu pas tahu hal ini aku suka uring-uringan meski dengan cara diam. Menyimpan dongkol dalam hati. Kenapa ibu begini begitu, kenapa tidak seperti ini seperti itu. Lama-lama setelah banyak belajar lagi, aku merasa harus mengkomunikasikan apa yang aku rasakan dan tidak melakukan hal yang sekiranya memancing emosiku. Seperti contohnya memasak, dulu aku selalu berambisi juga ikut memasak dengan beliau, aku ingin diberi kepercayaan untuk menuangkan bumbu sendiri. Meski tidak bilang, aku bisa membaca raut muka beliau yang khawatir jika aku yang memasak. Beliau takut nggak enak atau lainnya. Sekarang aku menurunkan egoku, hanya membantu hal-hal yang kecil dan urusan menuangkan bumbu atau tahap penting kuserahkan pada beliau. Kuamati diam-diam cara memasak, bumbunya apa saja, dan kematangannya seperti apa. Nanti kalau aku ingin masak, aku akan masak sendiri, kucoba dan kumakan sendiri.

Hal-hal yang sekiranya beliau tidak percaya ke aku, kutanyakan detail seperti apa, setiap melakukan apapun aku tanya dulu apakah boleh. Cara ini cukup manjur agar aku tidak melakukan banyak kesalahan di mata beliau. Lalu pas kita lagi istirahat dalam keadaan santai aku baru bilang apa yang aku pengenin. Aku bilang apa adanya, aku merasa tersinggung kalau nggak dipercaya dari dulu, adakalanya aku pengen nyoba masak dan ngerasain masakanku dimakan orang rumah. Barang ngasih sejumput garam aja aku pengen nyoba, ibu cukup melihat dan menyicipi apakah rasanya sudah pas. Kalau belum, bilang ke aku apa yang kurang. Yaa, meski dengan cara ini belum mengubah banyak hal dari beliau. Aku sangat memahami, perasaan khawatir dan perfeksionis memang butuh proses panjang untuk dikondisikan.

Benar kata Mark Manson di bukunya Seni Untuk Bersikap Bodo Amat bahwa apapun kesalahan orang lain yang dilakukan kepada kita adalah tanggung jawab kita untuk menyelesaikannya. Kita tidak bisa mengontrol apa yang akan dilakukan oleh orang lain, tapi kita bisa mengkondisikan bagaimana respon kita. Kurasa aku terlalu membuang waktu jika hanya menyalahkan keadaan, aku yang harus memahami dan menyikapinya sebaik mungkin.

Aku pernah bertanya kepada pakar parenting di sebuah kulwap. Apakah karakter hasil didikan orangtua bisa diubah? Beliau bilang, bukan diubah sepenuhnya tapi lebih dikontrol dan kita belajar cara menyikapinya. Misal nih, aku menjadi orang yang penakut. Gimana caraku untuk mengasah agar aku bisa terbiasa berani menghadapi sesuatu, jika takut itu datang bagaimana caraku menyikapinya. Kita nggak bisa menyalahkan orangtua yang menurunkan sifat bawaan atau bentukan karakter, karena orangtua kita juga hasil cetakan nenek moyang.

Hm, iya juga ya kalau dipikir-pikir. Jadi sekarang harusnya aku yang berperan untuk memutus rantai parenting yang kurang tepat di generasiku. Buang-buang waktu kalau hanya menyalah-nyalahkan. Apa iya, aku mau menyalahkan ibu yang begadang nemenin aku sakit-sakitan dan meyajikan masakan terbaiknya, bapak yang bermandikan keringat membiayai aku kuliah sampai akhirnya aku bisa mengenal ilmu parenting ini.

Nggak ada rumah tangga atau parenting orangtua yang sempurna, pasti ada kurangnya. Aku selama ini fokus pada kurangnya orangtuaku, padahal selama ini sudah banyak hal yang mereka lakukan. Setiap orangtua memang mempunyai cara mendidiknya masing-masing. Dengar cerita teman-temanku yang bermacam-macam tentang orangtuanya, aku jadi sadar sesuatu hal. Aku tumbuh besar di tengah keluarga yang bukan broken home saja harusnya aku sangat bersyukur.


