Caraku Mencintaimu
Dia
duduk melipat kakinya di hadapanku. Kudapati sendu yang memberati wajahnya. Aku
menatap iba. Beberapa kali terdengar dia membuang napas kasar dan aku hanya
menggumam. Kalimat tanya yang ingin kuutarakan menggantung di tenggorokan tak
terucapkan.
“Apa
yang kamu lakukan jika orang yang kamu sukai disukai temanmu sendiri?”
Tiba-tiba pertanyaannya mengudara. Bola matanya berkaca-kaca. Aku tahu, ada
isak yang disembunyikan.
Kututup
buku yang ada di tangan dan perhatianku mengarah kepadanya.
(Pertanyaan ini memang tepat ditanyakan
kepadaku)
Ada
perasaan yang bergejolak setiap dia datang dan menceritakan pertemuan,
kerinduan, dan perasaannya terhadap sesosok laki-laki yang diam-diam juga
mengisi ruang hatiku.
“Mengalah,” jawabku dengan
sedikit cengengesan menutupi bah air mata yang hampir tumpah.
“Semudah
itu?” tanyanya memastikan.
(Tentu tidak. Menerima kenyataan itu pahit)
“Iya,
karena aku lebih memilih teman daripada laki-laki yang belum tentu juga bisa
kumiliki.” Untuk kesekian kalinya aku menutup erat lembar kebohongan.
“Ini
bukan tentang pertemanan, tapi masalah hati,” jawabnya dengan mendengus kesal.
(Aku tahu dan aku merasakannya)
“Kenapa?
Ada perempuan lain yang juga menyukainya?” tanyaku sambil mengerlingkan mata
menggodanya. Dia memaksakan tersenyum.
“Iya,
dan kamu mengenali perempuan itu.” Aku menatap langit-langit kamar, pura-pura
berpikir mencari bayangan perempuan yang dimaksudnya.
(Aku sudah tahu siapa dia, karena dia juga
menceritakan perihal perasaannya kepadaku)
“Apakah
perempuan itu adalah bagian dari pertemanan kita?”
“Darimana
kamu tahu?” Seketika dia memandangku.
“Aku
bertanya,” jawabku sekadarnya.
Dia mengangguk
lemah. Lalu melanjutkan,“Dia memang tidak bercerita kepadaku, tapi bisa terlihat
dari caranya memandang lelaki itu, bahkan tersenyum girang saat ada yang
menyebut namanya.”
(Sedangkan, aku bisa tahu jelas kamu
menyukainya. Karena setiap malam kamu datang kepadaku dan menceritakan segala
hal tentangnya)
“Kau
tahu kan, aku begitu mencintainya?” Terlihat ada buliran membasahi pipi
tirusnya.
(Aku tahu, tapi kamu tidak pernah tahu aku
juga mencintainya)
Aku
mengangguk menjawab pertanyaannya. Mendung yang menggelayuti wajah langitnya
telah menetes menjadi hujan tak berkesudahan.
“Lalu
aku harus bagaimana?” Dia menghapus air mata dengan ujung jilbabnya.
(Lupakan saja dia!)
“Minta
saja kepada Tuhan, dia kan miliknya Tuhan.”
Rasanya
aku ingin menampar diriku sendiri yang sok bijak di depannya. Padahal, aku
sendiri masih tertartih-tatih menahan perasaan cemburu yang kian hari kian
membelenggu.
“Sudah,
tapi tak pernah ada jawaban.” Wajahnya terlihat muram.
(Itu berarti kamu tidak berjodoh dengannya)
“Memang
belum waktunya, makanya Tuhan belum menunjukkan jawaban-Nya.” Aku mencoba
memberi tanggapan baik dengan melukis senyuman.
“Jika
tidak dengan dia, pasti ada yang lebih baik,” Aku mencoba menghiburnya.
“Aku
hanya mencintai dia,” jawabnya dengan begitu mantap.
Ucapannya
seperti belati yang menghujam dinding hatiku. Merobek perasaan yang selama ini
kujaga dan tak ada satu pun yang tahu kecuali Tuhan.
Tanpa disadarinya,
aku sedang tertatih menenangkan perasaan dan detak jantung yang tak beraturan.
“Kenapa?”
tanyaku.
(Aku begitu bodoh, pasti nanti yang keluar
dari mulutnya adalah ucapan-ucapan pujian)
”Karena
dia adalah idaman. Apa pun yang kuinginkan segalanya ada pada dia. Laki-laki
yang teguh dengan pendiriannya, dan begitu memukau dengan kepandaiannya.”
(Kan, apa kubilang?)
“Oh. Aku tahu itu.” Aku hanya melontarkan
sepotong-potong kata dengan perasaan yang tercabik-cabik.
“Sa!”
Dia memanggil namaku yang sedari tadi sibuk memainkan pulpen. Sebenarnya bukan
itu, aku sedang sibuk menenangkan perasaan yang tak beraturan.
”Iya?”
“Apa
kamu juga mencintai seseorang?” Jantungku bergemuruh mendengar pertanyaannya.
(Iya, aku juga sedang mencintai laki-laki
itu)
“Tidak.
Aku sedang tidak mencintai atau mengharapkan siapa pun.”
Ingin rasanya
aku mematut diri di depan cermin lalu bertanya pada diriku sendiri, “Benarkah itu?”
“Jika
kamu sedang jatuh cinta, bagaimana caramu mencintainya?”
Untuk kesekian
kalinya aku menelan ludah dan membuang napas pelan untuk menutupi segala
keresahan yang menggelayut.
(Caraku mencintainya adalah dengan menyambut semua wanita yang mencintainya datang kepadaku. Mendengarkan mereka membangga-banggakannya, bahkan mengungkapkan
perasaan terpendamnya kepadaku)
Aku
tersenyum sesaat menutupi setetes gelisah yang membasah di sudut hati.
“Caraku
mencintainya? Hmhm….” Aku memandangnya dengan tertawa kecil menggodanya. Dia
hanya membalas dengan seulas senyum. Terlihat raut wajahnya yang dapat kubaca, dia
sedang berharap aku segera menjawabnya.
“Dengan
cara mendoakannya, karena jodoh bukan soal perasaan, tapi tentang takdir Tuhan.
Aku tidak terlalu berharap, karena aku tahu rasanya berharap itu menyakitkan.”
Dia
memandangku lalu sesaat menggumamkan beberapa kata, “Aku sebenarnya tahu
tentang perasaanmu.”
“Perasaan
yang mana?” Mataku membulat menatapnya. Keningku berkerut mengira-ngira apa dia
bisa membaca perasaan yang selama ini kututup rapat.
“Perasaanmu
yang takut tersakiti.”
“Oh.”
Aku membuang napas lega.
Aku terlalu sibuk menjaga perasaan mereka, sampai aku lupa bahwa perasaanku tidak ada yang menjaga.
12 komentar
Keren keren ih,
BalasHapusSaya suka dialog hati dan mulut yang tidak selaras itu.
Penyampaiannya jadinya seger.
Lanjutkan menulis!
Makasih, Kang. :)
HapusWew
BalasHapusWew
BalasHapusWow
HapusMntep kisahnya. Josh
BalasHapusHehe. Makasih udah mampir mas :)
HapusKeren
BalasHapusMakasih mbak yg lebih keren :)
HapusDan saya ingat obrolan kita...
BalasHapusAih aihhh keren pisan kamu, Dek!!
Sstt jngan bilang siapa2 mbak wkk
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus