Surat Untuk Sahabat Sesurga
*) 7 Hari Tantangan Menulis Basabasi Store (LINE @zog5070k)
**) Tantangan menulis di hari kedua tentang secuil kisah kebersamaan bersama sahabat
**) Tantangan menulis di hari kedua tentang secuil kisah kebersamaan bersama sahabat
Perempuan yang suatu saat nanti menemukan tulisan ini
Surat ini aku tulis
diam-diam. Sengaja tak kukirim link postingan ini kepadamu. Juga sengaja aku
tak menuliskannya di kertas lalu kuletakkan diam-diam di depan pintu rumah atau
tas punggungmu. Kubiarkan kamu membaca pada jauh-jauh hari nanti saat tanpa sengaja
kamu menemukan tulisan ini dan ternyata ada foto kita. Semoga kamu nggak tambah
sayang sama aku, dan semoga kamu nggak menangis terharu karena
tahu aku sudah mati-matian meluangkan waktu untuk menulis ini. Oke fix, yang
tadi itu memang lebay.
Aku pernah menyembunyikan
cerita kita di blog ini, akhirnya kamu tau dengan sendirinya. Tiga bulan lalu
saat senja kita berada di pantai bersama kawan yang lain, tiba-tiba kamu
mengagetkanku dengan pertanyaan, “Kamu pernah menulis tentang aku, kan?”
sungguh, saat itu aku malu. Tak tahu harus berkata apa, hanya tawa yang
menyambut pertanyaanmu. Lalu balik aku bertanya, “Kok tahu?” Dengan nada
percaya dirimu seperti biasanya kamu menjawab, “Pas itu aku firasat aja mau
baca blogmu yang lewat di beranda facebook. Ternyata ada aku di tulisanmu.”
Ekspresi wajahku mendadak berubah menyadari kebodohanku membagikan tautan di
sembarang tempat.
Aku tidak terlalu
menyesali, karena yang kutulis bukan sebuah aib. Namun sebuah cerita awal
bagaimana waktu itu kita bisa semakin dekat dan lekat sampai sekarang. Berawal
dari sebuah organisasi, lalu akhirnya kita saling mengisi.
Seminggu yang lalu kamu
memintaku untuk menginap di rumahmu dan kamu janjikan suguhan panorama pantai
dibalut senja keemasan. Aku menurut. Aku menyukai setiap perjalanan bersamamu.
Berkilo-kilo aspal jalanan kita lewati dengan cerita suka dan duka. Mulai dari
aspal yang mulus, aspal berlubang, jalanan berlumpur, jalanan berbatu tajam,
bahkan jalanan mengerikan di tengah hutan pun sudah pernah kita terjang bersama-sama
dengan motor kesayanganmu. Di atas motor itulah kita saling berbagi banyak hal,
tentang sulitnya hijrah di masa kini, keluarga, kuliah, dan apa pun itu.
Berulang kali kamu
menguatkan dengan potongan-potongan kalimat motivasi yang kamu curi dari
postingan ustadz atau teman yang lain. Aku selalu mengangguk mengerti. Tidak
ada nada menggurui, karena aku juga tahu berbagi kalimat motivasi juga sebuah
trik untuk menyemangati dirimu sendiri. Ibarat siswa yang selalu mengulang
pelajaran sekolah dengan menjelaskannya berkali-kali kepada temannya. Begitulah
nantinya semangat itu akan terpatri kuat dalam dirimu dan diriku.
Jujur, aku begitu malu
denganmu. Roda motormu tetap setia mencumbui jalan-jalan rumahmu menuju kosku,
atau kampusmu menuju kosku. Tak peduli siang atau pun malam, setiap ada acara
organisasi kamu selalu menawarkan untuk menjemputku. Aku ini memang sahabat
yang merepotkan. Tapi tak pernah kujumpai raut sebal pada bingkai wajah ovalmu.
Malam itu, kali pertamanya
kita melakukan perjalanan menuju rumahmu. Dingin semakin erat memeluk. Aku baru
tahu rumahmu begitu jauh dari pusat kota. Padahal kamu sering pulang-pergi
untuk mengikuti kegiatan sosial di tempat tersembunyi di semak-semak hutan,
lereng gunung, dan pinggiran pantai. Aku salut dengan semangatmu yang tak
pernah surut.
Malam itu, juga kali
pertamanya kita menghabisi malam hanya berdua di kamarmu. Dengan malu-malu,
kulihat kemerah-merahan mewarnai pipi tirusmu, kamu bercerita tentang sebuah
rahasia yang lama tersimpan rapat-rapat dariku. Cerita itu tentang perasaan
merah jambu lalu berulang-ulang kamu mengancam agar aku tidak membocorkannya.
Aku tidak menawarkan janji, hanya kujawab dengan menertawaimu sepuasnya.
Aksi kegiatan sosial yang
terjadwal rapi di organisasi lah yang menyatukan kita sampai sejauh ini.
Berbagai tempat kita singgahi, puluhan rumah kita datangi, puluhan wajah kita
temui, dan berbagai macam cerita memilukan kita dengar dari mulut-mulut mereka
yang tersisihkan.
Kita memang tidak pernah
menghabiskan waktu di kafe atau tempat makan mewah seperti persahabatan orang
lain yang sering diperlihatkan di media sosial. Tidak ada foto yang kita
pamerkan di instagram dengan bumbu caption manis tentang persahabatan. Kita
lebih memilih menyimpan foto momen-momen mengesankan hanya di ponsel. Cukup
kita sendiri yang tahu tentang bahagia yang tiada tara perihal persahabatan
ini.
Sore itu, aku duduk di
belakang kemudi motormu. Roda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Kamu
menepati janji untuk mengajakku melihat sepotong senja di ujung pantai sana.
Sesampainya di sana, aku
melihat kerumunan orang sibuk mengambil foto. Bau amis mengoar mengurapi bulu
hidung dan desauan angin menggoyang-goyangkan jilbab panjang yang kita pakai.
Perahu nelayan naik-turun terbawa ombak. Kamu memuji berulangkali cuilan surga
ini. Kita berjalan mendekati bibir pantai lalu berlari saat ombak
bergulung-gulung mengejar. Kita saling terdiam menikmati suasana matahari yang
kembali ke peraduannya. Berulang kali kamu katakan kepadaku tanpa bosan bahwa
senja itu indah dan menakjubkan. Tuhan begitu hebat melukis alam dengan paduan
corak warna yang cocok. Aku bisa melihat sorot matamu berbinar-binar lalu
matamu terpejam menikmati angin yang hampir menerbangkan tubuh kurusmu.
Matahari pelan-pelan hampir
terbenam di ufuk barat. Kilau keemasan dalam genangan pantai terlihat seperti
matahari tenggelam ke permukaan laut. Hari hampir gelap. Kita bergegas untuk
segera meninggalkan pantai.
Jalanan berkabut senja
mulai dipeluk malam. Setiap sudut perjalanan, terdengar adzan bertalu-talu
menyerukan panggilan Tuhan. Kamu meminggirkan motor dan kita singgah di
rumahNya di waktu Maghrib ini. Damai sekali rasanya bisa beribadah di
sampingmu.
Ketika langit sudah pongah
melihatkan gelapnya, kamu dan aku terdiam begitu lama di perjalanan. Sibuk
dengan pikiran masing-masing atau sibuk menghangatkan badan yang pelan-pelan
dibunuh udara malam yang membekukan.
Lalu tiba-tiba, ada
rombongan di tengah perjalanan. Pelan-pelan kamu kurangi kecepatan motor. Tanpa
bertanya, kita pun tahu apa yang membuat semua kendaraan patuh tidak melaju
kencang. Mungkin saat itu sepasang mata kita tertuju pada titik yang sama,
yaitu keranda mayat. Ya, ternyata ada orang yang akan dikuburkan.
“Ada sesuatu yang kamu
pikirkan?” tanyaku setelah kita melewati rombongan tadi.
“Tentang kematian?” Kamu
balik bertanya. Belum sempat kujawab, kamu sudah mulai berbicara lagi. “Kenapa
banyak orang berdoa mengharap usia yang panjang, padahal tidak jaminan usia
yang panjang akan masuk surga. Malahan, godaan di dunia semakin berat,” ucapmu
kala itu. Aku terdiam, merenungi suaramu yang sengaja kau keraskan agar aku
bisa mendengarnya di tengah hiruk-pikuk jalanan.
“Aku pernah baca,
orang-orang yang mengaku mencintai Tuhan dia tidak sabar untuk bertemu dengan
Tuhannya,” ucapmu lagi.
“Iya memang, dunia ini
hanyalah tempat antrian untuk pulang,” kataku. Lalu kita diam menyibukkan diri
dengan sekelumit pemikiran masing-masing.
Besok paginya, untuk
pertama kalinya kamu mengunggah foto di pantai saat itu tanpa terlihat jelas
wajah kita dengan caption termanis yang sengaja kau bubuhkan di media sosialmu.
Aku masih ingat jelas caption itu: Pokoknya, nanti ‘di sana’ rumah kita
harus tetanggaan.
Doc. pribadi |
Aku mengerti arti dari ‘di
sana’. Ada senyum yang kulukis tipis lalu kukomentari foto itu dengan kata
Amiin. Kucari-cari foto yang sama dengan foto yang kamu unggah lalu kutulis
caption: Sahabat sesurga. Dan kutekan unggah layaknya sebuah
doa yang berhasil terkirim mengangkasa ke langit. Semoga penduduk langit turut mengaminkan.
Salam hangat sehangat senja saat itu,
Sahabat yang selalu merepotkanmu
Salam hangat sehangat senja saat itu,
Sahabat yang selalu merepotkanmu
0 komentar