Pilpres dan Pertemanan Kita
Puluhan purnama aku singgah di rumah ini, baru kali ini sedikit memberikan nuansa beda yaitu membicarakan politik. Obrolan ini memang sering kuhindari, kecuali dengan orang yang bisa memahami pilihan orang lain. Beberapa tahun terakhir perbincangan politik memang tidak ada habisnya. Tulisan ini ditulis karena aku gemas sekali. Bermula kemarin saat aku mengunggah tiket sebuah acara bergengsi. Aku hanya mengunggah tiket dan membumbuinya caption, yeay pulang! Hanya itu saja, tanpa ada embel-embel lainnya.
Sorenya, ada seorang kawan yang tiba-tiba mengomentari, “Saya
tidak suka Anda melihat acara itu.” Cukup menohok karena dia menggunakan kata
Saya dan Anda. Teman yang satu ini memang suka blak-blakan. Suka mengomentariku
tanpa tedeng aling-aling. Tapi baru kali ini dia menggunakan kata
ganti yang menurutku terlalu terlihat bagaimana ketidaksukaannya. Kujawab
dengan santai, “Oh, mungkin karena video yang pernah kau tunjukkan itu, ya.”
Selang beberapa detik dia langsung menjawab, “Video yang mana?” “Video yang bla
bla bla…,” kataku. (Sengaja ketika aku menulis blog ini sama sekali
identitas atau perihal menyangkut orangnya tak kujelaskan secara gamblang agar
tidak menimbulkan perdebatan baru)
“Bisa jadi sih, tapi aku lebih tidak suka karena dia mendukung
xxx.” Aku bernapas cukup sesak membaca pesannya sore itu.
“Ya, aku tahu. Tapi namanya juga orang suka dari dulu wkwkwk,”
kataku mencoba untuk mencairkan suasana. Lalu dia mengabaikan pesanku begitu
saja. Entah, aku tidak bisa menebak bagaimana penilaiannya tentangku.
Lalu aku termenung begitu lama. Padahal aku sama dia sama
pilihannya, gitu aja masih salah ya. Emm, aku pernah baca di sebuah blog
seorang penulis favoritku. Dia bilang seperti ini, ketika kita benci
kepada seseorang, tak seluruhnya dari dia harus kita benci. Itu
kalimat yang masih tersimpan rapi di benakku. Hal yang selama ini kutanam
dalam-dalam. Hay sis, aku pun juga sama khawatirnya
denganmu ketika nanti pemimpin yang terpilih tak amanah, makanya kita
bersikukuh untuk memperjuangkan pilihan kita. Tapi sis, bukan dengan cara
membenci atau menjauhi orang-orang yang berbeda pilihan dengan kita. Bisa jadi,
itu terjadi karena keegoisan kita untuk memenangkan paslon pilihan kita, bukan
semata untuk negara ini menjadi lebih baik. Sayang sekali pertemanan yang
dirajut bertahun-tahun lalu tercederai oleh perdebatan tentang pilpres. Menyampaikan pendapat atau pilihan boleh, tapi tidak dengan saling menghujat atau merendahkan. Islam tidak mengajarkan demikian. Ketika kita berniat baik untuk menyadarkan seseorang tapi dengan cara yang keras, sebaik apa pun yang kita ucapkan maka orang itu tetap akan melemparkannya jauh-jauh.
Aku terkesima dengan seseorang yang pernah blak-blakan mengatakan
pilihannya kepadaku tapi tidak pernah bertanya apa pilihanku. Lalu suatu waktu
dia pernah mengkhawatirkanku karena berada di perantauan, dia mendesak agar
segera mengurus perpindahan tempat pemilihan. “Tenang, aku nanti akan pulang,”
jawabku melegakannya. “Alhamdulillah, Anik, pilih pemimpin yang amanah, ya.”
Kujawab saat itu, “Insyaallah.” Dia tidak pernah membumbuiku dengan
narasi-narasi tentang paslonnya pun tak pernah ingin tahu aku memilih apa.
Padahal kita memilih paslon yang sama, sampai detik ini dia tidak pernah tahu.
Jika berbeda pilihan harus membenci, bagaimana dengan aku yang
harus serumah dengan Bapak yang berbeda pilihan? Tak sekali dua kali beliau
mengagungkan pilihannya.
0 komentar