Caraku Mencintaimu

by - 22.31

Dia duduk melipat kakinya di hadapanku. Kudapati sendu yang memberati wajahnya. Aku menatap iba. Beberapa kali terdengar dia membuang napas kasar dan aku hanya menggumam. Kalimat tanya yang ingin kuutarakan menggantung di tenggorokan tak terucapkan.

“Apa yang kamu lakukan jika orang yang kamu sukai disukai temanmu sendiri?” Tiba-tiba pertanyaannya mengudara. Bola matanya berkaca-kaca. Aku tahu, ada isak yang disembunyikan.

Kututup buku yang ada di tangan dan perhatianku mengarah kepadanya.

(Pertanyaan ini memang tepat ditanyakan kepadaku)

Ada perasaan yang bergejolak setiap dia datang dan menceritakan pertemuan, kerinduan, dan perasaannya terhadap sesosok laki-laki yang diam-diam juga mengisi ruang hatiku.

Mengalah,” jawabku dengan sedikit cengengesan menutupi bah air mata yang hampir tumpah.

“Semudah itu?” tanyanya memastikan.

(Tentu tidak. Menerima kenyataan itu pahit)


“Iya, karena aku lebih memilih teman daripada laki-laki yang belum tentu juga bisa kumiliki.” Untuk kesekian kalinya aku menutup erat lembar kebohongan.

“Ini bukan tentang pertemanan, tapi masalah hati,” jawabnya dengan mendengus kesal.

(Aku tahu dan aku merasakannya)

“Kenapa? Ada perempuan lain yang juga menyukainya?” tanyaku sambil mengerlingkan mata menggodanya. Dia memaksakan tersenyum.

“Iya, dan kamu mengenali perempuan itu.” Aku menatap langit-langit kamar, pura-pura berpikir mencari bayangan perempuan yang dimaksudnya.

(Aku sudah tahu siapa dia, karena dia juga menceritakan perihal perasaannya kepadaku)

“Apakah perempuan itu adalah bagian dari pertemanan kita?”

“Darimana kamu tahu?” Seketika dia memandangku.

“Aku bertanya,” jawabku sekadarnya.

Dia mengangguk lemah. Lalu melanjutkan,“Dia memang tidak bercerita kepadaku, tapi bisa terlihat dari caranya memandang lelaki itu, bahkan tersenyum girang saat ada yang menyebut namanya.”

(Sedangkan, aku bisa tahu jelas kamu menyukainya. Karena setiap malam kamu datang kepadaku dan menceritakan segala hal tentangnya)

“Kau tahu kan, aku begitu mencintainya?” Terlihat ada buliran membasahi pipi tirusnya.

(Aku tahu, tapi kamu tidak pernah tahu aku juga mencintainya)

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Mendung yang menggelayuti wajah langitnya telah menetes menjadi hujan tak berkesudahan.

“Lalu aku harus bagaimana?” Dia menghapus air mata dengan ujung jilbabnya.

(Lupakan saja dia!)

“Minta saja kepada Tuhan, dia kan miliknya Tuhan.”

Rasanya aku ingin menampar diriku sendiri yang sok bijak di depannya. Padahal, aku sendiri masih tertartih-tatih menahan perasaan cemburu yang kian hari kian membelenggu.

“Sudah, tapi tak pernah ada jawaban.” Wajahnya terlihat muram.

(Itu berarti kamu tidak berjodoh dengannya)

“Memang belum waktunya, makanya Tuhan belum menunjukkan jawaban-Nya.” Aku mencoba memberi tanggapan baik dengan melukis senyuman.

“Jika tidak dengan dia, pasti ada yang lebih baik,” Aku mencoba menghiburnya.

“Aku hanya mencintai dia,” jawabnya dengan begitu mantap.

Ucapannya seperti belati yang menghujam dinding hatiku. Merobek perasaan yang selama ini kujaga dan tak ada satu pun yang tahu kecuali Tuhan.

Tanpa disadarinya, aku sedang tertatih menenangkan perasaan dan detak jantung yang tak beraturan.

“Kenapa?” tanyaku.

(Aku begitu bodoh, pasti nanti yang keluar dari mulutnya adalah ucapan-ucapan pujian)

”Karena dia adalah idaman. Apa pun yang kuinginkan segalanya ada pada dia. Laki-laki yang teguh dengan pendiriannya, dan begitu memukau dengan kepandaiannya.”

(Kan, apa kubilang?)

“Oh. Aku tahu itu.” Aku hanya melontarkan sepotong-potong kata dengan perasaan yang tercabik-cabik.

“Sa!” Dia memanggil namaku yang sedari tadi sibuk memainkan pulpen. Sebenarnya bukan itu, aku sedang sibuk menenangkan perasaan yang tak beraturan.

”Iya?”

“Apa kamu juga mencintai seseorang?” Jantungku bergemuruh mendengar pertanyaannya.

(Iya, aku juga sedang mencintai laki-laki itu)

“Tidak. Aku sedang tidak mencintai atau mengharapkan siapa pun.”

Ingin rasanya aku mematut diri di depan cermin lalu bertanya pada diriku sendiri, “Benarkah itu?”

“Jika kamu sedang jatuh cinta, bagaimana caramu mencintainya?”

Untuk kesekian kalinya aku menelan ludah dan membuang napas pelan untuk menutupi segala keresahan yang menggelayut.

(Caraku mencintainya adalah dengan menyambut semua wanita yang mencintainya datang kepadaku. Mendengarkan mereka membangga-banggakannya, bahkan mengungkapkan perasaan terpendamnya kepadaku)

Aku tersenyum sesaat menutupi setetes gelisah yang membasah di sudut hati.

“Caraku mencintainya? Hmhm….” Aku memandangnya dengan tertawa kecil menggodanya. Dia hanya membalas dengan seulas senyum. Terlihat raut wajahnya yang dapat kubaca, dia sedang berharap aku segera menjawabnya.

“Dengan cara mendoakannya, karena jodoh bukan soal perasaan, tapi tentang takdir Tuhan. Aku tidak terlalu berharap, karena aku tahu rasanya berharap itu menyakitkan.”

Dia memandangku lalu sesaat menggumamkan beberapa kata, “Aku sebenarnya tahu tentang perasaanmu.”

“Perasaan yang mana?” Mataku membulat menatapnya. Keningku berkerut mengira-ngira apa dia bisa membaca perasaan yang selama ini kututup rapat.

“Perasaanmu yang takut tersakiti.”


“Oh.” Aku membuang napas lega. 

Aku terlalu sibuk menjaga perasaan mereka, sampai aku lupa bahwa perasaanku tidak ada yang menjaga. 


You May Also Like

12 komentar