[Cerpen] Jawaban tanpa Pertanyaan

by - 12.36

"Sebenarnya kedatanganmu ke sini untuk apa?" tanya Anna sambil membetulkan letak kaca mata minusnya. Lalu dia mengunyah sate usus yang sudah tersaji di setiap meja. Aku melihatnya sekilas dari samping, terlihat lensa kaca matanya sudah menebal menandakan minusnya makin besar. 

Aku belum menjawab, masih ada sedotan yang menyumpal mulutku. "Mau ngobrol sama kamu aja, emang nggak boleh?" Aku meletakkan gelas es jeruk yang buliran embunnya menetes ke meja. Lalu menopang dagu dengan posisi duduk menyerong ke arahnya. 

"Masa sih? Kamu nggak lagi ada masalah, kan?" 

Aku tertawa. Dalam hati mengamini pertanyaannya. Tapi untuk kali ini, aku belum membuka bicara untuk menceritakan segala gundahku. Entah, berada di dekat Anna aku tak ingin cerita apa-apa. Padahal ini adalah waktu yang aku tunggu-tunggu untuk menceritakan segala isi kepalaku yang telah penuh. Tentang kisah cintaku yang rumit, ditambah orangtua yang mendesakku untuk segera menikah, keluarga yang mengataiku wanita lupa menikah, atau tetangga yang tanpa berdosannya meledekku ketika berpapasan di depan rumah. Kepada Anna, aku ingin memulangkan segala cerita ini. Entah kenapa, aku merasa ingin dan harus mengunjunginya sampai aku mengambil cuti kerja. 

"Nggak kok." Aku berbohong. Entah kenapa, aku belum juga ingin cerita. Padahal ini hari kelima di kotanya, yang berarti hari terakhir aku bersinggah. Tiket kereta pulangku bertanggalkan esok hari. Mungkin nanti malam aku akan cerita agar menjadi kesan terakhir yang manis dan penuh haru. 

Pesanan soto daging kami belum datang, ada banyak pembeli yang harus juga dilayani. Tempat makan ini bisa dikatakan sudah luas, tapi masih saja terasa sempit karena membludaknya para pembeli.

Beberapa hari aku sudah menghabiskan waktu bersama Anna dan suaminya. Mereka orang yang riuh dalam obrolan. Membicarakan banyak hal random mulai tentang pekarangan rumah sampai hal jauh sampai pluto. Sesepele tentang bangunan tua yang kami lewati atau perilaku orang-orang berkendara juga tumpah menjadi obrolan yang melebar kemana-mana. Melihat hal itu aku berpikir, tidak ada yang menjadi rahasia di pikiran mereka. Satu sama lain dipersilakan tahu apapun yang terbesit di benak mereka.

Anna adalah teman yang aku kenal setahun lalu di sebuah seminar kepenulisan di Surabaya. Perempuan asli Jogja yang saat itu sedang berkunjung ke rumah mertuanya lalu tertarik ikut sebuah seminar. Di sana kami berkenalan lalu bertukar kontak. Kita tidak terlalu sering berkomunikasi, tapi sekali saja kami terhubung melalui whatsapp pesan kami bisa panjang layaknya sebuah cerpen. Dari situlah keakraban kami terjalin. 

Setelah dua hari aku sampai Jogja dan main ke tempatnya, aku baru tahu banyak hal tentangnya. Dia terpilih menjadi manusia yang lahir di keluarga yg dilimpahi kekayaan. Dia tumbuh menjadi orang yang cerdas dan berhati bak ibu peri. Aku selalu suka dengan cara berpikir dan kelugasannya menjelaskan banyak hal kepadaku. Perempuan yang sudah melahap banyak buku. Sudah ada ratusan eksemplar buku berbagai topik di rumahnya. Aku melihat rak berjejer rapi di ruang khusus pada sudut rumahnya. Selama ini Anna memang tidak memperlihatkan kehidupannya kepadaku. Dia jarang bercerita tentang masalah pribadi, meski kita sudah terbilang akrab meski hanya riuh di dunia maya. Dia hanya sering berbagi tentang kegiatan menulisnya.

Ditambah lagi, dia bertakdir dengan laki-laki yang penuh dengan kasih sayang dan limpahan wawasan. Mereka berdua menjadi keluarga kecil yang bertumbuh dengan melakukan banyak hal kebaikan di yayasan sosial. Setelah mendengar banyak ceritanya beberapa hari ini aku berpikir ingin menjadi dia. Tinggal di rumah megah di sebuah perumahan bergengsi di Sleman dengan suami yang meneduhkan. Hidupnya penuh dengan limpahan kemudahan dan kenikmatan. 

Kemarin-kemarin, aku yang lebih sering menghubunginya terlebih dulu untuk bercerita berbagai macam bising di kepalaku yang membutuhkan tempat untuk diluapkan. Dengannya aku merasa teduh. 

Pesanan soto kami datang. Uapnya mengangkasa dan aroma rempahnya menguar menambah selera. Sambil menyuapkan sendok demi sendok nasi soto, kami mengobrolkan banyak hal. Sesekali aku melempar pandangan ke jalanan. Beruntung kami mendapat tempat duduk yang dekat dengan pintu masuk. Pandangan kami bisa leluasa melihat jalanan yang sedang padat-padatnya di perempatan lampu merah yang hanya berjarak 3 meter di depan tempat makan ini. Netraku menangkap seorang anak kecil sekitar usia tiga tahunan duduk di atas motor di tengah kedua orang yang mungkin itu adalah orangtuanya. Matanya hitam membulat. Sepertinya dia baru selesai dimandikan, terlihat dari wajahnya yang penuh dengan bedak putih yang sengaja tidak diratakan. Cemong memenuhi wajah menambah kesan gemas pada pipi gembilnya. 

Kedua ujung bibirku sedikit melengkungkan senyum yang tertahan. Suka melihat kelucuannya. Lalu aku mengedarkan pandangan ke kedua pasangan di sampingku, aku terkejut ketika mendapati suami Anna juga memandangi anak lucu itu. Kudapati Anna sibuk dengan nasi soto sambil sesekali mengecek ponsel. Suaminya tidak mengatakan apapun, terlihat jelas bahwa dia juga melempar senyum ke anak itu meski si anak tidak melihatnya. Ketidaktahuan istrinya dia manfaatkan untuk memandangi anak itu sepuasnya. 

Ternyata aku salah jika mengira semua hal di kepala mereka mudah tertumpah. Ternyata masih ada filter di nurani suami Anna untuk menyeleksi apa saja yang pantas dikatakan. Tanpa harus bertanya aku paham, kenapa laki-laki itu tidak menceritakan kelucuan anak itu kepada istrinya. Tidak selamanya yang menurut kita lucu itu menggemaskan, bisa jadi malah menimbulkan salah paham. Si suami mungkin saja khawatir kelucuan sore itu menjadi penabur perih pada kesedihan Anna yang masih menanti kehadiran buah hati. 

Aku menjadi teringat beberapa kali di pesan whatsapp Anna mengatakan, "Doakan aku segera dipercaya menjadi ibu ya, Dea!" Aku mengamininya.

Kupikir, perempuan yang selalu menjadi tempatku cerita itu adalah orang yang kuat. Dia bijak untuk menghadapi segala masalahnya. Ternyata aku terlalu cepat berasumsi. Melalui pesan singkat, aku tidak bisa melihat sorot mata dan air mukanya. Tidak bisa benar-benar paham bagaimana perasaannya ketika aku tidak mendengar langsung getar suaranya ketika bercerita. Kupikir kalimat mohon didoakan adalah kata-kata Anna yang sedang ingin menambahkan obrolan. Karena aku tidak melihat raut sendunya atau keluhan-keluhannya padaku. Kupikir, dia selama ini masih baik-baik saja. 

Beberapa hari bersama mereka, tidak pernah ada obrolan tentang anak di antara kita bertiga. Aku sangat menjaga hal itu, mungkin juga suaminya. Hanya pernah sekali Anna mengatakan ketika kita berada di mobil dalam perjalanan, "Puluhan komik di kamarku nanti buat anakku." Lalu suara dalam mobil hening. Aku dan suaminya mungkin sama-sama bingung memberi komentar dengan kalimat apa. 

Malam harinya aku dan Anna memiliki waktu berdua di ruang tamunya. Suaminya sedang sibuk mengerjakan proyek.

"Suamiku selama ini tidak pernah menuntut apa-apa. Aku boleh bekerja, boleh di rumah, boleh ikut kegiatan apapun. Bahkan, dia juga tidak memburu-buru untuk memiliki keturunan." Mengalir segala ceritanya. Dia mencuri napas sejenak, lalu melanjutkan kisahnya. 

"Beruntungnya aku, mertua dan keluarga juga tidak pernah mengatakan komentar miring tentang aku yang belum hamil. Tapi aku sering dihantui rasa bersalah karena terlalu sibuk bekerja. Sampai aku kepikiran untuk fokus saja menjadi ibu rumah tangga dan segera melakukan promil. Mungkin ini semua salahku karena sibuk berambisi berkegiatan di luar." Sejak saat itu, aku baru paham apa yang sebenarnya dia rasakan. Orang-orang di sekitarnya begitu baik, namun dirinya sendiri yang belum bisa menerima keadaannya. 

"Tapi di sisi lain, aku juga ingin melakukan banyak hal di yayasan tempatku bekerja. Aku senang berkegiatan di sana, bertemu banyak orang." 

Detik itu juga aku merasa bersalah, pernah merasa ingin menjadi orang lain yang hidupnya terlihat lebih beruntung. Padahal aku yang lupa, semua manusia lahir dengan sepaket nikmat dan ujiannya masing-masing. Seperti salah satu firman-Nya, Dan yang ada pada sisi Allah adalah yang lebih baik. 

Sekoper cerita yang telah kukemas tidak jadi kukeluarkan isinya. Untuk kali ini, aku melebarkan ruang dan telinga untuk Anna. Meluaskan hatiku untuk menampung segala ceritanya. Semua orang sedang menanti pada versi takdirnya masing-masing. Aku menanti jodoh, Anna menanti keturunan. Pantas saja jika kemarin-kemarin kaki dan hatiku rasanya ingin segera mengunjunginya, ternyata melihat mata Anna membasah malam ini adalah jawabannya. 


You May Also Like

6 komentar

  1. Cerpennya bagus, mba.
    Btw, salam kenal! :D

    BalasHapus
  2. Dari cerita ini saya bisa ambil kesimpulan, bahwa perempuan memang memiliki perasaan yang teramat halus. Bahkan yang tadinya merasa galau karena sekelumit masalah hidup, bisa ia simpan rapih. Begitupun dari sisi lain, ia bisa dengan sabar menghadapi masalah hidup, padahal ia selalu menjadi tempat mencari solusi.

    Untungnya, orang-orang disekeliling Anna sangat baik dan sangat mengerti perasaannya ya. Jarang sekali ketemu dengan orang-orang seperti itu.

    Cerpennya bagus, nggak terlalu banyak dialog, tapi maksud dari cerita tersampaikan dengan baik.

    Ditunggu cerita-cerita lainnya mbak Anik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perempuan gitu mbak kalo lagi memendam, tp kalo lg bisa ngomong bakal panjang. Hahaa

      Makasih mbak :)

      Hapus
  3. Salam kenal mbak.

    Tiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing masing ya, seperti tokoh Anna ini yang baik hari, punya suami yang pengertian, keluarga yang mendukung tapi sayangnya belum punya keturunan karena sibuk bekerja.

    Cerpennya bagus mbak, mengalir lancar.😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa bener mas, udah dikasih kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi gak perlu lihat hidup orang hehe.

      Makasih ya :)

      Hapus