facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

Terlepas dari banyak kerugian yang kita rasakan karena ada pandemi Covid-19, ada hal baik juga yang aku rasakan. Blog ini jadi terisi karena aku sering nulis di sini. Kegiatan keluar rumah dibatasi. Bosen, pengen ngobrol, main, ke kajian, nggak keturutan jadinya uring-uringan sendiri. Ada banyak hal yang memenuhi kepala, ada berbagai cerita yang mengendap, ada rindu yang belum tertuntaskan. Wkwkw

Ada teman yang bilang, "Anik sekarang jadi rajin nulis." 

Aku malu, pengen sembunyi di pojokan. Wkwk Ini sebenarnya bukan rajin, tapi karena diharuskan di rumah aku jadi mencari kesibukan. Kebetulan banyak sekali hal terlewat tapi belum sempat ditulis. Makanya beberapa tulisan di sini aku cerita tentang hal-hal yang terjadi sudah lama lalu. Aku tu kangeeeeeen banget ngobrol, dengerin dan cerita ke orang. Karena belum kesampaian, akhirnya di blog ini aku cerita. Meluapkan segala yang penuh di kepala. Lalu aku share tulisanku di whatsapp, tidak makin lega, entah kenapa setiap aku buat postingan apapun di status wa selalu takut. Beberapa menit kemudian aku hapus. Entah aura di wa itu beda, mungkin karena di sana kebanyakan orang yang kenal aku. Akhirnya mulai kemarin aku memilih nggak share apapun di wa, beralih di twitter. Tulisanku di instagram dan tumblr juga kubiarkan di sana. Padahal aku pengen tulisanku dibaca orang yg aku kenal agar bermanfaatnya sampai ke mereka, ah apaan sih orang tulisan curhatan. Wkwk

Semenjak corona masuk ke Indonesia, kuakui aku takut, pasti semua orang lah ya. Tapi akhir-akhir ini ketakutanku semakin menjadi-jadi. Kalau dilihat-lihat  kebijakan pemerintah Indonesia mengarah ke herd immunity. Mau tidak mau, suka tidak suka kita akan berdampingan dengan pandemi ini. Seolah aktivitas biasa, padahal ada kekhawatiran yang bercokol. Setiap ke luar rumah melihat segalanya seperti monster. Dari kita semua kemungkinan akan kena. Ketakutanku ini beralasan, karena paru-paruku sudah dalam tidak keadaan baik. Nggak kena corona aja udah ngos-ngosan naik tangga, apalagi kalau kena corona sesusah apa bernapasku, gitu pikirku. Menurut penjelasan yang aku dapat dari sumber lain dan Direktur Rumah Sakit dr. Iskak Tulungagung (klik aja linknya, untuk nonton youtube-nya). Orang-orang yang mempunyai riwayat sakit paru-paru, diabetes, dan penyakit parah lain, potensi kematiannya 79%. Aku tahu itu hanyalah hitung-hitungan manusia. Usia dan riwayat penyakit bukanlah syarat kematian. Sekalipun misalnya aku tinggal di negara yang fasilitas kesehatannya bagus, jika takdir hidupku sudah selesai, maka tetap "berpulanglah" aku. Sekalipun pandemi ini tidak ada, juga tak menjamin aku akan hidup selamanya. Mengisolasi diri di kamar berbulan-bulan, juga tak menjamin aku tetap bisa hidup kapan pun semauku. Harusnya kita menyiapkan sebaik-baiknya, bukan hanya takut kebingungan sendiri.

Aku jadi ingat sewaktu mau berangkat jadi relawan di Palu, ibuk melarang beralasan khawatir dengan keselamatanku. Apalagi melihat betapa ricuhnya suasana di sana. Aku bilang ke beliau, "Buk, kalau pun aku nggak jadi berangkat, kalau aku ditakdirkan celaka karena sesuatu yang lain, maka aku akan tetap celaka. Orang-orang sana yang lebih butuhin aku. Berangkat dengan niat baik, pasti akan dijaga Allah." Atas rayuan bapak, ibuk merelakan aku berangkat. Kecemasan beliau tidak sampai di situ saja, sehari sampai sana ada kabar pesawat Lion jatuh. Beliau kepikiran, aku menenangkan bahwa aku di sana baik-baik saja. Ada-ada saja sih, naik Garuda sekalipun kalau ditakdirkan jatuh ya tetap jatuh. Hmmm.

Dua hari lalu pas rebahan di depan TV sama ibuk, kita dengerin ceramah ustadz di stasiun TV lokal. Beliau bilang, "Orang-orang selama ini memindset kematian adalah hal yang menakutkan, padahal kematian itu ibarat orang yang menerima gaji setelah bekerja harusnya menjadi hal yang kita tunggu. Kita akan bertemu Allah. Makanya, sebelum dijemput pulang ke sana kita harus menyiapkan bekal keimanan untuk menemani kita."

Setelah itu aku ngobrol sama ibuk, "Iyaya, Buk. Harusnya kita senang kalau waktunya 'pulang ke kampung halaman'."

Ibuk jawab, "Ya karena seringnya kita tergiur dengan godaan dunia, belum persiapan apa-apa untuk tinggal di sana."

Dari pandemi ini aku juga jadi makin sadar, apa arti hidup ini. Ada yang begitu rakusnya menimbun barang padahal ada banyak orang menangis bingung mau makan apa, menggunakan perlengkapan medis untuk diri sendiri padahal pihak medis lebih butuh. Aku jengah cuma duduk di rumah melihat keegoisan orang-orang, aku nggak bisa cuma jadi penonton atas hal besar yang terjadi ini. Aku nggak mau terus-terusan jadi objek, aku mau jadi subjek. Dan kulakukan hal kecil sebisaku. Setidaknya ketika aku "berpulang", aku tidak sedang diam saja, ada hal yang kulakukan meski tidak ada apa-apa dibandingkan banyak orang yang lebih berperan. 

Sampai akhirnya aku berpikir, kalau seandainya benar karena corona ini aku "berpulang", hal apa yang bisa kutinggalkan untuk orang-orang di sekelilingku. Aku tidak punya banyak harta untuk meringankan beban mereka, tidak punya banyak ilmu untuk kutularkan. Aku hanya punya kemampuan mendengar dan menulis yang tidak seberapa ini. Di rumah, biasanya hanya 30% waktuku mendengarkan ibuk berbicara apapun karena aku sering kegiatan di luar rumah, sekarang kuberi waktuku lebih banyak untuk keluarga. Aku jadi merasa sedih, kalau keberadaanku selama ini di samping mereka hanya sekadar ada, tidak berarti. Aku Ingin smileeee menebar kebahagiaan untuk orang-orang serapuh apapun keadaanku. Mungkin aku bisa jadi penghibur lara orang-orang dengan tawa recehku. Aku ingin mendengar lebih banyak orang, ingin mereka merasa ditemani dan berarti. Menyembuhkan sedikit kesepian mereka yang butuh kuisi. Meski aku sendiri butuh didengarkan, kadang ada perasaan "ini aku juga manusia nih. Butuh didengerin juga aku nih." Tapi kupikir, gapapa aku masih bisa kuat sendirian, aku masih bisa minta ditemenin dan didengerin Allah di sela waktu sholatku. Di luar sana ada banyak orang yang kehilangan semangat hidup, merasa payah sendirian. Aku mau mereka tahu, masih ada aku yang ada buat mereka. Aku berterima kasih kepada Allah, menuntun beberapa orang untuk datang di hidupku membawa segudang ceritanya lalu bisa kudengarkan sebisaku. Meski aku belum melakukan yang terbaik untuk mereka, aku berusaha menjadi yang baik. Hmmmmmm, meski aku masih sering banyak khilafnya. :((

Untuk orang-orang yang datang untuk didengar, butuh teman kesepian atau teman ngobrol, dan membawa niat apapun datang di hidupku kecuali niat jahat sih, aku tetap membuka tangan. Aku tidak pernah tahu di hidup siapa aku menjadi berarti, hati mana yang bisa kubahagiakan. Aku hanya ingin melakukan sekecil apapun yang aku bisa. 

Dan yang aku punya adalah rumah ini, blog ini. Tempat yang dulu kubuat cuma untuk nulis cerita karena selama ini aku jarang nemu orang yang bener-bener bisa mendengar. Tempat untuk menyimpan banyak hal untuk nanti dibaca anak-anak dan suami. Tapi fungsi dari tempat ini jadi berubah. Cerita yang kutulis iseng, tapi beberapa orang merasa perasaannya terwakili dan merasa disadarkan pada hal kecil yang aku tulis di sini. Oh, kalau begitu kujadikan saja rumah ini rumah masa depan yang kubangun mulai sekarang. Rumah yang bisa dikunjungi siapa pun nanti, ketika aku sudah tidak bisa "ditemui" lagi. Semoga hal kecil yang aku tulis di sini bisa menjadi penyembuh orang-orang di saat rapuh, menjadi teman ketika tidak ada yang mengajak berkawan, dan menebar bahagia serta kebaikan yang menyala-nyala. 

Aku jadi inget sama teman yang pernah aku ceritakan di tulisan ini Ramadhan Mencuri Ingatanku Kalau kangen dia, aku main ke instagram dan blognya. Bukan hanya untuk melihat fotonya, tapi juga membaca tulisannya. Bernostalgia lagi dengannya seolah-olah dia masih ada di bumi ini. Aku nggak bosan baca tulisannya berulang-ulang. Rumah ini sedang kubangun dengan ornamen banyak cerita yang bisa dibaca siapapun nantinya. 

Nanti, kalau ada yang rindu, kemarilah, rinduku juga berserakan, entah pada kalimat mana kubiarkan berjatuhan. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Nggak tahu kenapa mulai kemarin setelah Maghrib aku seperti orang hamil tua yang bingung memilih posisi tidur. Nggak enak mau ngapa-ngapain. Mau baca tapi pikiran nggak bisa fokus, nulis tapi hati lagi merasa nggak enak entah karena apa. Makan juga nggak terlalu berselera. Duduk, berdiri, tiduran, juga nggak nemu posisi yang pas. Padahal kemarin-kemarin sudah semangat mau nulis tulisan series di blog, alamak kalau begini terus kapan selesainya, kan. Akhirnya malam ini nyoba ngetik pakai laptop dan menjauhkan diri dari hp, siapa tahu aku hanya sedang bosan kebanyakan mainan media sosial. Aku sedang jenuh dengan rutinitas yang itu-itu saja. Padahal sudah lama nggak nulis di laptop karena mager bukanya dan nggak bisa ngetik sambil rebahan. 

Okee, itu tadi sebenarnya belum termasuk postingan. Masih kalimat intermeso aja. Wkwkwk. Postingan yang sebenarnya ada di bawah ini.
-------------------------------------------------




“Kali ini satu doa ibumu terkabul lagi.” Satu direct message di instagram kubaca. 

“Doa yang apa?”

“Kamu dapat buku.”

“Ibuku kayaknya nggak pernah doain aku dapat buku.”

“Kan doa nggak harus spesifik, ibumu pasti berdoa agar kamu selalu bahagia, salah satunya dengan dapat buku.”

“Oh, ya juga ya wkwkwk,” balasku.

Aku tidak paham ini sebenarnya perkenalan macam apa. Aku sendiri heran kenapa hidupku banyak rencana Tuhan yang dikemas semacam kebetulan. Kemarin pagi baru aku mengaktifkan ponsel, DM seseorang tadi masuk menawari untuk mengirim buku yang dia punya. Katanya koleksinya sudah terlalu banyak dan hanya ingin menyimpan beberapa saja. Tanpa bertanya banyak hal setelah aku bersedia menerima bukunya dia meminta alamat rumah untuk pengiriman. Meski sebenarnya aku berpikir keras, ini orang sebenarnya siapa kenapa tiba- tiba milih aku untuk dikirimi buku. Jangan-jangan penipuan untuk mendapatkan alamat dan nomor ponsel korban. Wkwkwkwk

Tapi keraguanku hanya sedikit, nggak deh, ini orang baik kayaknya. Instingku berkata seperti itu. Setelah aku mengirim alamat, kita ngobrol. Daaaaan, hal yang paling mengejutkan adalah ternyata dia asli Jember dan alumni di universitasku dulu. Alamak, kebetulan macam apa ini, kan. Lalu dia mengirimi foto bukunya yang bertanda tangan Sujiwo Tedjo yang akan dikirim untukku. Hm, padahal beberapa hari lalu aku sempat batin pengen baca bukunya beliau. Aku baru sadar sekarang, pas itu aku tidak bilang ingin beli bukunya, tapi baca bukunya. Daan, inilah jawaban hasil dari kebatinanku. Wkwk. Aku juga cerita hal ini ke dia.

Obrolan kita berlanjut begitu saja seperti sudsh lama kenal. Merambat-rambat membicarakan hal lain tentang jurusan dan korelasi pekerjaan seseorang ke depan. “Pekerjaan seseorang kan nggak harus sama dengan jurusan. Hidup itu penuh tebakan,” tulisku di ruang percakapan kita.

“Seperti kamu dapat buku yang kamu mau juga bukan hal yang bisa ditebak, ya.”

“Wkwkwkwk nah itu salah satunya.”

Sebulanan ini dapat tiga paket isinya buku semua. Dan semua juga nggak ketebak. Pertama dari event Sebuku Sepekan. Awalnya admin sudah bilang aku telat mendaftar dan tidak memiliki kesempatan untuk dapat buku dan voucher Gramedia. Kubilang nggak apa-apa, aku cuma ingin masuk event baca buku agar aku rajin baca dan review. Tantangan baca harusnya sampai pekan kelima, tapi dilanjut sampai pekan enam tanpa pemberitahuan. Aku mah cuek aja soalnya memang cuma pengen review buku. Ternyata pas pengumuman namaku tercantum dapat buku dan voucher. Hm, senangnya dalam hati. Karena ada perpanjangan waktu jadinya terkejar satu pekan ketertinggalanku.

Kedua, dari seorang teman yang kupikir ngirim buku untuk dipinjami. Ternyata dikasih tiga buku. Lalu yang ketiga teman baru yang tadi. Dia bilang, "Tolong dijaga, ya! Itu buku kesayangan banget sih." Kalau aku jadi dia nggak bakal aku ngasih buku itu ke orang lain, udah kesayangan ada tanda tangan penulisnya lagi. 

Sebenarnya kalau cerita dikasih buku tuh banyak banget, ketemu tiba-tiba dikasih, dimintain alamat tiba-tiba dikirimin paketan. Cerita yang paling nggak nyangka baru yang ini tadi.

Sore setelah dia mengirim resi pengiriman, aku berpikir, bener orang baik nih, nggak macem-macem dia. Wkwkwkwkwk duh map ya, bukan suudzon. Kejahatan di zaman sekarang berbagai macam rupa sampai yang benar-benar tulus dan modus bedanya sangat halus nggak bisa dirasa. Haha

Aku sebenarnya sempat tanya sama si dia ini, “Kamu dapat akunku dari akun Y ya?” kulihat following kita sama-sama follow akun nulis Y. Kemarin seingatku aku sempat komen di sana. Dia bilang iya.

Lalu kutanya, “Yang komentar di sana emangnya kamu DM semua untuk ditawari buku?”

Dia bilang, “Enggalah, aku pas lihat akunmu aja trus ternyata kamu ngurus akun review buku jadi akhirnya kukasih.”

Ooh, dari situ aku berpikir Tuhan bisa saja menuntun jalan takdir melalui jempol kita. Apa yang dipilih jempol kita merupakan bagian juga dari takdir-Nya.




Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
“Hal apa yang paling kamu sesali dalam hidup ini?” tanyanya di sebuah pesan.
“Aku butuh waktu seharian untuk menemukan jawaban,” balasku.
“Terlalu lama.”
“Aku tidak bisa menjawab cepat.”
Dia seperti tombol switch yang mengalihkan apapun dengan cepat, termasuk kali ini mengalihkan obrolan untuk masuk pada ceritanya.
“Ada 2 hal yang paling aku sesali. Padahal aku jarang menyesali apa yang sudah terjadi,” jawabnya tanpa sempat aku balik bertanya hal apa yang dia sesali.
Percakapan berlanjut membahas tentang hal-hal yang dia sesali. Dan dia tidak lagi menagih aku untuk menjawab. Kubiarkan ruang percakapan ini miliknya.
Sembari menanggapi ceritanya, aku merasa tidak menjawab pertanyaannya adalah pilihan yang tepat, meski sebenarnya aku juga tidak tahu akan menyuguhi dengan jawaban apa.
Aku jadi tahu, dia bertanya kepadaku bukan ingin tahu tentangku, tapi untuk menceritakan dirinya sendiri. Kalau seandainya tadi aku menjawab, aku tahu aku tidak akan mendapat tanggapan apa-apa, mungkin obrolan akan langsung beralih pada ceritanya.
Nanti lain hari jika dia bertanya lagi, aku sudah tahu apa yang harus kukatakan. Aku akan bilang, “Tidak perlu bertanya jika sebenarnya kamu tidak ingin tahu. Mau cerita apa, cerita aja, aku mau dengar.”
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
"Apa yang harus kutanyakan ke dia, Mbak?" tanyaku suatu ketika ke seorang teman. Ada sebuah hal penting yang kami bicarakan sekitar sebulanan yang lalu.

"Tanya aja masalah foto, kan kamu tidak suka laki-laki yang mudah mengunggah foto di media sosial. Atau sebatas mana dia menjaga privasi rumah tangganya." 

"Sebenarnya masalah foto itu sepele, ya."

"Tapi bisa jadi besar kalau dari awal tidak ada kesepakatan." 

-----------------------------------

Nggak tahu kenapa akhir-akhir ini sering tidur di atas pukul 12. Kalau malam sudah bosan mau baca buku atau nulis, biasanya lihat status WA teman-teman. Tidak semua, kupilih mana saja yang mau kulihat. Tapi jempolku memang sukanya penasaran, hati enggan tapi tetap di klik. Ada satu teman yang baru menikah tiga bulanan ini. Pengantin baru yang masih bau melati, wajar kalau masih senang-senangnya. Tapi apalah aku ini yang belum menyicipi manisnya suka uring-uringan sendiri melihat statusnya yang menurutku mengumbar rumah tangganya. Sudah ku mute, tapi jempolku dengan nakalnya ngeklik. Pasang foto berdua, masih oke. Sering pasang foto pergi dan kegiatan apa saja, oke deh masih nggak apa-apa. Setiap orang punya hak untuk membuat status tentang dirinya. Tapi malam ini dia mengunggah screenshoot chat mesranya dengan suami yang menurutku itu sangat privasi sekali. 

Ukuran privasi orang mungkin beda-beda, ya. Aku risih, lalu kupilih hapus nomornya. Teman ini hitungannya bukan teman dekat, kami sangat jarang chatting atau ada keperluan. Jadi kurasa, ini sebuah pilihan agar aku tidak banyak berprasangka atau berpenyakit hati setiap melihat postingannya. Kalau ada perlu sesuatu, aku tinggal mengambil nomornya di grup.

Ternyata benar juga kata temanku tadi, hal sepele bisa menjadi besar jika tidak sepemahaman. Andai saja aku dan suami kelak mengartikan privasi rumah tangga dengan berbeda, pasti akan ada debat-debat kecil di antara kami. Aku orang yang sangat enggan mengunggah foto diri dan kebersamaan privasi di status. Kalau masih urusan pekerjaan dan organisasi ya masih okelah kan foto bareng-bareng. Karena aku nggak punya alasan untuk mengunggah fotoku. Kalau sekadar cuma pengen karena fotonya bagus, biasanya kujadikan foto profil beberapa menit terus kuhapus lagi sebelum dilihat banyak orang. wkwkwkw unfaedah ya, memang hanya untuk menuruti keinginan sesaat saja. Atau kalau ingin mengunggah foto diri cukup untuk foto profil, bukan sepanjang hari diunggah di status.

Aku nggak tahu seberapa uring-uringannya aku kalau punya suami yang ngapain dikit bikin status. Ke sana sini, makan apa bareng, ngelakuin apa bareng, bikin status. Errrr. Tahukah kamu, Mas? Aku amat mencemburui jika perempuan-perempuan di luar sana mengagumimu karena postinganmu. Biar cukup aku saja yang tahu kelebihan dan kebaikanmu. 

Aku merasa rumah tangga seperti Mbak Iim Fahima dan Adhitia Sofyan, Ibuk Retno Hening dan Ayah Tatang, Ummu Balqis dan suami terlihat lebih elegan. Mereka tidak bermudah-mudahan mengumbar rumah tangganya. Karena harusnya sebelum mengunggah apa-apa, kita tanya dulu ke diri kita, tujuannya apa? 

Aku kadang juga mikir, gimana rasanya jadi pengantin baru? Hmm 

Aku takut kelewat senang sampai akhirnya aku juga mudah mengumbar di media sosial. Aku nanti pengen bilang ke suami, "Mas, ingatkan aku kalau mengumbar rumah tangga berlebihan, ini karena aku kelewat bahagia sudah bersanding denganmu." Oke, skip. Wkwkwk

Aku nggak tahu ini konyol atau engga, penting atau engga. Tapi kalau mau seleksi calon aku mau tanya seperti apa kata temanku di atas. Kalau toh ternyata aku berjodohkan dengan orang yang suka mengumbar, semoga hatinya dilembutkan untuk mendengarkan aku setiap mengingatkannya. 