Share
Tweet
Pin
Share
13 komentar
Pukul 10 pagi menjelang siang tadi ada pesan mendarat dengan selamat ke whatsappku. Nomor baru yang langsung mengutarakan maksudnya tanpa berbasa basi dengan salam atau bertanya kabar. 

"Saya mau kirim paket nanti siang, tolong beri arahannya."

Kulihat foto profilnya bergambar salah satu perusahaan ekspedisi. Aku membalasnya segera, mengirimi arahan rumahku dengan lengkap dan jelas. Kupandangi layar ponselku, membaca lagi pesannya berulang-ulang. Ada teman yang tiga hari lalu mengkonfirmasi alamat lengkapku. Mungkin dia yang mengirimi barang. Aku tidak bertanya kepadanya, takut ternyata bukan dia. Kukirim pesan ke orang rumah, meminta tolong untuk mengabari jika ada paketan atas namaku. Karena hari ini aku berada di luar. Dia sudah meminta alamatku dari bulan kemarin entah untuk apa, aku tidak bertanya. Belum saatnya aku tahu. Kalau aku kepoin, dia bakalan sebel juga sepertinya. Ini teman dari jaman kuliah dulu, masih sering komunikasi sampai sekarang. 

Dua jam kemudian, ada pesan mengabari paketan benar atas namaku sudah datang. Kuminta untuk dibuka. Padahal aku selama ini kalau dapat paketan tidak suka dibuka orang, kali ini karena penasaran dan belum tahu pasti siapa pengirimnya kuminta dibukakan. 

Pengirimnya salah satu online shop, barang di dalamnya gelang. Aku ingat saat temanku mengkonfirmasi alamatku, dia bertanya ukuran pergelanganku. Sepertinya benar dia. Kukirim kepadanya foto yang dikirim orang rumah. 



"Ini dari kamu, ya?"

"Iya, alhamdulillah sudah datang," balasnya. 

"Kamu belajar dukun dari mana?" tanyaku.

"Lah, emang kenapa?" 

Aku lalu cerita ke dia kalau bulan lalu waktu Ramadhan aku ingin memakai gelang. Sempat sehari memakai gelang yang hampir mirip dengan yang dia kirim, kuambil di laci rumah. Gelangnya lama sekali tidak pernah dipakai. Kupakai, sayangnya tidak nyaman karena terlalu banyak manik-manik dan ukurannya terlalu panjang. Kulepas, nggak kupakai lagi. 

Sebenarnya aku suka beli gelang, jam tangan, atau aksesoris lainnya. Beli sehari dua hari lupa mau pakai, lama kelamaan banyak yang hanya teronggok lalu rusak atau hilang begitu saja. Di sisi lain sering ada kegiatan relawan yang sering di 'lapangan'. Panas-panasan, hujan-hujanan, kegiatan outdoor. Males pake aksesoris karena malah bikin ribet pas kegiatan. Anak-anak relawan juga hampir jarang pakai aksesoris, paling pol jam tangan. Jangankan aksesoris, make up aja hampir nggak pernah. Selalu necurel gitulah penampilan kita. Wkwkw. Polosan tanpa bedak dan lipstik. Yakali kan di tempat bencana wajahnya menor, diketawain sama orang-orang. Wkwk 

Okee kembali lagi ke cerita awal. Keinginan pakai gelang bertahan sampai hari ini. Aku pakai gelang lain yang aku punya. Aku juga nggak tahu kenapa akhir-akhir ini rajin dan sering memakai aksesoris. Yang dia kirim ini simple, nyaman dipakai. Jadi bakal aku pakai terus deh. 

Dia bilang, "Gatauuuu aku tu dari bulan puasa kan pengen ngirimi kamu sesuatu, tp aku bingung mau ngasih apa. Mau baju takut ukurannya nggak pas, jilbab aku kurang ngerti karna takut nggak sesuai bentuk wajah wkwk, trus tiba-tiba liat di olshop aksesoris itu. Aku beli duluan liat bagus atau ndak, ternyata bagus, jadi langsung cusss kirim ke kamu." 

Kalau dipikir-pikir, mustahil banget sih orang yang ngirimi aku aksesoris. Karena aku kelihatan jarang memakainya. Kebanyakan waktu aku ulang tahun, sempro, sidang, dan wisuda, dikasih jilbab, buku, foto. Seputar benda-benda yang bisa ditebak aku akan suka. Instingnya dia sangat pas sih kali ini.

Aku juga heran, kenapa akhir-akhir ini. Eh nggak sih, dari dulu sebenarnya sering batin sesuatu terus keturutan. Cuman akhir-akhir ini lebih sering dan beruntun. Kemarin aku batin hal yang sangat sederhana, aku pengen digorengin rengginang sama ibuk. Pas pulang, ibuk lagi goreng rengginang. Ya Allah, seromantis ini Engkaauuu. :')

Aku batin seorang teman yang status whatsappnya nggak pernah muncul di aku, aku lagi kangen sama dia sampai stalking blognya. Mungkin dia sudah nggak simpan nomorku, mau ngontak tapi sungkan karena sudah lama nggak pernah komunikasi. Besoknya, statusnya langsung muncul. Kaget dong aku langsung kuchat saat itu juga. Pernah juga pas pulang ke rumah ketemu di jalan sama tetangga yang rumahnya agak jauh dari rumahku. Batin aja, dia udah gede ternyata. Besoknya dia langsung whatsapp aku minta tolong seuatu. Kageet, padahal kita awalnya nggak punya whatsapp satu sama lain dan hampir bertahun-tahun nggak komunikasi. 

Dulu juga pernah harus berangkat pagi banget waktu  ppl di sekolah, jadi anak kos nggak sempet sarapan. Di sekolah ngajar banyak kelas, istirahat harus mengerjakan tugas lain. Nggak sempet makan. Sore sepulang dari sekolah langsung ada kegiatan lain. Aku batin, ya Allah aku pengen makan. Setelah Maghrib, selesai sholat dan kegiatan selesai, ada orang sebelah Musholla yang meminta kita mampir ke rumahnya. Kita diberi bakso. Padahal sebelumnya, berbulan-bulan sering ada kegiatan di sana nggak pernah ditawarin. Wkwkwk

Sepulang dari sana aku bilang ke temanku, "Kamu tahu nggak, sebelum berangkat tadi aku batin aja pengen makan. Tiba-tiba kita dikasih bakso."

Temenku ketawa terus bilang, "Jadi kita tadi makan bakso karena doa kamu, ya."

"Mungkin, sih." Wkwkw

Dan masih banyak cerita lainnya yang lebih menakjubkan terjadi. Panjang banget kalau diceritain satu-satu. Emm, ada satu hal besar aku pernah batin sesuatu yang benar-benar kejadian, rasanya mustahil banget hal itu bisa terjadi. Tapi aku masih ragu itu pertanda apa, benar nggak ya, benar nggak sih. Nanti kalau sudah tiba saatnya, jika aku sudah menemukan jawabannya, banyak hal emezing yang akan aku ceritakan di sini. Tapi nantiiiii, nggak tahu kapan. Aku sedang belajar sabar untuk menunggu. 

Allah memang Maha Romantis. :')
Tapi aku pernah dengar, kalau banyak doaku terkabul di dunia, nanti di akhirat aku dapat apa. :( gitu nggak sih? 

Jangan sampai Allah banyak ngasih nikmat ke kita, tapi kita *eh aku yang malah menjauh dari-Nya. Sebenarnya nikmat terbesar dalam hidup ini adalah ketika kita masih diberi iman dan Islam, dunia hanya titipan. :)


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ada temanku yang tertarik untuk download tumblr karena melihat screenshoot postinganku di status. Katanya tampilannya yang cantik. Kurayu-rayu agar download, besoknya berhasil. Dia benar-benar download lalu mengirimiku screenshoot profilnya. Awal aku spoiler dia tentang tumblr, aku bilang di sana kita bisa curhat apa saja karena beda dengan media sosial yang rawan dikomentari orang. Orang-orang tumblr mah bodo amat kamu mau nulis apapun, nggak akan ada yang mengomentari. Dan orang-orang di sana menurutku juga kondusif, tidak menulis sesuatu yang menimbulkan konflik. Pokok di sana tuh beda deh, makanya aku suka di sana.

Kutanya dia, "Kamu mau aku follow nggak? Khawatirnya di sana kamu mau nulis privasi dan nggak mau dilihat orang yang kamu kenal. Makanya aku tanya dulu."

"Follow aja gapapa, kalo kita baca tulisan privasi satu sama lain di sana, anggap aja kayak nggak kenal, nggak baca."

Aku mengiyakan. Selama ini aku dan beberapa teman yang kenal juga seperti itu. Nggak hanya di tumblr, tapi juga di instagram. Satu sama lain tidak bertanya lebih jauh tentang apa yang ditulis. Tidak mengklarifikasi yang sebenarnya juga nggak penting untuk dilakukan. Orang-orang seringnya bertanya hanya karena ingin tahu, bukan karena peduli. Aku ingin tulisanku dianggap orang-orang hanyalah sebuah konten, bukan tentang seorang Anik itu seperti apa. 

Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa aku takut ngeshare tulisanku pada orang-orang yang aku kenal, karena takut orang-orang menilai terlalu jauh seorang Anik. Mereka tidak menangkap pesan yang aku sampaikan, tapi lebih ke diriku sendiri yang aku ceritakan. Karena tumblr yang begitu nyaman buatku, aku memilih di sana untuk menulis hal-hal yang lebih privasi. Meski nggak banyak sih, dan privasi yang aku maksud bukan aku membocorkan rahasia atau aib gitu, tapi hal-hal yang bersifat lebih receh dan aku yang apa adanya, serapuh-rapuhnya wkwk. Tapi tetap kupersilakan orang-orang kalau mau baca, hanya saja cukup dibaca, bukan untuk dipertanyakan. Kalau sudah baca, yaudah diam-diam saja. Wkwkw

Sering banget teman-temanku mengunggah status galau, dilema, atau sedihnya. Kubiarkan. Tidak kupertanyakan. Tidak kukomentari. Adakalanya mereka menulis itu agar lebih lega atau mereka bingung meluapkan dengan cara apa. Aku percaya mereka sudah dewasa, ketika menginginkan aku mendengar ceritanya mereka akan datang sendiri untuk bercerita. Ketika tidak cerita, itu berarti mereka belum siap atau tidak ingin cerita kepadaku. Sedekat apapun kita berteman, tapi kita tetap punya privasi satu sama lain. Aku juga tidak mau mereka malu kalau dikomentari, makanya aku menghindari itu. 

Ada orang yang beranggapan sesuatu yang dijadikan status atau ditulis di blog adalah konsumsi publik. Kalau tidak ingin dikomentari, maka tidak perlu membuat status. Tapi sudut pandang orang beda-beda. Bagiku sah sah saja, itu media sosial mereka, rumah kita masing-masing. Eh, tapi kalo nulis status buka aib orang, marah-marah berkata kotor, sambat, galau melulu tiap hari, itu aku nggak setuju sih. Kita pun sebagai netizen harusnya memposisikan, tidak semua yang dipersilakan kita lihat di media sosial harus kita komentari. Kalau pun ingin mengomentari,  seharusnya membahas hal-hal yang tidak privasi.  

Ada pernah suatu kejadian lima tahunan yang lalu, aku kenal dengan seseorang. Awal kita kenal dia langsung membuat tulisan singkat yang tokoh utamanya aku tanpa dia bilang-bilang. Tulisan sangat singkat, mungkin dua paragraf. Aku tidak sedang kepedean, tapi benar-benar kronologis yang dia ceritakan sama persis dengan apa yang terjadi di antara kita dan menyebut beberapa hal yang menguatkan itu adalah aku yang dimaksud. Menceritakan awal dia tidak sengaja menemukan tulisanku di beranda, membacanya, melihat profilku lalu berlanjut ke hal lain yang terjadi. Di tulisan itu dia tidak menyamarkan namaku, tapi mengganti dengan "dia". 

Saat itu kaget, jelas iya. Tapi selama kenal, dia tidak pernah menunjukkan gelagat apa-apa. Seperti teman biasa, bicara seperlunya. Aku pura-pura seolah tidak pernah membaca tulisannya di facebook dan instagramnya tentang aku. Tidak pernah kulukis jempol di setiap postingannya. Aku diam, tidak pernah mempertanyakan, sampai sekarang. Sampai detik ini bertahun-tahun kita masih komunikasi meski tidak sering, hanya seperlunya ketika ada sesuatu yang penting untuk dibahas atau ditanyakan. 

Aku sangat menghargai privasinya. Dan juga bukan tugasku untuk bertanya-tanya hanya untuk memuaskan keingintahuanku. Aku juga tidak tahu dan tidak ingin tahu apakah hal yang dia tulis masih sama seperti saat itu. 

Ini bukan hanya aku, tapi mungkin juga banyak orang di luar sana. Adakalanya kita menulis bukan fokus pada apa masalahnya, tapi lebih pada meluapkan apa yang kita rasa dan pikirkan. Setelah itu sudah, tidak perlu ditanya-tanya lagi. Kalau mau meninggalkan jejak di komentar atau mengelike tulisan di media sosial sangat diperbolehkan, tapi sekali lagi, tidak perlu dipertanyakan. Wkwkw

Terima kasih untuk orang-orang yang sudah berkenan baca tulisanku, tapi menahan diri untuk tidak bertanya ini itu. Terima kasih untuk kalian yang dengan bijak memberiku saran di kolom komentar untuk menguatkan, meyakinkan bahwa hidup tidak semenakutkan yang aku kira . :)


Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Katanya bulan Juni itu bulannya Sapardi Djoko Damono. Waktunya menunggu hujan. Sebenarnya bagiku hujan, senja, dan kopi adalah hal mainstream untuk diceritakan. Kata orang-orang hujan mengandung 1% air dan 99% kenangan. Hm, emang iya ya? Pas hujan aku nggak pernah inget apa-apa tentang hal yang telah lewat. Nggak ada kenangan yang tiba-tiba mampir di kepala. Sebenarnya orang-orang benar punya kenangan dengan hujan, atau sengaja menyambung-nyambungkan dua hal yang padahal nggak ada korelasinya? 

Bagiku hujan cukup dinikmati tanpa kita harus sibuk mengais-ngais masa lalu. Dimana kita berada saat itu sedang hujan, ya itulah hujan. Setiap waktu punya cerita dan momennya masing-masing. Tapi dari dulu hujan selalu bisa merebut pikiranku. Cuma kulihati, kudengerin instrumen gemericiknya, kurasakan sepoi angin dan dinginnya, lalu pikiranku kosong gitu aja, males untuk ngomong. Tapi bikin tenang. Dan yang aku tunggu-tunggu, ketika hujan kita bisa memanjatkan doa apa saja. Waktu terkabulnya doa salah satunya adalah ketika turun hujan, ketika rahmat Allah juga diturunkan. Kalau pas malem hujan deras, rasanya kayak dininaboboin, tambah nyenyak. Jadi inget pas meletusnya Kelud 2014 lalu. Suara hujan pasir malam-malam kupikir suara hujan, tambah nyenyak. Meski curiga kenapa petirnya menggelegar berulang kali. Ada suara teriakan dari luar, ohhh baru sadar tadi bukan hujan, tapi Kelud meletus. Wkwkwk

Hari ini, tanggal 2 Juni 2020

Aku hujan-hujan setelah sekian lama tidak bisa mencuri waktu untuk melakukannya. Meski setelah dewasa ini definisi hujan-hujan telah bergeser. Dulu pas kecil, hujan-hujan ketika aku bisa lari ke sana ke mari di bawah guyurannya. Main lumpur, duduk di bawah air terjun buatan dari seng, nyuci sepeda memakai air hujan, pura-pura renang di genangan air padahal kedalamannya nggak seberapa. Lalu entah di kelas berapa aku lupa, mungkin semenjak berseragam putih biru aku malu lagi melakukannya. Malu sama umur. Andai saja aku punya lahan luas di belakang rumah, sampai sekarang pasti bakal hujan-hujan.

Semenjak saat itu, definisi hujan-hujan adalah ketika aku sering mencuri waktu agar sengaja kehujanan. Sepulang sekolah sengaja nggak neduh, lanjut aja sepedahan sambil hujan-hujanan. Pokok buku sudah diamankan plastik di dalam tas. Dan berlanjut sampai kuliah. Sering ada kegiatan harus menempuh perjalanan jauh nggak bawa mantel, lalu lanjut aja hujan-hujan sama temen. Inget banget, dua hari terakhir di Jember menempuh perjalanan jauh dari hujan, panas, hujan lagi, sampai panas lagi. Tapi seru aja di jalan. Untungnya, aku nggak gampang sakit setelah hujan-hujan. Jadi ajakan temen ketika tanya, "lanjut nggak nih?" Aku selalu mantap jawab lanjuut. 

Aku juga suka jalan kaki sepulang kuliah pas sore setelah hujan. Udaranya segar. Atau kuliah pagi kemarin malam hujan, tanah basah, di kampus ada yang motong rumput, aromanyaaaaaaa sedap nian. Naik kereta atau bus waktu hujan trus duduk di pinggir jendela juga nikmat sih ini. Nyentuh kaca yang dingin, lihatin jalanan, dan sibuk dengan pikiran sendiri. 

Setelah lama di rumah nggak bisa ngelanjutin kebiasaan ini lagi. Karena pasti dapat pertanyaan di rumah, "Kenapa hujan-hujan padahal bawa mantel?" Seorang ibu pasti khawatir sekali kalau anaknya sering hujan-hujanan. Padahal anaknya seneng-seneng aja. Wkwk

Kemarin-kemarin beberapa kali sore pas buka puasa  masih di jalan dalam keadaan gerimis. Aku seneng aja, kulanjutin. Lalu pernah suatu sore hujan deres sekali, tapi aku harus banget keluar ada urusan. Akhirnya diizinin keluar pake mantel. Ternyata ada sisi kehidupan yang lama nggak aku lihat. Kalau dulu  semasa kuliah, pas hujan-hujanan sering bagi-bagi nasi sama temen-temen relawan. Ada banyak orang yang ketika hujan tidak bisa bercengkrama dengan keluarganya, tidur di emperan toko, harus menerjang hujan untuk mencari sesuap nasi. Kalau pas bulan puasa kemarin aku ngelihat ibu yang memeluk dan menutupi kepala anaknya dengan bajunya di bawah pohon di perempatan lampu merah, pakaian mereka lusuh. Ada bapak yang menggigil di halte entah sedang menunggu apa. Beberapa orang meringkuk di becaknya. Padahal seringnya pas hujan aku selimutan, bikin mie rebus, baca buku, teh anget, dan hal lain yang rasa nyamannya lupa kusyukuri.

Pernah suatu ketika mau janjian sama teman mau ngopi, dia yang pesan kopi aku pesan matcha. Wkwk  Aku ngajak dia karena ada hal yang mau aku curhatin. Pas mau perjalanan mendung, aku buru-buru berangkat sebelum turun hujan. Udaranya mau hujan kan kek semilir gitu ya anginnya, eh gerimis tiba-tiba. Di atas motor, galau, anginnya sepoi-sepoi, gerimis pula, kurang backsoudnnya sih ini. Hm, gerimisnya tambah deres nggak kerasa dingin, karena yang kerasa hangatnya di pelupuk mataku. :(

Baru semingguan lalu duduk di ruang tamu lihat anak kecil lari pas hujan-hujanan. Batin aja, pengen hujan-hujanan lagi. Lalu hari ini keturutan. Sedang dalam perjalanan lumayan jauh, tengah jalan hujan males neduh. Akhirnya basah, tapi nggak apa-apa. Aku suka. Aku bisa ngerasain hujan pertama di bulan  Juni benar-benar di bawah langit, bukan di langit-langit rumah. Aku nggak tahu istimewanya hujan bulan Juni apa. Tapi aku bisa benar hujan-hujanan setelah sekian lama, bertepatan pas hujan pertama di bulan Juni. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose