MENERIMA DENGAN UTUH (2)

by - 11.47

 

Menyadari ada yang sakit adalah perjalanan menuju penyembuhan. Kita tidak perlu terburu-buru membukakan pintu sebelum kita selesai dengan diri sendiri

“Kamu sadar nggak, orang yang datang dan pergi dari hidup kamu itu polanya sama.” Untuk kali pertamanya, ucapan dia membuat aku terdiam. Biasanya aku bisa merespon dengan cepat, kali ini berulang kali mencari jawaban yang pas, ternyata tetap tidak ada yang bisa kusuguhkan sebagai jawaban.

Bukan tanpa alasan dia mengatakannya, selama 10 tahun kita bersama dan aku banyak bercerita ke dia pasti dia mengamati sesuatu yang tidak aku sadari. 

“Oiya?” kataku kemudian hanya untuk memecah keheningan.

“Coba deh inget-inget. Kalau selalu sama, berarti penyebabnya juga sama dan itu yang harus diubah.” Ngobrol sama teman satu ini memang seringnya membuat aku berpikir keras, tapi aku suka. Sayangnya untuk kali ini, karena tidak kunjung menemukan jawaban akhirnya membuat aku kepikiran seharian.

Orang-orang yang seperti ini memang diperlukan sih, sering kali hidup kita ada banyak clue yang tersembunyi. Kalau kita belum juga menemukan benang merahnya, kita butuh bantuan orang lain. Tapi orang lain pun hanya punya kepingan puzzle dan kita sendiri yang harus menyelesaikannya.  

Obrolan di atas adalah obrolan yang sudah cukup lama. Mungkin dia sendiri juga lupa pernah mengatakannya kepadaku. Tapi aku tidak pernah berhenti mencari tahu. Tanpa sengaja sebenarnya. Hanya mengikuti alur yang semesta buat. Mengamati interaksi siswa-siswiku dengan orangtuanya, kebiasaan teman-temanku dengan keluarganya di rumah, membaca buku atau konten di medsos, mengajak diriku sendiri mengobrol cukup lama, akhirnya aku menyadari sesuatu.

Aku menyampaikan ke temanku yang sama dengan saat itu, “Aku baru sadar kalau aku tuh ternyata fatherless, jadi bisa dikatakan sebenarnya jiwaku kesepian butuh kasih sayang. Dan aku akan mencari jiwa-jiwa yang lain untuk mengisi.” Aku mengatakan ini ke temanku tidak dengan nada sendu, tapi dengan ngakak. Merasa lucu aja menyebut jiwa yang kesepian wkkw

Ketika itu aku merasa diriku baik-baik saja, tidak ada masalah psikis. Hanya perasaan selalu ingin disayang yang menurutku menonjol. Dan perasaan inilah yang harus aku kontrol. Tidak semua orang akan seperti apa yang aku harapkan. Dan kadang, karena ada rasa berharap yang berlebihan, akhirnya bisa merembet kemana-mana over protective-nya.

Suatu waktu aku hanya ingin menanyakan kabar seseorang yang menurutku enak diajak ngobrol. Perlu diketahui, ngobrol dengan seseorang adalah caraku untuk melupakan kesedihanku sendiri. Bukan menyelesaikan, tapi lebih pada menimbun kesedihan. Aku mencoba menyelami kehidupan orang lain, untuk meminggirkan sementara masalahku.

Tapi kali itu entah kenapa, si orang ini tahu jika hatiku sedang diberati sesuatu. Lalu obrolan kita beralih ke sesuatu yang lebih deep.

“Aku tahu orang seperti Mbak Anik nggak mudah menaruh hati dengan laki-laki.”

Buru-buru aku membalas pesan Wa-nya, “Nggak, Bun. Tidak seperti yang dikira. Aku baru sadar kalau aku fatherless, dan itu kenapa aku sangat mudah untuk menjatuhkan hati ke laki-laki di luar sana.”

“Mbak, aku tuh juga fatherless, jadi aku tahu banget rasanya. Merasa diri tidak layak. Sehingga dengan mudah membuka hati untuk siapa pun yang mau menerima kita. Kriteria mah soal belakangan. Kalau boleh mutar waktu, mungkin aku nggak mau membuka hati untuk satu laki-laki pun sampai benar-benar kutemukan dia yang sesuai kriteriaku.”

Pesannya panjang kuterima. Dia masih melanjutkan mengetik, dan kutunggu di ruang obrolan itu.

“Bukan cuma soal laki-laki, efek fatherless ini soal pertemanan juga. Aku punya bestie yang bertolak belakang sama aku. Meski sering sakit hati aku tetap mau berteman dengan dia. Karna dia yang menerima aku sebagai temannya. Jadi apa pun yang dia katakan kalau menyakiti, aku telen aja. Karna aku selalu takut ditinggal kan mbak. Jadi people pleaser juga.”

Dan rasanya apa yang dia katakan itu valid, kecuali masalah pertemanan. Beruntung, aku tidak se-ngalah itu dengan temanku, jika kurasa toxic aku berani untuk keluar dari pertemanan macam ini. Dan bersyukurnya, aku selalu dipertemukan dengan orang yang baik.

Dia mengetik lagi membalas pesanku, “Mbak merasakan ini bukan karna mbak mau kok. Tapi karena kondisi bertahun-tahun tanpa pengakuan dari seorang ayah bahwa kita berharga sebagai perempuan. Tanpa menyalahkan siapa pun di sini ya, Mbak, Orangtua zaman dulu struggle buat makan dan bertahan hidup. Gak kayak sekarang yang mudah akses ilmu parenting.”

Lalu aku bilang, “Aku perlu ke psikolog kayaknya, ya. Aku harus selesai dengan diriku sendiri dulu sebelum menerima orang lain. Ngajar anak-anak aku jadi sadar, kelak ketika mendidik anak aku harus menerima segala proses mereka. Pun juga suamiku. Bagaimana aku bisa menerima proses orang lain, jika aku sendiri belum menerima diriku sendiri.”

Aku merasa ada banyak luka batin dalam diriku yang belum terkuak. Dan ngobrol dengan teman satu ini membuat aku sadar, ternyata ada banyak hal yang keliru dalam sikapku tapi aku nggak sadar kalau ternyata itu dampak pengasuhan.

“Mbak beruntung menyadari ini sekarang. Bukan saat sudah menikah. Menyadari ada yang sakit adalah perjalanan menuju penyembuhan. Dan betul, aku yang belum selesai dengan diriku sendiri sangat berpengaruh terhadap penerimaanku sama suami dan anak.”

Aku mencoba tanya ke teman-temanku yang pernah konsul ke psikolog, aku merasa perlu mencari psikolog yang cocok. Setelah ngobrol sana sini akhirnya aku belum jadi ke psikolog, karena sebenarnya yang bisa menyembuhkan diri kita adalah kita sendiri. Psikolog itu hanya memandu, dan sepenuhnya ada di kita. Kupikir, kayaknya belum dulu deh, sambil nyari siapa psikolog yang cocok.

Semenjak saat itu aku banyak membaca buku serta nonton konten tentang fatherless dan innerchild. Makin mencari tahu makin merasa kaget karena isu psikis seperti ini jarang kita sadari meski sudah menahun ada dalam diri kita.

Aku pun juga kaget, selama ini aku tahu tentang isu ini, tapi aku tidak merasa mengalaminya. Aku yang selama ini sibuk menyiapkan untuk anak-anakku. Berusaha belajar menjadi orangtua yang baik dan mencari calon yang bisa diajak didik anak bareng, agar tidak meninggalkan inner child dalam diri mereka. Tapi lucu aja ya, aku sibuk menyiapkan masa depan padahal ada masa kini dalam diriku yang harus dibenahi.

Setelah menonton video di bawah ini, ternyata efek fatherless itu sangat fatal. Aku masih beruntung, bapakku adalah orang yang baik, hanya saja kurang hangat. Sesederhana itu, tapi kehangatan itu memberi dampak yang besar untuk setiap orang.

 



Puncaknya, aku masih ingat sekali ketika malam Nifsu Sya’ban. Jujur ketika itu aku tidak mengamalkan apa-apa. Aku menonton film gratisan di web bioskoponline yang berjudul Kejarlah Janji. Film tentang pilkades yang sarat makna dan dikemas sederhana. Yang bikin aku nangis di film ini adalah interaksi antara ibu dan anak perempuannya. Mereka bisa sehangat itu bercengkrama.

Setelah itu aku sholat Isya’ biasa saja. Dzikir juga seperti biasanya tidak ada yang kutambahi. Tapi entah kenapa, mungkin sisa kesedihan setelah nonton film masih ada. Aku nangis sesenggukan sampai 2 jam ada sepertinya. Ke-flashback semua apa yang terjadi di masa lalu bahkan masa kecilku.

Saat itu aku jadi paham, rasanya banyak sekali kesalahan yang aku lakukan. Tanpa sadar aku selama ini selalu berharap orang-orang yang datang di hidupku sama dengan apa yang kumau. Jika tidak, aku akan mudah tersulut emosi dan menyalah-nyalahkan. Aku yang tidak mudah percaya dengan sekelilingku. Takut mengalami kehilangan, sampai akhirnya tidak pernah berani menggenggam terlalu erat tapi membuat aku mudah untuk melepaskan. Takut akan segala kemungkinan buruk yang aku buat-buat sendiri. Sangat suka dengan zona nyaman yang isinya diriku sendiri.

Malam itu rasanya bebanku semuanya lepas. Aku jadi paham atas segala yang terjadi. Aku bisa memaklumi. Dan ternyata untuk tahun ini keputusan untuk memilih sendiri adalah pilihan yang tepat.

Untuk saat ini, aku hanya butuh Allah dan diriku sendiri.

You May Also Like

0 komentar