Sudut Pandang Pernikahan: Apakah Mencintai itu Perlu?

by - 22.55

source: Google

Di atas segala cerita, jodoh bukan tentang perasaan, tapi perihal takdir Tuhan.


Terlepas dari siapa-siapa yang wajib aku cintai, aku pikir apa perlu aku mencintai seseorang? Menyisihkan ruang khusus untuk orang yang diberi label pasangan. Ketika misalnya aku sudah mencintai, lalu tujuanku dengan mencintai itu apa? Atau hanya untuk mengisi kekosongan, membuat kita bahagia, atau apa? 

Ada berbagai macam cerita, orang-orang yang saling mencintai pada akhirnya juga tak tentu duduk di pelaminan yang sama. Sekalipun sudah menikah, juga tak tentu selamanya tinggal seatap. Ada orang yang sudah berjuang mati-matian dengan perasaan cinta yang tumpah ruah, lalu kandas di tengah perjalanan. Melihat ini semua aku jadi mikir, apa aku masih perlu memilih seseorang untuk aku cintai? Atau sebenarnya aku hanya perlu memilih seseorang untuk menjadi suami yang pastinya nanti akan aku cintai? 

Pertanyaan-pertanyaan macam ini lahir kurasa karena aku diserbu rasa takut kehilangan. Ibarat orang menggali lubang, aku tidak suka yang cuma dangkal-dangkal. Inginnya kugali terus-menerus sampai dasar bumi dan akan banyak penemuan-penemuan di dalamnya. Begitu juga dengan mencintai, aku tidak bisa hanya setengah-setengah. Selalu terlalu dalam. Sialnya, orang-orang yang terlalu amat mencintai akan lebih perih ketika kehilangan. Dan aku lebih takut menanggung pedihnya perpisahan. Merasa kelimpungan, kehilangan hidup, serasa bumi berhenti berotasi. Semengerikan itu yang pernah kurasakan, sampai akhirnya kupikir aku nggak perlu mencintai lagi sebelum seseorang benar-benar pasti menjadi pelabuhan terakhirku. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari berharap kepada manusia.

Aku kadang heran melihat beberapa teman berani menaruhkan perasaannya untuk masa depan yang tak jelas pasti akan berujung dengan siapa. Pacaran lama dengan seseorang, atau hanya sekadar berkomitmen. Apakah mereka tidak pernah terbayang-bayang takdir mengerikan yang berupa mencintai tanpa pernah memiliki? Beruntung kalau ternyata mereka berjodoh. Terlanjur nyaman dan cinta juga menjadi soal untuk tetap mempertahankan. Atau mungkin, aku yang terlalu mencundangi diri untuk mencintai? 

Makin ke sini, aku menemukan tujuan penting sebuah pernikahan lebih dari hanya tentang saling mencintai atau ingin memiliki seseorang.

Sekarang kurasa aku tak lagi mempedulikan aku cinta atau tidak dengan seseorang. Tapi lebih pada pemikiran, siapa yang kurasa tepat untuk menjadi teman ibadah, teman mendidik anak, teman ngobrol dan berpikir sampai tua. Hal-hal itu menurutku lebih logis untuk dijadikan alasan menikah, dibandingkan cinta tanpa alasan yang bisa memudar karena mungkin kelak juga bisa saja ditinggalkan tanpa alasan. Aku butuh orang yang setujuan denganku. Untuk masa depan, aku justru perlu alasan yang kuat kenapa aku memilih orang itu. Pada beberapa hal kita tak perlu alasan untuk melakukan, tapi pada rumah tangga tidak bisa demikian. 

Pada banyak proses yang dilalui bersama maka dengan sendirinya perasaan cinta tumbuh. Rasanya nggak perlu khawatir tidak bisa mencintai pasangan sah kita. Setidaknya, ketika kita menginginkan tujuan yang sama pasti perasaan satu sama lain juga akan bermuara pada ujung yang sama atas izin-Nya. 

Aku merasa betapa membosankan nanti pernikahanku jika hanya sekadar saling memberi kejutan, kencan, dan mengunggah di media sosial foto berdua. Lalu letak esensi pernikahan ada dimana? Aku ingin pernikahan dan keluarga kecilku ngasih impact positif ke orang lain. Dengan bersatunya aku dan dia, ada semacam sinergi pada kebaikan, bukan hanya tentang kepentingan pribadi. Kurasa, untuk menjalani sampai akhir, cinta manusia yang kadarnya tak tentu karena hati sering terbolak-balik ini, tak cukup bisa diandalkan menjadi bahan bakarnya. Ada hal lain yang sifatnya lebih bisa melekat kuat pada niat.

Jika sudah menikah, setiap perasaan yang tercurah untuk pasangan adalah ibadah. Tidak akan sia-sia. Tapi nanti berjuang pada pernikahan bukan hanya atas nama cinta, tapi karena tujuan yang sama. Dengan begitu pernikahan akan berasa hidup karena akan lebih banyak hal yang direncanakan dan dilakukan. 

Jadi, yang lebih penting adalah menentukan tujuan untuk apa menikah, nanti kita tahu orang seperti apa yang tepat untuk menikah dengan kita. 

Jika hati masih memaksa untuk harus menikah dengan seseorang karena perasaan cinta, perlu dicek lagi. Itu mah beneran mau nikah atau hanya nafsu ingin memiliki? Kadang cinta itu bikin buta, membuat kita membenarkan dan menoleransi hal-hal yang salah dan bertentangan dengan prinsip kita. 

You May Also Like

2 komentar

  1. setuju mbak, mencintai sebelum waktunya itu sungguh menyakitkan ... Memang benar pepatah jawa Witing Tresno Jalaran Saka Kulina. Setelah jadi pasangan lama-lama nanti juga jadi cinta jika memang sama-sama diniatkan ibadah.

    BalasHapus