Sudut Pandang Pernikahan: Dengan Siapa Kita Menikah?

by - 22.09

Semakin meluas pemahaman seseorang, maka semakin baik sudut pandang tentang kriteria pasangannya. Semakin dewasa seseorang, semakin sederhana yang diinginkannya. Dulu aku pengen punya suami yang setia, perhatian, kerja mapan, dan rentetan kriteria lain. Makin ke sini aku sadar, karakter-karakter suami yang dulu aku inginkan bisa diefisienkan menjadi "baik secara agama dan akhlaknya." Aku juga makin sadar, nggak ada di dunia ini orang yang benar-benar sabar, baik, bijaksana, dan lainnya. Karena kita semua diciptakan dengan sifat manusiawi yaitu lupa dan khilaf. Hanya saja yang membedakan adalah siapa yang selalu ingin belajar menjadi lebih baik. Pun aku sendiri juga bukan orang yang selalu baik, pemahaman agama belum paripurna. Masih banyak kurangnya dimana-mana. Setidaknya, sama-sama menjadikan diri orang yang selalu ingin belajar. Itu sudah cukup menurutku.

Lalu tentang mapan, menurutku definisi mapan bukan tentang dia sudah punya rumah dan gaji dua digit. Cukup memiliki pekerjaan dan bertanggung jawab kepada anak istri menurutku sudah kategori mapan. Jumlah gaji itu bukan tolak ukur bisa hidup bahagia dan tenang. Gaji banyak tapi angsuran tercecer dimana-mana bikin tidur tambah tidak nyenyak. Malah aku sudah tidak tertarik lagi dengan pria mapan yang bergaji banyak dan berkedudukan terpandang. Karena yang lebih penting bukan berapa kekayaan yang dia miliki, tapi bagaimana pemahamannya tentang uang dan kebermanfaatan hidup. 

Masalah finansial memang hal yang krusial dan sensitif. Setiap orang mempunyai pemahaman tentang uang masing-masing. Bagiku uang itu bukan tujuan, tapi alat. Kita boleh ingin kaya dan punya penghasilan banyak. Tapi kekayaan yang kita punya adalah alat yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Nah, penting juga ngobrolin masalah ini ke calon pasangan sih biar nggak salah paham ketika sudah menikah. Ternyata ada orang yang menyuruh istrinya bekerja untuk mendapatkan tambahan gaji, menimbun kekayaan untuk kepentingan perut sendiri, dan ada juga yang tidak mengizinkan istri mengikuti kegiatan  sosial yang dirasa hanya menguras tenaga tapi tidak memberikan keuntungan materi. Kalau dipikir-pikir, ternyata luas sekali ya masalah uang. Bukan hanya tentang siapa yang memegang kendali keuangan dan bagaimana menggunakannya. 

Jujur, sebenarnya aku memiliki banyak ketakutan tentang menikah, makanya banyak banget keinginan kriteriaku. Misalnya, ingin suami suka baca, syukur-syukur suka nulis, suka parenting, asyik diajak ngobrol, bisa dijadikan tempat untuk cerita dan bertanya banyak hal, kalau bisa sih yang kerjanya di rumah aja (ini bukan hal yg wajib banget) biar anak-anakku nanti tidak mengalami fatherless (kapan-kapan aku bahas ini deh), mau diajak menerapkan zero waste, resep sehat jsr, hidup minimalis, berkebun di rumah, suka mendaki (ini sih karena aku nggak mampu mendaki karena masalah kesehatan, makanya suami aja biar aku cukup jadi tempat cerita perjalanannya wkwk). Ribeeeet bangett kan. Banyak banget keinginannya. Nggak tahu apakah ada kriteria yang masih aku lupa. Tapi kurang lebih itu yang aku ingat. 

Aku pernah dengar di podcast Positivistri milik Lulu istrinya Choqi Isyraqi kalau kalian tahu. Dia bilang, "Sebenarnya jodoh kita itu dekat, tapi kita aja yang belum ngerasa." Kupikir, apakah jodohku tertutupi dengan kriteriaku yang hanya di awang-awang itu. Terlalu menginginkan hal-hal rumit. Padahal hidup bukan tentang menuruti keinginan kita, tapi bagaimana kita menerima takdir-Nya yang tepat untuk kita. 

Kadang, kalau sisi ambisiku muncul pengen punya suami yang ini itu seperti kriteria tadi. Tapi pas lagi waras-warasnya, bilang ke diri sendiri, "Apapun yang Allah berikan nanti, itu adalah yang tepat untukku."

Aku juga sedang bersiap-siap untuk menerima segala takdir yang aku terima. Kalau toh nanti suamiku tidak seperti yang aku inginkan ya aku harus siap. Aku menjadi berpikir untuk mengubah cara berpikirku, ingin menjadikan diriku ini berarti untuk orang lain. Kalau suamiku tidak suka baca yasudah aku yang harus mengenalkannya dengan dunia baca, dia tidak bisa diajak diskusi dan ngobrol berarti aku yang harus lebih banyak menstimulusnya berbicara. Aku lebih takut jika aku diberikan Allah untuk ada di kehidupan orang lain, tapi aku tidak bisa memberikan dampak positif kepadanya. 

Pada intinya sih sebenarnya, kita punya tujuan hidup yang sama atau engga dengan pasangan kita. Dan orang-orang yang setujuan dengan kita inilah yang tepat untuk dijadikan pilihan.

Ada perempuan berusia 30 tahunan menikah dengan laki-laki 28 tahun. Perempuan ini sendiri yang bercerita kepadaku tentang pernikahannya. Dia mempunyai pemahaman agama yang baik dan terpelajar, pengajar senior di sebuah sekolah Islam modern berbasis asrama. Banyak laki-laki mapan, berpendidikan tinggi yang sempat ingin melamarnya. Tapi gagal dengan banyak alasan, salah satunya ada yang menginginkan dia menjadi wanita pekerja, sedangkan dia ingin menjadi ibu rumah tangga atau berkegiatan di rumah. Pada akhirnya, yang berhasil bertakdir dengannya adalah laki-laki biasa duda muda tanpa anak. Lulusan SMA dan pemahaman agama masih kurang. 

Ketika kutanya kenapa mau menerima laki-laki ini? Dia bilang, "Aku lebih takut melihat seseorang hanya dari kacamata manusia, padahal Allah yang lebih tahu yang tepat untukku."  Tapi tentunya, perempuan ini memilih laki-laki tersebut setelah istikhoroh dan meminta restu orangtuanya. Tidak ada yang membuatnya ragu dan semua prosesnya dilancarkan sangat cepat hanya sebulan. Gitu ya kalo emang udah jodoh mah. 

Suaminya ini mau diajak pada kebaikan, bersedia belajar agama, dan mendukung perempuan ini dalam segala hal. Sedangkan hal-hal tersebut tidak dia temukan pada laki-laki yang dulu pernah datang kepadanya. Hal-hal seperti ini yang sering luput dari pemahaman kita sebagai manusia.

Hal yang lebih penting lagi sih, lebih baik kita memperbaiki diri dulu. Dengan catatan bukan untuk mendapatkan jodoh, tapi murni aja karena Allah. Agar apapun yang diberikan, siap untuk kita terima. Agar kita tidak sibuk menuntut orang lain, tapi berupaya mengubah diri kita terlebih dahulu. Dengan begitu kita bisa menyadari berubah menjadi baik butuh proses, sehingga kita sabar menemani proses pasangan kita.

Jangan sampai kita sibuk "mencari", tapi lupa untuk "menjadi". 


You May Also Like

4 komentar

  1. keren mbak , kadang saya juga masih bertanya-tanya kenapa dia jodoh saya, tapi makin kesini saya paham dialah yang terbaik untuk saya, karena belum tentu jodoh yang saya inginkan bisa menerima saya seperti beliau menerima saya saat ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa, Mbak. Yang dijodohkan dengan kita pasti yg tepat ya.

      Hapus
  2. hai mbak, mampir ke blog ini terus baca-baca tulisan mbak tentang pernikahan ini. rasanya jadi flashback, karena pemikiran mbak mirip-mirip saya dulu, takut menikah, takut ditinggalkan dengan berbagai pernak-perniknya. Sampai kaget sendiri ketika akhirnya saya memutuskan menikah, banyak hal di luar dugaan soalnya haha.

    Tetap berpikir banyak, bersabar dan fokus sama diri sendiri, trust me it will be worth it. Semangat terus ya, semoga ketika menikah, benar-benar bertemu dengan jodoh yang mengerti dan bisa melengkapi. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin ya Allah. Makasih mbak.

      Sebenarnya takut itu wajar ya kalau mau naik step. :)

      Hapus