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Tahun lalu aku ada urusan di Surabaya. Karena nulis ini aku jadi membuka arsip DM ku dengan dia. Tanggal 11 Oktober aku ke sana. Pagi banget acaranya, jadi malam sebelumnya aku harus sampai sana. Dapat kabar pas siang jam 2. Aku segera pesan tiket kereta lalu menghubungi teman yang biasa kumintai tolong untuk numpang menginap setiap ke Surabaya. Kali ini dia ada acara menginap di tempat lain, tidak ada di asrama. Kuhubungi beberapa teman yang lain, mereka ternyata sedang pulkam karena waktu itu bertepatan dengan weekend. 

Mungkin ini adalah kesengajaan Allah agar aku menginap di kos Poni. Lama sekali aku mikir teman mana lagi yang bisa kumintai tolong. Aku ingat IG story Poni beberapa hari lalu di Surabaya, kutanya apa dia masih di sana, ternyata masih. Dan akhirnya, setelah 5 tahun kita tidak bertemu, kita dipertemukan lagi dengan kondisi dan keakraban yang berbeda.

Baik, kuajak kalian jalan-jalan sebentar ke masa sekolahku ketika berseragam putih abu-abu. Aku masuk di sebuah organisasi, begitu juga Poni. Kita beda jurusan, pun juga divisi. Kita hanya tahu satu sama lain, ketemu hanya say hello. Tidak pernah ada obrolan panjang, bahkan mengobrol saja rasanya hampir tidak pernah. Apalagi bisa dikatakan aku tidak terlalu aktif di sana. Kadang gabung, kadang enggak. Beda dengan Poni yang begitu aktifnya, bahkan dia pernah mencalonkan diri sebagai ketua umum. 

Ada satu kalimat yang dia ucapkan yang masih tersimpan rapi di memoriku, "Aku bukan orang yang suka dipimpin, tapi aku lebih suka menjadi pemimpin." 

Uwuuu. Nampol. Tapi aku paham kalimat itu tidak bisa diartikan mentah-mentah.

Poni ini perempuan yang bermata teduh juga menyimpan ketegasan. Aku mengaguminya diam-diam. Suka caranya berbicara, menghadapi orang-orang di sekitarnya, perempuan berani yang eemm di mataku punya banyak kelebihan. Tapi kusimpan kekagumanku, sedikit pun tidak ada yang pernah aku ceritakan. Cuma sering bilang dalam hati, aku pengen jadi Poni, perempuan dengan keberanian dan segudang kemampuannya. 

Lalu akhirnya kami sama-sama lulus. Aku sudah tidak pernah tahu kabarnya lagi. Entah tepatnya semester berapa aku menginstal Instagram. Aku juga lupa kenapa aku dan Poni bisa mutualan di sana. Padahal dari teman-teman organisasi cuma dia yang aku follow. Entah aku yang sengaja mencari namanya atau bagaimana, aku lupa. Semenjak saat itu aku jadi diam-diam sering stalking kegiatannya di instagram. Oh, dia kuliah di Surabaya ternyata. Dan aku juga baru tahu ternyata dia bukan asli Kediri. Kita tidak pernah tegur sapa, dan aku juga tidak pernah berpikiran untuk memulainya terlebih dahulu. Tahu kegiatannya saja sudah cukup. Dia pernah membuat story IG sedang ada kegiatan di kampusku, ku-DM dia kutanyakan keberadaannya. Ternyata sudah perjalanan menuju Surabaya. Dia mengikuti kompetisi karya tulis waktu itu. Lalu komunikasi selesai, tidak ada sapa lagi. 

Tahun 2018 akhir aku berkemas-kemas dari akun instagramku yang lama. Di akun yang baru hanya beberapa orang yang kukenal yang aku follow, salah satunya Poni. Aku masih seperti dulu yang mengikuti aktivitasnya diam-diam. Baru beberapa bulan kemudian Poni folback aku, mungkin baru menyadari aku telah memfollownya dengan akun baru. Tapi keadaan masih sama, kita tidak bertegur sapa. 

Pada awal Maret 2019 aku mengomentari storynya tentang sebuah hal. Lalu dari situ berlanjut obrolan panjang, aku cerita tentang aku yang memperhatikannya diam-diam sejak sekolah, dia yang ingin mengajakku collab nulis di blog, dan lainnya. Lalu obrolan berlanjut mulai membicarakan kegalauan kita pribadi. Semakin lama kita semakin dekat. Sampai aku pernah menunggu postingan atau story IG nya tidak kunjung ada update terbaru. Aku mencarinya, seperti kehilangan kekasih. Wkwkwk ternyata beberapa minggu kemudian dia muncul membawa kabar gembira, dia wisuda. Hilangnya dia kemarin karena persiapan administrasi untuk kelulusan dan wisuda.

Oke kita balik lagi di tulisan awal. Pukul 10 malam aku sampai di kos Poni. Disambut di depan gerbang oleh dia. Matanya masih sama, meneduhkan. Hanya pipinya yang beda, lebih berisi. Aku mandi sebentar lalu mengobrol dengannya. Obrolan kita kemana-mana, entah diawali dari apa sampai merambat ke hal mistis yang dia alami, pengalamannya melamar kerja sampai Jakarta lalu ternyata mendapat tawaran kerja di kampusnya. Ada satu obrolan yang menyentilku saat itu. Aku lupa kenapa saat itu obrolan kita merambat-rambat ke hal ini.

Aku cerita, "Aku sudah lama nggak foto tentang diri dan kegiatanku di medsos semenjak aku merasa down melihat postingan selebrasi teman-teman pas wisuda, sedangkan aku sempro aja belum. Dari situ aku takut kalau postinganku malah membuat orang tidak mensyukuri hidupnya. Kurasa pencapaian-pencapaian hidup, perjalanan, kegiatan, cukup kita yang tahu. Ada banyak hati yang harus kita jaga."

"Oh, kalau kamu gitu ya, Nik. Kalau aku secara pribadi mengunggah pencapaian karena aku ingin membuktikan ke diriku sendiri bahwa aku bisa melalui banyak proses di hidupku. Kamu tahu kan, manusia itu pastinya butuh pengakuan. Dan itu yang nggak aku dapatin dari ayahku. Beliau jarang melihat  aku dan semua yang aku lakukan, dari media sosial caraku membuat aku percaya bahwa aku mampu."

Bedanya, si Poni ini mengunggah pencapaian bukan dengan foto belaka di media sosial. Tapi dengan rentetan cerita yang membuat kita melihat prosesnya, meski nggak semua asam manisnya dia perlihatkan.

Dia melanjutkan ceritanya, "Dari kecil aku sering stress sendiri. Sampai dulu nggak bisa jalan. Berobat kemana-mana tetap nggak sembuh. Dokter menyerah dan bilang aku ini stress obatnya cuma satu menuruti semua kemauanku. Dan pas itu ayah ngajak aku main sampai aku ketawa lepas seneng banget, habis itu aku bisa jalan dengan sendirinya. Orang-orang kaget lihat aku tiba-tiba bisa jalan."

Kalian tahu rasanya terharu sampai ada yang mengganjal di tenggorokan, nggak bisa bilang apa-apa. Mataku memanas, dadaku sesak. Tapi kutahan. Dia cerita itu tanpa menyiratkan wajah sendu, berarti aku tidak boleh sampai meluruhkan air mata. 

Dia cerita beberapa potong hal tentang keluarganya. Aku diam begitu lama melebarkan telinga untuknya. Perasaanku seperti diaduk-aduk. Ini nyata sekali rasanya, bahwa media sosial yang sering membuat kita sampai lupa bersyukur itu ternyata sangat menyilaukan. Kita tidak akan pernah mengenal seseorang dengan baik sebelum kita mengobrol atau melakukan perjalanan dengannya. 

Dan lalu tentang aku, semenjak aku memberhentikan aktivitasku untuk mengunggah foto diri dan aktivitas di media sosial, aku sempat berpikir kenapa orang-orang begitu mudahnya mengumbar foto diri, kebersamaan, dan aktivitasnya ke media sosial. Aku menganggap mereka salah, berlebihan, nggak ada gunanya. 

Tapi setelah mendengar cerita si Poni aku jadi paham, aku nggak bisa meletakkan standarku pada hidup orang lain. Dibalik sebuah foto pencapaiannya, mungkin itu upaya untuk menghargai diri mereka sendiri. Mungkin ada banyak hal juga yang mereka simpan dibalik foto-foto yang tersebar di media sosial.

Wahai hati, siapakah aku ini sampai dengan lancangnya menghakimi, padahal aku tak mempunyai pengetahuan apa-apa tentang hati banyak orang. 

Meskipun begitu aku masih tetap sama, tidak akan mudah menyuguhkan kehidupanku di media sosial. Tapi bedanya, aku tidak lagi menghakimi apa yang dilakukan orang-orang. 

Obrolan kita berlanjut sampai pukul 1 pagi. Padahal pukul tengah 5 aku harus sudah siap-siap di suatu acara. Ngantuk sih memang, tapi mengobrol sama Poni bikin aku kecanduan.

Lalu urusanku selesai pukul 8 pagi. Setelah sampai di stasiun Wonokromo, aku sarapan soto ayam di dekat stasiun sambil menunggu jadwal kereta.

Kuketik pesan di DM untuk Poni, "Acaraku selesai, ini aku mau pulang. Makasih sudah dibolehin nginep di kosmu. Makasih juga udah cerita banyak hal."

Poni membalas, "Sama-sama, Nik. Kapan-kapan jangan sungkan main lagi ke sini."

Tanpa kamu minta aku bakal kembali lagi nemuin kamu jika masih ada waktu, entah di Surabaya atau di kota kelahiranmu. Aku pulang, membawa banyak hal yang aku pikirkan di perjalanan. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku lupa kapan tepatnya, pertengahan Mei ini kalau nggak salah. Ada teman yang mengirim DM ke aku. Sebut saja dia Poni. Hanya namanya saja yang kubuat mirip dengan Poni di tulisan kemarin, tapi ini beda orang. Aku merasa nama Poni lucu dan kyut gitu. Wkwk

Poni mengajak aku live untuk membicarakan produktivitasku selama pandemi ngurus IG baruku @myproductivity.id. Tidak langsung kuiyakan, awalnya aku ragu karena IG itu masih berusia sebulanan dan juga merasa belum apa-apa dengan akun ini. Poni bilang, "Nggak apa-apa, yang kita bicarakan kan produktivitasnya." Mengurus IG adalah produktivitasku sembari rebahan. Wkwk

Sebelumnya Poni sudah sering membuat podcast dengan adik tingkatnya. Sering dengerin podcastnya yang renyah dengan obrolan santai aku jadi kepikiran, enak kali ya bikin podcast. Keinginan yang cuma kusimpan, tidak kuutarakan kepada Poni. Tapi sebenernya aku bukan niat membuat podcastnya, tapi ingin merekam setiap obrolan dengan teman. Karena kurasa banyak obrolan penting yang tidak kita arsipkan, apalagi banyak menyangkut tentang perempuan dan krisis di usia 20-an. Selama ini aku hanya mengarsipkan beberapa obrolan itu melalui tulisan di blog ini. Dan gayung pun bersambut, si Poni semacam bisa membaca isi pikiranku dari jarak jauh. Poni ternyata pernah berniat membuat podcast berdua denganku. Tapi karena jarak di antara kita membentang jauh, dia di Surabaya dan aku di Kediri, niatan ini masih kami simpan untuk kapan hari nanti. Dia sebenarnya ingin mengajakku membuat podcast via telepon. Aku bilang nanti aja nunggu aku main ke Surabaya entah kapan setelah pandemi ini selesai. 

Mengingat niatan itu aku akhirnya menerima ajakannya untuk Live IG bareng, iya deh nyoba live dulu. Ini pengalaman pertama aku Live IG setelah sekian lama aku menggunakan instagram. Wkwkw Karena baru kali ini aku mempunyai alasan penting, kenapa aku harus Live? Yaa untuk membicarakan hal penting.

Aku live memakai akun IG ku sendiri @Kinachay. Obrolan kita merambat kemana-mana, tidak hanya tentang produktivitasku yang masih seuprit itu, tapi juga tentang Poni yang menghadapi omongan teman-teman, pentingnya nulis untuk kita, nostalgia kita semasa sekolah, dan eemm hal lain yang aku lupa. Wkwk

Nanti akan aku ceritain di tulisan kedua bagaimana aku bisa kenal si Poni ini, ya. Tulisan ini khusus bahas ketika Live IG saja. Poni ini karyawan di sebuah Universitas di Surabaya tempat dia kuliah dulu. Dia juga sempat membuka usaha amplop yang sudah jalan beberapa tahun. Dia juga aktif di komunitas sosial yang digagas bersama teman-temannya di Surabaya. Banyaknya aktivitas dia bikin aku selalu ingin produktif. Selalu ingin membuat sesuatu yang faedah gitu lah ya. 

Si Poni ini tahu betul bagaimana aku menyembunyikan tulisan dari orang-orang yang aku kenal. Instagram yang sengaja kuasingkan agar tidak dikenal identitasnya oleh orang. Sebelum membuat akun @Myproductivity.id ini aku juga sempat meminta sarannya apa aku akan membuka diri untuk semua orang. Dia bilang, sebaiknya sih iya. Kupikir mungkin saat itu sudah saatnya. Akhirnya sampai sekarang aku jadi sering share tulisanku di medsos yang lain.

Si Poni bilang, "Jadi sekarang kamu sudah nggak takut lagi, kan udah bikin dan ngurus IG baru."

"Masih, kok. Kadang kambuh-kambuhan, takut iya, pas lagi semangat, enggak lagi."

"Aku sering kok nik dikata-katain sama temanku. Nggak dukung aku untuk nulis dan bikin podcast."

"Ohya? Tapi kayaknya selama ini kamu nyantai-nyantai aja, ya. Kelihatan percaya diri aja untuk buat apapun."

"Kelihatannya aja, padahal sebenernya ya menguatkan diri sendiri." 

"Nggak nyangka, ya. Padahal kurasa kamu selama ini bikin sesuatu yang baik, nggak ngerugiin orang, tapi tetep aja jadi omongan. Ternyata nggak semua niat baik akan diterima oleh orang." 

"Iya, bener. Kalau kamu sendiri pas lagi takut, apa yang kamu lakukan?"

"Minta saran sama orang yang aku rasa bisa mendinginkan pikiranku. Wkwk. Butuh disemangatin lagi. Tapi sebenarnya, nggak ada yang menghujat aku, akunya aja yang overthinking sampai takut dan nggak percaya diri."

"Lah trus, apa yang kamu takuti?"

"Takut diomongin orang, padahal juga nggak ada yang ngomongin."

Poni mencuri waktu untuk tertawa lalu melanjutkan bicaranya, "Aku sebenernya bikin jadwal live ini kan dengan beberapa orang inner circle-ku aja. Aku juga sempat kepikiran, nanti siapa yang nonton, nanti dikatain orang alay nggak, ya. Pikiran-pikiran begitu pasti ada lah ya. Tapi ya aku pikir, kalau nggak dimulai sekarang, kapan lagi.

"Menurutku penting lho kamu bikin live atau podcast, kita kan juga sempet niatan bikin podcast bareng itu karena aku pengen teman-teman yang lain tahu obrolan ringan yang penting. Kadang kalau kita lagi ngumpul dengan beberapa orang, obrolannya receh aja nggak ada value-nya."

"Iya, ini aku makanya sedang memberanikan diri. Kalau menurutmu sendiri, menulis itu sepenting apa sih, Nik?"

"Sebenarnya aku bukan orang yang bisa berkomunikasi melalui lisan dengan baik. Suka belibet. Tapi ketika mengutarakan sesuatu melalui tulisan merasa lebih mudah aja, apalagi dasarnya aku kan sebenarnya suka cerita. Jadi ya nulis sebagai caraku untuk bercerita ke orang-orang."

"Kalau aku sih nulis kadang, tapi ya gitu masih labil juga. Nulis banyak di instagram trus lama-lama nanti kuarsipkan semua. Wkwkw sampai teman-temanku itu hafal, setelah nulis pasti habis ini tulisannya juga hilang."

Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya media sosial kan sama seperti rumah kita, ya. Terserah kita mau ngapain aja, nulis apapun, berbagai hal manapun, yang terpenting tidak untuk kejahatan dan menyinggung perasaan orang. Tapi lucu aja, kita yang punya rumah, tapi kita yang takut dengan omongan orang. Orang-orang pun juga tak kalah lucu, kenapa bisa-bisanya mengomentari rumah orang. 

Ohya, tentang Poni, seringnya kita hanya menangkap yang nampak seperti gunung es. Padahal di bawah laut, ada bongkahan lebih besar. Ada yang dialami Poni yang tidak aku tahu tanpa dia cerita. Aku hanya menerka-nerka hidupnya baik-baik saja, padahal harusnya aku sadar dia juga manusia yang kebahagiannya juga dilengkapi ujian seperti aku dan orang lainnya. Aku selama ini merasa menjadi orang yang paling takut, sendirian. Padahal ternyata perempuan setangguh dia juga sempat merasakan ketakutan.

Selama 45 menit saat itu kita membicarakan banyak hal, seperti peran perempuan dalam menulis, apa yang membuat terus nulis sampai sekarang. Dan gimana awalnya bisa suka nulis dan baca. Terlalu panjang kalau aku jelaskan. Wkwk

Sebenarnya poin yang ingin aku tulis itu tentang Poni, yang pencapaian hidupnya mengagumkan, tapi dibalik itu semua ada cerita yang tidak dia perlihatkan. Lanjut di postingan selanjutnya deh ya. 

Btw, ternyata ngomong di live itu sekalipun nggak ketemu sama audiens langsung, juga berhasil membuat detak jantungku nggak karu-karuan. Ngomongku belibet, banyak hal yang aku lupa pas mau ngomong. Fiks, aku jadi tambah yakin menulis adalah duniaku, aku nggak cocok di dunia perngomongan. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku ngetik ini pas malam. Pukul tengah 10 hp sudah aku cas, tarik selimut, mencoba memejamkan mata dengan harapan bisa tidur lebih cepat. Ternyata nggak juga, pikiran melompat kemana-mana. Kuambil hp dan kumainkan sebentar. Kupikir-pikir, percuma nggak bisa tidur tapi cuma diam nggak ngapa-ngapain. Akhirnya kepikiran ngelanjutin tulisan yang ini. 

Karena aku share tulisan tentang nulis buku tadi obrolanku dengan seorang teman jadi berlanjut. Ohyaa, sebelumnya ada kabar gembira untuk diriku sendiri bahwa tulisanku nggak jadi hilang. Berkat temanku yang ini, dia ngubek-ngubek blogku ternyata tulisanku di inspirasi.co sempat aku posting di sini. Wkwkw Aku sempet cek di list semua postingan, tapi nggak nemu. Ternyata aku yang lupa nggak klik postingan selanjutnya, kan ini postingan udah lama banget ya pantes kalo nggak kelihatan judulnya. Aku jadi nggak sedih lagi. Haha

Dia tanya apa aku udah nyiapin outline atau tema untuk nulis buku, baca pesannya sambil ketawa jahat. Lalu kubalas, "Aku belum mikirin apa-apa hahahahaaa." 

Nggak semua yang aku bicarain selalu aku seriusin, bisa jadi itu hanya pikiran sesaat terlintas. Tapi kalau sama teman yang satu ini, kalau ngobrolin apa gitu harus segera eksekusi. Ya nggak harus sih, maksudnya tu hasil dari obrolan setidaknya ada, bukan cuma ngomong aja kek aku ini. Hmmmm. 

Lalu obrolan kita berlanjut tentang seorang teman yang sama-sama kita kenal, sebut saja namanya Poni, tentu bukan nama sebenarnya. Dia menulis buku pengembangan diri melalui sebuah penerbit indie. Si temanku yang ngobrol sama aku ini, kita namain dia Brown aja ya.

Si Brown ini tanya, "Kamu sudah baca bukunya Poni belum?"

Kujawab, "Sudah."

"Terus menurutmu gimana?"

"Sejujurnynya biasa saja, karena aku tidak menemukan sudut pandang baru dari tulisannya."

"Yaap, sepemikiran, sih. Isinya sama saja dengan isi buku yang sudah ada. Tanpa kita baca kita sudah tahu isinya. 

"Jadi sebenernya itu juga alasanku belum juga nulis buku."

"Apa tu?"

"Karena aku merasa bukan siapa-siapa dan tulisanku tidak ada apa-apanya." 

Ini sih menurutku ya, tiap orang beda-beda sih. Aku sampai sekarang belum nemu satu klik untuk menulis tentang sebuah hal yang rasanya pas dan perlu untuk aku tulis. Selama ini aku cuma nulis hal-hal random di keseharian yang mungkin juga dialami oleh banyak orang. Aku belum nemu sesuatu yang bernilai lebih dari apa yang orang-orang alami dan pikirkan. 

Aku pengen ketika orang buka bukuku, mereka akan menemukan sudut pandang baru. Aku ingin ada hal yang bernilai lebih yang mereka dapatkan. Karena aku tahu rasanya bagaimana baca buku yang menjemukan dari segi bahasa dan idenya, aku nggak mau menyuguhi orang-orang dengan hal seperti itu.

Kurasa biarlah orang-orang banyak menerbitkan buku, tapi selagi aku belum nemu satu klik itu dengan sendirinya aku juga nggak akan beranjak untuk nulis. 

Terus sekarang aku mau ngapain? Baca buku banyak-banyak, nulis rajin-rajin, belajar sering-sering, udah gitu aja. Masalah nanti gimana, biar ngalir aja. Keinginan nulis buku masih ada, tapi nanti, aku ingin mematangkan diriku sendiri dulu. Aih. Tapi aku ngerasa mengharu biru aja ketika ada orang yang nunggu bukuku, tanya tentang niatanku nulis buku. Aku jadi ngerasa, ooh, ada ternyata orang yang menerima tulisan Anik yang begitu sangat biasa-biasa saja ini. Hatiku basah saking terharunya. Nggak nyangka. Seneng iya, tapi juga ada perasaan, "Aku bukan siapa-siapa."

Kalian kenal Farah Qoonita nggak? Instagramnya @qoonit. Dia itu penulis buku Sirah judulnya Seni Tinggal di Bumi yang dikemas dengan cara millenial. Bagus kurasa bukunya. Sempat aku juga mikir, enak dia ya followersnya banyak yang potensi ladang pahalanya juga banyak. Dia mengajak banyak orang menyumbang untuk Palestina. Dia menginspirasi banyak orang melalui tulisan-tulisannya. 

Terus nyambungnya sama tulisanku ini tadi apa ya wkwkw jadi bingung sendiri. Hmm, maksudku tu sebenarnya ketika kita menulis buku lalu difollow banyak orang, potensi untuk menebar kebaikan akan lebih banyak. Tapi sayangnya, aku pernah mikir difollow orang itu berat sih. Mereka yang tetap pada pendirian dan jati dirinya sekalipun sudah disukai banyak orang adalah orang yang keren. Yang nulis bukan untuk disukai orang, tapi untuk menyuarakan kebaikan. Naaahh, baru deh keinget. That's the point, kalau aku jadi si Qonita ini aku takut malah berbelok niat. Aku takut nulis karena ingin disukai orang, karena untuk mengejar uang. Mau dapatin uang boleh, tapi bukan sebagai tujuan. Uang hanya sebagai alat untuk melakukan kebaikan. Tapi aku sempet takut terbius oleh dunia yang rayuannya haluss wkwkwk.

Tapi guru akuntansiku pernah bilang, "Kalau kalian takut jadi akuntan karena takut akan korupsi, itu salah. Harusnya kalian jadi akuntan yang jujur agar jabatan akuntan tidak diisi oleh orang-orang yang salah."

Seperti tagline-nya Kitabisa.com, "Orang baik tidak boleh kalah berisik." Jangan sampai kita takut, sampai akhirnya nggak melakukan apa-apa. Untuk orang yang mentalnya masih letoy seperti aku ini, juga harus berproses.

Tulisanku nyambung nggak? Ya gitulah intinya yang pengen aku ceritain. Wkwk

Ah, apasih aku ini, nulis buku aja belum malah mikirin followers. Ya gitu itu isi pikiranku pas malem-malem. Kemana-manaaa. Gentayangan. Wkwkw
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kulihat ada kertas putih berukuran kecil di tengah tumpukan buku yang dia kirim. Buru-buru aku ambil kertas bertuliskan tulisan tangannya. Oh, dia ngirim surat juga ternyata. Eh, namanya surat apa bukan, ya. Wkwk Tidak ada tempat dan tanggal juga nama pengirim. Apapun itu, intinya dia menuliskan sesuatu yang membuat keningku berkerut. Ucapan terima kasih dan ungkapan suka dengan caraku bercerita. Bahkan, dia bilang akan menjadi pembeli pertamaku ketika aku menerbitkan buku. Tambah berkerut rasanya keningku. 

Aku cerita ke seorang teman yang sudah lama jadi pembaca setia tulisanku, tentang hal ini. 

Dia bilang, "Trus gimana, setelah ada yang bilang gini, kamu mau nerbitin buku?" 

Aku tidak memberi jawaban, bingung juga kalau mau nerbitin buku mau nulis apa.

"Kamu kan bertahun-tahun setia baca tulisanku, menurutmu tulisanku itu gimana, sih?" Aku penasaran dengan penilaian orang-orang terhadap tulisanku.

"Menarik kok. Enak dibaca."

"Menarik dari tulisan atau ide?"

"Ide, seperti misalnya tulisanmu untuk anak di masa depan, matahari yang lupa terbit, dan lainnya. Gaya ceritanya juga menarik."

"Tapi kamu sangat kenal aku, kan. Kamu tahu bagaimana takut dan insecure-nya aku untuk nulis."

"Semua tulisan akan menemukan jodohnya (read: pembacanya) masing-masing."

"Iya juga, ya. Nyata banget ternyata kalimat itu."

Kutarik waktu jauh ke belakang. Selama ini banyak orang yang memberi respon positif, bilang suka tulisanku, kecanduan tulisanku yang ringan dan nggak bikin mikir berat, kadang nyadarin beberapa hal yang nggak mereka pikirkan. Sejauh ini baru satu orang tadi yang dengan yakinnya bilang mau menjadi pembeli pertama bukuku. Selama ini orang-orang cuma bilang, kamu nggak pengen nerbitin buku? Kamu udah nerbitin buku belum, kok aku pengen baca tulisanmu. Nggak ada sebenarnya yang menghujat atau mencemoohku. Sampai aku sendiri juga bingung, yang membuatku takut dan tidak percaya diri untuk memperlihatkan tulisanku ke orang-orang itu sebenarnya apa. 

Aku ingat bagaimana kakak kelasku dulu meyakinkan aku berulang kali untuk terus menulis agar dibaca orang-orang. Tapi jawabanku masih sama, aku takut. Sampai akhirnya aku membuat akun instagram khusus untuk menulis tanpa mem-follow orang-orang yang kukenal. 

Aku bilang ke dia, "Maaaasss, aku udah berani nulis sekarang. Ya meskipun akun ini tidak aku perlihatkan untuk orang-orang yang aku kenal." 

Dia bilang, "Selamat, ya. Terus nulis pokoknya."

Berani nulis di media sosial itu bagiku dan baginya adalah pencapaian terjauh yang susah payah untuk aku lakukan. Maka baginya aku pantas untuk diucapkan selamat atas usahaku mengalahkan rasa ketakutanku sendiri. Meski bagi orang lain itu adalah hal yang biasa. Sampai detik tulisan ini diposting, aku masih takut untuk share tulisanku. Disebar sembarangan di whatsapp, beberapa menit kemudian bisa jadi kuhapus. Tak kubiarkan orang-orang tahu jejak blogku. Besok share lagi, hapus lagi. Hmm, masih labil aku ini ya ternyata. 

Aku ini mungkin orang yang nggak tahu diri dan terima kasih, sudah berapa kali ajakan nulis buku aku tolak atau tidak aku kerjakan. Aku sia-siakan jalan menuju roma. Bahkan, kakak kelasku yang tadi sempat juga memberikan akun instagram yang dia urus kepadaku. 

Sudah dikirim passwordnya. "Dek, kamu nulis di akun itu, ya. Kamu urus terserah kamu. Aku sudah sibuk sama kerjaan." 

Kubuka akunnya. Eemm, gemeteran tanganku pegang akun yang followersnya sudah ratusan ribu. Hahaa. Bahkan, di akun itu sebenarnya kalau aku mau aku bisa nulis sekadarnya, lalu kubuka paid promote mengingat ada ribuan DM yang masuk menanyakan paid promote. Hasilnya bisa kubagi dua. Hahaaa. Tapi lagi-lagi, itu tidak membuatku tergoda begitu saja. 

Akhirnya aku bilang ke dia, "Mas, maaf aku sepertinya nggak bisa ngurus. Aku nggak tahu harus nulis apa di sana." 

Aku juga pernah mematahkan hati temanku di Jogja dengan beraninya aku bilang, "Mbak, maaf. Aku sepertinya nggak bisa melanjutkan project kita ini. Aku lagi nggak tertarik nulis novel." Dan sekarang, dia sedang tertatih-tatih sendiri menyelesaikan mantan novel duet kami. Padahal harusnya aku berterima kasih kepada dia. Penulis yang sudah menelurkan beberapa buku solo mau menggandeng orang yang sangat masih newbie ini. Kurang baik apa dia kaaaaan. Entahlah, kalau ingat hal ini aku kesel-kesel sendiri kenapa aku sering mengecewakan orang hanya dengan beralasan belum ada sreg dari hati. Belum ada alasan dan keinginan kuat.

Sebenarnya menulis buku itu menggiurkan. Namaku akan dikenal, kalau penjualan buku laris kantongku semakin tebal, pembaca suka tulisanku followers akan menanjak drastis. Tapi itu dulu, bayanganku ketika kesuksesan di mataku adalah ketika aku sudah terkenal dan menghasilkan uang. Sekarang, bukan itu lagi yang ada di pikiranku. Menulis bukan untuk uang dan dikenal orang. Tapi untuk menebar kebaikan, menyuarakan hal baik yang patut dibela. 

Di era sekarang, bagiku menjadi terkenal adalah beban. Orang-orang memberikan ekspektasi yang besar, jadi orang harus baik, sekali melakukan kesalahan maka harus siap dihujat. Hm, padahal dunia penulis nggak gitu juga sih. Aku aja yang overthinking. Aku merasa lebih nyaman begini, nulis, posting, dibaca atau tidak oleh orang yasudah. Orang-orang nggak perlu beli bukuku, aku akan menulis banyak-banyak untuk mereka dengan gratis. Bahkan aku sempat kepikiran kalau pun aku ingin menulis buku, maka akan kuterbitkan lalu kubagikan gratis untuk orang-orang. Hahaa aku sedih aja kalau hanya alasan uang, ada orang yang pengen baca tulisanku, tapi karena nggak mampu jadi nggak kebeli. 

Menulis ini sebenarnya sebagai investasi masa depan untuk nanti dibaca anak-anak dan suamiku. Agar mereka tahu apa yang aku pikirkan, rasakan, dan jadi cerita untuk mereka. Tapi kadang, aku juga cemas kalau sewaktu-waktu platform yang aku gunakan ditutup lalu tulisanku hilang. Kemarin saja aku sudah sempat patah hati ketika buka inspirasi.co yang ternyata sudah ditutup akunnya. Tulisanku hilang, mendadak aku panik, lemes, dan pengen nangis nggak bisa. Sampai akhirnya aku mikir, sepertinya perlu aku mengumpulkan dan membukukan tulisan-tulisanku selama ini biar nggak hilang begitu saja. Tujuan utamanya untuk mengarsipkan tulisanku, pengen diterbitin banyak lalu kubagi-bagi. Tapi kalau dijual ya untung juga kayaknya ya sambil cek pasar. Hahaaa 

Semoga ajalaaaah ya.

*) Anik, yang masih sedih salah satu tulisan favoritnya hilang di inspirasi.co

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
"Aku suka caramu bercerita dan memahami ketika aku sulit menjelaskan sesuatu."⁣
⁣
Apalagi yang kamu sukai dari diriku yang tidak aku ketahui, bahkan ketika aku sendiri pun tak menyukai dan menerima diriku sendiri. Aku yang insecure merasa belum menjadi orang yang baik dan bisa memahami orang lain. Aku yang merasa insecure karena merasa tidak bisa bercerita dan sulit menjelaskan kepada orang lain. Bahkan ketika aku merasa tak punya hal apa-apa untuk disukai orang lain. ⁣
⁣
"Kamu tahu apa warna matamu?"⁣
"Hitam."⁣
"Bukan, coklat."⁣
⁣
Apalagi yang kamu lihat dari diriku yang tidak aku ketahui, ketika aku tak sempat melihat diriku sendiri karena terlalu sibuk melihat orang lain. Bahkan, ketika aku tak bisa melihat corak apa-apa di inderaku. 

Kediri, Mei 2020
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Sering blogwalking ke orang-orang, ada perasaan entah semacam apa. Mereka udah punya domain, tampilan blognya lebih bagus, isinya review yang juga nggak kalah keren. Mereka juga bukan cuma nulis, tapi sudah dapat job untuk placement atau review produk. Mereka sudah jadi penulis freelance. Dalam hatiku, hebat ya. 

Aku, pengen beli domain tapi nulis di blog ini belum bisa rajin. Masih sering ada males-malesnya, juga fokus kepecah dengan ngurus akun lain. Hm, sebenarnya cuma banyak alasan sih, padahal mah belum konsisten aja. 

Aku kadang suka mikir, mereka bisa review produk dengan begitu detail dan teliti. Mereka yang bisa lihai menulis dengan deskripsinya yang ngalir nggak berbelit-belit. Sedangkan aku, mengaku sangat susah untuk review. Kadang kalau baca buku atau memakai barang, tidak begitu memikirkan kelebihan dan kekurang. Tidak bisa terlalu detail menilai. Standar nyamanku juga tidak terlalu rumit harus begini begitu. Jadi ketika ditanya, barang ini gimana, buku ini gimana, aku kelabakan karena nggak sempat mikirin itu. Dipake, dibaca, yasudah. 

Sering diriku sendiri bilang, aku pengen aja nulis apa yang ada di kepalaku. Nggak usah rumit mikir apapun, nggak dibatasi oleh apapun. Nulis sebebas-bebasnya, sesuka-sukaku. Tujuanku nulis sebagai terapi diri, biar lega. Seringnya pengen cerita nggak tahu ke siapa. Toh, kemampuan lisanku juga tidak terlalu baik. Lebih suka komunikasi tulisan yang lebih tertata dan santai mikirnya, nggak belibet seperti ketika berbicara. 

Pernah takut, aku sampai kapan sih nulis gini doang, nggak kayak teman-teman yang lain yg lebih pesat bertumbuh, lebih punya niat, dan progressnya lebih terlihat. Kurasa wajar kali ya dengan ketakutan semacam ini. Tapi rasanya aku juga nggak perlu meniru gaya orang lain dengan memaksa review atau memberi tips-tips di blog padahal aku lagi nggak pengen nulis tentang itu. Aku cuma ingin nulis yang mengganjal di isi kepalaku. 

Lalu pada akhirnya, aku bilang ke diriku sendiri. Nulis aja, sesukamu, sebebas apapun pikiran dan hatimu. Masalah ke depan nanti gimana nggak perlu diketahui jawabannya sekarang. Yang penting terus nulis untuk kebaikan. Seperti Gita Savitri yang terus bikin konten youtube lalu sekarang tanpa terduga dia banyak relasi dimana-mana bisa nerbitin buku juga. Seperti Ibuk Retno Hening yang terus mengunggah video anak-anaknya karena sebagai arsip dan memberi kabar untuk keluarga di Indonesia, ternyata bisa juga menerbitkan buku. Atau Raditya Dika yang nulis aja terus di blog, lalu lama-lama jadi penulis, komika, dan berhasil bikin film.

Ada seorang teman yang kelihatan menjalani hidupnya sangat santai. Terus aja posting tulisan di medsos dan blog. Share link terus-terusan, nggak peduli ada yg komen atau engga. Ada yang ngelike atau baca engga. Terus aja gitu, sampai akhirnya setelah bertahun-tahun dia berhasil juga menerbitkan 3 buku solonya. 

Kalau katanya Sudjiwo Tedjo kurang lebih seperti ini, "Terus lakukan hal yang sesuai passionmu. Ekstremnya, tidak dibayar pun tidak apa-apa. Nanti jika kamu sudah belajar banyak hal, pada usia 30-an uang akan mengejarmu sendiri." 

Jadi sekarang, aku nggak perlu ribet dengan jumlah viewers, followers, atau reader. Biar semuanya mengalir, yang penting aku terus aja nulis. Bosen gapapa, istirahat sebentar. Lalu berjuang lagi. 
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Dulu pas masih kuliah, kepikiran pengen nikah biar ada yang nafkahin. Pengen jadi ibu rumah tangga, lalu duduk manis di rumah terima uang bulanan. Wkwk segampang itu dulu aku berpikir demikian. Beruntungnya, aku belum nikah sampai saat ini. Masih diberi kesempatan untuk tahu tentang peran perempuan. Coba kalau belum paham lalu aku menikah, bisa-bisa aku sering uring-uringan karena finansial rumah tangga belum cukup dan bosen di rumah. Merasa suami yang harus mencukupi semua kebutuhan rumah tangga, padahal perempuan juga harus membantu minimal mampu mengatur keuangan rumah tangga. Tidak langsung nikah, terima uang bulanan, belanja-belanja. Selesai. Tidaak, tidak seperti itu ternyata. 

Aku memang sempat keinginan menjadi ibu rumah tangga karena ingin mengurus suami dan anak secara maksimal di rumah. Tapi harusnya aku juga berperan untuk orang lain sekalipun sudah menikah. Dari rumah bisa tetap berbagi untuk orang lain, menikmati passion agar terus berkembang. Meski sudah memiliki anak, tetap harus belajar banyak hal agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Beberapa temanku yang ibu rumah tangga mengaku bosan di rumah. Setelah mengurus urusan domestik, nunggu suami pulang kerja, begitu-begitu saja setiap hari. Kalau sudah punya anak pasti akan sangat ribet kan, ya. Tapi ketika belum, pasti kesepian. Nah, harusnya sih sebagai ibu rumah tangga kita tetap bisa melakukan banyak hal dari rumah, entah menanam, memasak, menulis, ikut pelatihan online, bikin konten, ngurus komunitas dari rumah, membaca, atau bisa juga jualan online yang pengen buka usaha.

Kalau merasa ngurus urusan domestik dan keluarga saja sudah kewalahan, tidak lagi sempat untuk melakukan hal-hal tambahan. Sebagai perempuan kita tak perlu mudah berkecil hati. Karena tidak semua orang bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Tidak semua orang punya sikap sabar dan telaten mengurusi detail-detail rumah tangga. Jadi, melakukan peran kita sebaik-baiknya. Bagaimana mengurus rumah dengan baik, memasak dengan berbagai inovasi, membersihkan rumah dan menata dengan rapi. Kita mempelajari dan mempraktikkannya dengan baik sudah jadi poin untuk kita. Karena yang lebih penting bukan kita menjadi apa, tapi seberapa serius kita dengan peran yang kita mainkan.

Jadi ibu rumah tangga harus kuat mental dan sabar, ngadepin omongan orang yang menghakimi tentang pilihan kita. Semisal pertanyaan, kenapa nggak kerja kan sarjana, itu ngurus anak kok gitu. Harusnya kita sama-sama tahu bahwa ilmu mengurus anak atau menyajikan makanan itu luas sekali. Kalau berbeda ya karena kita mengaplikasikan versi ilmu yang berbeda, sumber yang berbeda. Sama-sama baiknya, tidak perlu menghakimi karena berbeda pilihan dan pemahaman.

*) Tulisan untuk Anik di masa depan ketika sudah jadi istri dan ibu


Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Pertama kali kenal medsos seingatku friendster pas kelas 7 SMP. Sering dulu nyisihin uang jajan buat mampir ke warnet sama teman yang lain. Atau ngabisin kuota modem temen untuk video chat bareng pakai Omegle. Dari Omegle jadi kenal sama orang Jerman, India, Australia, dan lainnya. Tapi Omegle memang medsos yang mengkoneksikan kita dengan stranger random dan akan disconnect dengan sendirinya atau sesuka kita. Omegle itu medsos tanpa fitur pertemanan, profil, atau follow. Dari facebook juga aku kenal dengan teman dari Auckland, New Zealand. Ada juga orang dari Pakistan yang tiba-tiba mengirimkan inbox lalu kita saling bercerita banyak hal. Dari dunia maya aku menemukan banyak hal baru. 

Tapi memasuki sekolah SMA, ada yang berbeda. Medsos bukan hanya sebatas untuk mencari teman atau mengobrol. Mengunggah curhatan dan kehidupan jadi kebiasaan. Suka nebar status sebel, sedih, atau seneng. Unggah foto sama teman, lagi kemana, makan apa. Rasanya orang-orang harus tahu apapun yang terjadi dengan diri kita. Melakukan sesuatu hal juga untuk kepentingan eksistensi pribadi dengan cara menunjukkan semua hal diri kita di media sosial. Hal ini berlangsung sampai aku hampir memasuki kuliah semester akhir.

Lama-lama aku merasa capek sendiri apa-apa harus diunggah. Sempet mikir, nanti kalau fotoku sudah banyak di medsos, mau kuapain lagi. Tujuan akhir dari aku mengunggah foto-fotoku itu apa. Aku belum nemu alasan itu, akhirnya memutuskan untuk jarang mengunggah fotoku dan hal-hal yang kulakukan. Cukup kusimpan sendiri. 

Entah awalnya darimana, lama-lama aku mengartikan media sosial bukan hanya sekadar untuk senang-senang, tapi juga portofolio kita. Lebih baik media sosial kugunakan sebagai arsip yang bisa disuguhkan untuk orang lain. Semenjak itu media sosial jadi wadahku untuk menyimpan tulisan yang kusebut rak digital. 

Beberapa hari lalu dengerin podcast-nya Iqbal Hariadi tentang The Normal Life bahas skill yang sebaiknya kita miliki setelah pandemi Covid-19 ini selesai. Salah satu skill tersebut adalah personal branding. Sebenarnya skill ini dari dulu harusnya kita miliki, mungkin Iqbal bermaksud menegaskan karena personal branding juga bagian dari digital. Dimana kita seharusnya bisa branding diri kita agar orang-orang tahu apa passion kita dan apa yang bisa kita kontribusikan untuk orang-orang. Dengan sendirinya nanti kita akan punya koneksi. Dari cerita Iqbal, ada temannya yang bertahan hidup di Jerman dengan mengajarkan menari. Ketika ditanya bagaimana dia bisa mendapatkan job, dia bilang dari orang-orang yang melihat medsosnya. Padahal followers akunnya belum terbilang banyak, tapi orang ini memang mempunyai skill yang mumpuni. Sampai akhirnya aku merasa sayang banget medsos yang diciptakan dengan mikir keras hanya difungsikan untuk sekadar senang-senang. Harusnya sih bisa digunakan untuk naruh karya-karya, entah foto, tulisan, lukisan, suara, masakan, dan lainnya. 

Tapi nih, makin ke sini aku makin tidak suka dengan menulis tangan. Rasanya beda. Otakku membeku gitu aja ketika aku pegang pulpen dan lihat kertas. Tapi ketika pegang ponsel atau duduk di depan laptop otak encer aja rasanya mau nuangin apapun. Aku menyimpan banyak tulisan di medsos dan blog. Pake laptop juga udah jarang, karena enakan pake ponsel. Karena keseringan mengarsipkan tulisan di dunia maya, aku jadi kepikiran gimana kalau tiba-tiba medsos yang sering aku gunakan ini dihapus. Bisa saja instagram sekarang masih gemerlap, facebook meski sudah lama tapi masih saja ramai peminat, twitter yang sudah usang masih banyak yang suka ngetweet di sana, kelak nanti mereka semua akan digantikan dengan platform yang baru. Banyak hal yang berjaya pada masanya, lalu mau tidak mau harus terganti oleh inovasi baru. Bukan hal yang tidak mungkin. Atau beruntungnya jika mereka tetap bertahan tapi dengan tambahan-tambahan fitur yang lebih canggih di masa depan. Aku jadi menilik tulisanku yang tersimpan rapi di banyak platform. Siap tidak siap aku harus kehilangan mereka semua nantinya, entah kapan jika penghapusan benar terjadi. 

Selain itu aku juga merasa perlu berterima kasih untuk pembuat medsos dan platform blog. Tanpanya, mungkin aku nggak akan bisa punya tempat pulang untuk menyimpan serpihan-serpihan perasaan yang bingung harusnya aku taruh dimana. Aku nggak akan bertemu dengan teman-teman maya yang selama ini jadi tempat cerita dan bertanya, aku nggak akan bertemu dengan orang-orang yang tulisan dan karyanya membukakan aku pada banyak hal baru. Aku juga nggak akan tahu banyak belahan bumi yang punya cerita dan coraknya yang beda-beda. Dan tentunya, menghubungkan aku dengan teman-teman yang terpisah keadaan dan jarak. Medsos juga bisa digunakan untuk healing, kapan-kapan aku akan cerita hal ini. 

Sedihnya, beberapa medsos ditutup karena ulah manusia yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Omegle diblokir karena dianggap tempat  yang mengandung pornografi. Tumblr juga sempat hampir diakuisisi oleh Pornhub karena banyak pornografi di dalamnya. Padahal melalui omegle, aku bisa kenal anak fotografi, komunikasi, musik yang bercerita banyak hal tentang dunianya. Di Tumblr aku bisa banyak baca sudut pandang baru yang menenangkan hati. 

Ada pikiran yang terus berputar-putar, sepertinya lebih baik tulisan-tulisan itu aku bukukan sebelum hilang tanpa ada jejak yang tertinggal. Lebih sedih. Aku nggak bisa melihat Anik dulu di tahun entah kapan. Aku nggak bisa membaca jejak pemikiran Anik dulu yang masih piyik sampai sekarang jadi mbak-mbak rapuh. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Semakin meluas pemahaman seseorang, maka semakin baik sudut pandang tentang kriteria pasangannya. Semakin dewasa seseorang, semakin sederhana yang diinginkannya. Dulu aku pengen punya suami yang setia, perhatian, kerja mapan, dan rentetan kriteria lain. Makin ke sini aku sadar, karakter-karakter suami yang dulu aku inginkan bisa diefisienkan menjadi "baik secara agama dan akhlaknya." Aku juga makin sadar, nggak ada di dunia ini orang yang benar-benar sabar, baik, bijaksana, dan lainnya. Karena kita semua diciptakan dengan sifat manusiawi yaitu lupa dan khilaf. Hanya saja yang membedakan adalah siapa yang selalu ingin belajar menjadi lebih baik. Pun aku sendiri juga bukan orang yang selalu baik, pemahaman agama belum paripurna. Masih banyak kurangnya dimana-mana. Setidaknya, sama-sama menjadikan diri orang yang selalu ingin belajar. Itu sudah cukup menurutku.

Lalu tentang mapan, menurutku definisi mapan bukan tentang dia sudah punya rumah dan gaji dua digit. Cukup memiliki pekerjaan dan bertanggung jawab kepada anak istri menurutku sudah kategori mapan. Jumlah gaji itu bukan tolak ukur bisa hidup bahagia dan tenang. Gaji banyak tapi angsuran tercecer dimana-mana bikin tidur tambah tidak nyenyak. Malah aku sudah tidak tertarik lagi dengan pria mapan yang bergaji banyak dan berkedudukan terpandang. Karena yang lebih penting bukan berapa kekayaan yang dia miliki, tapi bagaimana pemahamannya tentang uang dan kebermanfaatan hidup. 

Masalah finansial memang hal yang krusial dan sensitif. Setiap orang mempunyai pemahaman tentang uang masing-masing. Bagiku uang itu bukan tujuan, tapi alat. Kita boleh ingin kaya dan punya penghasilan banyak. Tapi kekayaan yang kita punya adalah alat yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Nah, penting juga ngobrolin masalah ini ke calon pasangan sih biar nggak salah paham ketika sudah menikah. Ternyata ada orang yang menyuruh istrinya bekerja untuk mendapatkan tambahan gaji, menimbun kekayaan untuk kepentingan perut sendiri, dan ada juga yang tidak mengizinkan istri mengikuti kegiatan  sosial yang dirasa hanya menguras tenaga tapi tidak memberikan keuntungan materi. Kalau dipikir-pikir, ternyata luas sekali ya masalah uang. Bukan hanya tentang siapa yang memegang kendali keuangan dan bagaimana menggunakannya. 

Jujur, sebenarnya aku memiliki banyak ketakutan tentang menikah, makanya banyak banget keinginan kriteriaku. Misalnya, ingin suami suka baca, syukur-syukur suka nulis, suka parenting, asyik diajak ngobrol, bisa dijadikan tempat untuk cerita dan bertanya banyak hal, kalau bisa sih yang kerjanya di rumah aja (ini bukan hal yg wajib banget) biar anak-anakku nanti tidak mengalami fatherless (kapan-kapan aku bahas ini deh), mau diajak menerapkan zero waste, resep sehat jsr, hidup minimalis, berkebun di rumah, suka mendaki (ini sih karena aku nggak mampu mendaki karena masalah kesehatan, makanya suami aja biar aku cukup jadi tempat cerita perjalanannya wkwk). Ribeeeet bangett kan. Banyak banget keinginannya. Nggak tahu apakah ada kriteria yang masih aku lupa. Tapi kurang lebih itu yang aku ingat. 

Aku pernah dengar di podcast Positivistri milik Lulu istrinya Choqi Isyraqi kalau kalian tahu. Dia bilang, "Sebenarnya jodoh kita itu dekat, tapi kita aja yang belum ngerasa." Kupikir, apakah jodohku tertutupi dengan kriteriaku yang hanya di awang-awang itu. Terlalu menginginkan hal-hal rumit. Padahal hidup bukan tentang menuruti keinginan kita, tapi bagaimana kita menerima takdir-Nya yang tepat untuk kita. 

Kadang, kalau sisi ambisiku muncul pengen punya suami yang ini itu seperti kriteria tadi. Tapi pas lagi waras-warasnya, bilang ke diri sendiri, "Apapun yang Allah berikan nanti, itu adalah yang tepat untukku."

Aku juga sedang bersiap-siap untuk menerima segala takdir yang aku terima. Kalau toh nanti suamiku tidak seperti yang aku inginkan ya aku harus siap. Aku menjadi berpikir untuk mengubah cara berpikirku, ingin menjadikan diriku ini berarti untuk orang lain. Kalau suamiku tidak suka baca yasudah aku yang harus mengenalkannya dengan dunia baca, dia tidak bisa diajak diskusi dan ngobrol berarti aku yang harus lebih banyak menstimulusnya berbicara. Aku lebih takut jika aku diberikan Allah untuk ada di kehidupan orang lain, tapi aku tidak bisa memberikan dampak positif kepadanya. 

Pada intinya sih sebenarnya, kita punya tujuan hidup yang sama atau engga dengan pasangan kita. Dan orang-orang yang setujuan dengan kita inilah yang tepat untuk dijadikan pilihan.

Ada perempuan berusia 30 tahunan menikah dengan laki-laki 28 tahun. Perempuan ini sendiri yang bercerita kepadaku tentang pernikahannya. Dia mempunyai pemahaman agama yang baik dan terpelajar, pengajar senior di sebuah sekolah Islam modern berbasis asrama. Banyak laki-laki mapan, berpendidikan tinggi yang sempat ingin melamarnya. Tapi gagal dengan banyak alasan, salah satunya ada yang menginginkan dia menjadi wanita pekerja, sedangkan dia ingin menjadi ibu rumah tangga atau berkegiatan di rumah. Pada akhirnya, yang berhasil bertakdir dengannya adalah laki-laki biasa duda muda tanpa anak. Lulusan SMA dan pemahaman agama masih kurang. 

Ketika kutanya kenapa mau menerima laki-laki ini? Dia bilang, "Aku lebih takut melihat seseorang hanya dari kacamata manusia, padahal Allah yang lebih tahu yang tepat untukku."  Tapi tentunya, perempuan ini memilih laki-laki tersebut setelah istikhoroh dan meminta restu orangtuanya. Tidak ada yang membuatnya ragu dan semua prosesnya dilancarkan sangat cepat hanya sebulan. Gitu ya kalo emang udah jodoh mah. 

Suaminya ini mau diajak pada kebaikan, bersedia belajar agama, dan mendukung perempuan ini dalam segala hal. Sedangkan hal-hal tersebut tidak dia temukan pada laki-laki yang dulu pernah datang kepadanya. Hal-hal seperti ini yang sering luput dari pemahaman kita sebagai manusia.

Hal yang lebih penting lagi sih, lebih baik kita memperbaiki diri dulu. Dengan catatan bukan untuk mendapatkan jodoh, tapi murni aja karena Allah. Agar apapun yang diberikan, siap untuk kita terima. Agar kita tidak sibuk menuntut orang lain, tapi berupaya mengubah diri kita terlebih dahulu. Dengan begitu kita bisa menyadari berubah menjadi baik butuh proses, sehingga kita sabar menemani proses pasangan kita.

Jangan sampai kita sibuk "mencari", tapi lupa untuk "menjadi". 


Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
source: Google

Di atas segala cerita, jodoh bukan tentang perasaan, tapi perihal takdir Tuhan.


Terlepas dari siapa-siapa yang wajib aku cintai, aku pikir apa perlu aku mencintai seseorang? Menyisihkan ruang khusus untuk orang yang diberi label pasangan. Ketika misalnya aku sudah mencintai, lalu tujuanku dengan mencintai itu apa? Atau hanya untuk mengisi kekosongan, membuat kita bahagia, atau apa? 

Ada berbagai macam cerita, orang-orang yang saling mencintai pada akhirnya juga tak tentu duduk di pelaminan yang sama. Sekalipun sudah menikah, juga tak tentu selamanya tinggal seatap. Ada orang yang sudah berjuang mati-matian dengan perasaan cinta yang tumpah ruah, lalu kandas di tengah perjalanan. Melihat ini semua aku jadi mikir, apa aku masih perlu memilih seseorang untuk aku cintai? Atau sebenarnya aku hanya perlu memilih seseorang untuk menjadi suami yang pastinya nanti akan aku cintai? 

Pertanyaan-pertanyaan macam ini lahir kurasa karena aku diserbu rasa takut kehilangan. Ibarat orang menggali lubang, aku tidak suka yang cuma dangkal-dangkal. Inginnya kugali terus-menerus sampai dasar bumi dan akan banyak penemuan-penemuan di dalamnya. Begitu juga dengan mencintai, aku tidak bisa hanya setengah-setengah. Selalu terlalu dalam. Sialnya, orang-orang yang terlalu amat mencintai akan lebih perih ketika kehilangan. Dan aku lebih takut menanggung pedihnya perpisahan. Merasa kelimpungan, kehilangan hidup, serasa bumi berhenti berotasi. Semengerikan itu yang pernah kurasakan, sampai akhirnya kupikir aku nggak perlu mencintai lagi sebelum seseorang benar-benar pasti menjadi pelabuhan terakhirku. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari berharap kepada manusia.

Aku kadang heran melihat beberapa teman berani menaruhkan perasaannya untuk masa depan yang tak jelas pasti akan berujung dengan siapa. Pacaran lama dengan seseorang, atau hanya sekadar berkomitmen. Apakah mereka tidak pernah terbayang-bayang takdir mengerikan yang berupa mencintai tanpa pernah memiliki? Beruntung kalau ternyata mereka berjodoh. Terlanjur nyaman dan cinta juga menjadi soal untuk tetap mempertahankan. Atau mungkin, aku yang terlalu mencundangi diri untuk mencintai? 

Makin ke sini, aku menemukan tujuan penting sebuah pernikahan lebih dari hanya tentang saling mencintai atau ingin memiliki seseorang.

Sekarang kurasa aku tak lagi mempedulikan aku cinta atau tidak dengan seseorang. Tapi lebih pada pemikiran, siapa yang kurasa tepat untuk menjadi teman ibadah, teman mendidik anak, teman ngobrol dan berpikir sampai tua. Hal-hal itu menurutku lebih logis untuk dijadikan alasan menikah, dibandingkan cinta tanpa alasan yang bisa memudar karena mungkin kelak juga bisa saja ditinggalkan tanpa alasan. Aku butuh orang yang setujuan denganku. Untuk masa depan, aku justru perlu alasan yang kuat kenapa aku memilih orang itu. Pada beberapa hal kita tak perlu alasan untuk melakukan, tapi pada rumah tangga tidak bisa demikian. 

Pada banyak proses yang dilalui bersama maka dengan sendirinya perasaan cinta tumbuh. Rasanya nggak perlu khawatir tidak bisa mencintai pasangan sah kita. Setidaknya, ketika kita menginginkan tujuan yang sama pasti perasaan satu sama lain juga akan bermuara pada ujung yang sama atas izin-Nya. 

Aku merasa betapa membosankan nanti pernikahanku jika hanya sekadar saling memberi kejutan, kencan, dan mengunggah di media sosial foto berdua. Lalu letak esensi pernikahan ada dimana? Aku ingin pernikahan dan keluarga kecilku ngasih impact positif ke orang lain. Dengan bersatunya aku dan dia, ada semacam sinergi pada kebaikan, bukan hanya tentang kepentingan pribadi. Kurasa, untuk menjalani sampai akhir, cinta manusia yang kadarnya tak tentu karena hati sering terbolak-balik ini, tak cukup bisa diandalkan menjadi bahan bakarnya. Ada hal lain yang sifatnya lebih bisa melekat kuat pada niat.

Jika sudah menikah, setiap perasaan yang tercurah untuk pasangan adalah ibadah. Tidak akan sia-sia. Tapi nanti berjuang pada pernikahan bukan hanya atas nama cinta, tapi karena tujuan yang sama. Dengan begitu pernikahan akan berasa hidup karena akan lebih banyak hal yang direncanakan dan dilakukan. 

Jadi, yang lebih penting adalah menentukan tujuan untuk apa menikah, nanti kita tahu orang seperti apa yang tepat untuk menikah dengan kita. 

Jika hati masih memaksa untuk harus menikah dengan seseorang karena perasaan cinta, perlu dicek lagi. Itu mah beneran mau nikah atau hanya nafsu ingin memiliki? Kadang cinta itu bikin buta, membuat kita membenarkan dan menoleransi hal-hal yang salah dan bertentangan dengan prinsip kita. 

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Source: Google

Membicarakan tentang perasaan dan pernikahan memang nggak akan ada habisnya. Justru topik-topik semacam ini yang masih laris di pasaran, nggak ada matinya. Sebenarnya aku pengen speak up lebih banyak tentang hal ini minimal ke orang-orang terdekat. Tentu dengan sudut pandang yang berbeda. Tapi nyaliku menciut untuk menanggapi komentar orang-orang yang lebih berisik. Ada sebagian orang yang menganggap membicarakan tentang pernikahan itu karena kebelet nikah dan yang sering membicarakan tentang perasaan karena sering galau. Padahal sebenarnya nggak juga. Bisa juga karena banyak mengamati orang, mendengar lebih banyak cerita, atau membaca lebih banyak teori. Jarang orang-orang yang menganggap ilmu pranikah atau parenting adalah modal persiapan.

Aku memang bukan orang yang tergolong sabar dalam menghadapi apapun, kecuali memperlakukan anak kecil. Melihat makhluk satu ini rasanya cuma gemes, seneng, dan lucu. Aku amat memahami anak kecil itu bertingkah karena belum banyak materi yang dia pahami dan fisiologi otaknya yang masih dalam proses perkembangan. Melihat banyak anak kecil yang sudah bertingkah lebih cepat dari usianya dan bahkan kelewatan, bukan anak tersebut yang layak sepenuhnya disalahkan. Tapi perlu menilik ke belakang hal apa saja yang sudah dilakukan orangtua dalam mendidik anaknya. 

Sempat aku merasa takut, nanti bisa nggak ya aku didik anak. Nanti anakku akan seperti apa. Semasa lajang sekarang lihat anak kecil masih gemes-gemesnya, gatau nanti kan. Pas nggak sengaja lihat ibu-ibu di tempat umum, ada yang bentak anaknya. Sekilas kita akan menilai, ini ibu kok tega banget sih bentak anaknya. Tapi kita nggak tahu mungkin seharian ibu itu sudah lelah dengan rutinitas, ada masalah pribadi dengan keluarga, atau anaknya memang sangat susah diatur. Pikirku, sabar kita harus lebih luas lagi. Kalau cuma ngandalin kesabaran yang kita punya, rasanya nggak akan mudah. Kita perlu kembali ke niat awal, menikah, mengurus anak dan keluarga adalah ibadah, amarah harus bisa dikondisikan. Harus pandai-pandainya kita mendekatkan diri kepada Allah, agar niat dan hati lebih tertata. 

Aku pernah baca tentang seorang anak yang begitu membenci ayahnya. Dia sendiri tidak tahu kenapa. Setelah diusut saat konsultasi ke psikolog, ternyata dulu semasa dia di kandungan, ayahnya sering melakukan kekerasan kepada ibunya. Aku bayangin janin yang bersemayam dalam rahim sudah ketakutan untuk melihat dunia. Mendengar bentakan ayahnya, tangisan ibunya, suara-suara jahat di luar sana membuatnya trauma. Apalagi mendengar sepasang orangtua yang kelak menjadi pelindungnya juga diragukan untuk menemani di dunia. 

Awalnya aku bahas pernikahan kok tiba-tiba merambat bahas anak-anak. Sebenarnya terntang pranikah dan parenting itu berkaitan. Karena mendidik anak dengan baik dan tepat adalah tujuan dalam pernikahan. Mendidik diri sendiri merupakan upaya untuk mendidik anak nantinya. Bagaimana kita bisa mendidik anak kalau didik diri sendiri saja belum bisa kan, ya. Seringnya masalah ini sering luput dari para orangtua. Dikira menikah itu mencintai pasangan, memiliki anak, dipenuhi secara materi, disekolahkan, sudah cukup. Padahal di dalamnya ada banyak hal-hal yang harus dipenuhi. 

Aku pernah ketakutan, apabila aku gagal didik satu anak saja maka akan gagal pula aku melahirkan generasi-generasi berikutnya. Bukannya sama saja aku mempunyai hutang pada anak keturunanku. Padahal mereka berhak mendapatkan pendidikan yang baik dari aku orangtuanya. Betapa mereka akan kelimpungan menjalani hidup tanpa bekal kecakapan hidup dari orangtua. 

Rasanya pengen banget sih aku bahas ini dengan teman-teman. Tapi mereka selalu bilang pemikiranku terlalu jauh. Bagiku, tidak ada kata berlebihan atau terlalu cepat dalam belajar untuk sebuah pernikahan, dimana itu adalah ibadah terpanjang semasa hidup kita. Dan menulis hal-hal semacam ini upayaku untuk mengobati keinginanku mengobrol topik ini tapi belum tahu dengan siapa. 

Aku nggak janji, karena takut tidak kutepati seperti cerita perjalananku label "Flashback" yang belum juga kuselesaikan sampai saat ini. Tapi aku pengen tulisan ini kuselesaikan beberapa topik ke depan. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose