facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

Ada Azhar Nurun Ala yang dua atau tiga tahun (aku agak lupa) menemani istrinya berjuang untuk mendapatkan keturunan. Istrinya sering menangis sampai dia sebagai suami kehabisan akal bagaimana cara menenangkan. Setelah banyak upaya ditempuh, akhirnya ada anak yang dititipkan Allah. Mereka beri nama Salman. Dia dan istrinya baru menyadari suatu hal. Salman lahir ketika ekonomi rumah tangganya kian membaik. Jika Salman lahir menuruti waktu yang diinginkannya saat itu, maka keadaan akan lebih susah. Karena dia masih dalam kondisi menyelesaikan skripsi dan merintis usaha penerbitan baru setelah menikah. 

Ada bulek Sundarihana (Buleknya Kirana kalau kalian tahu) yang kecewa karena ibunya mengalami penyumbatan di jantung dan harus dioperasi. Tapi dalam keadaan demikian dia masih mengambil hikmahnya. Dia bilang di akun Tumblrnya,  Allah mengatur segala sesuatu secara halus. Ibunya tidak mengalami gejala apa-apa. Penyakitnya diketahui ketika ikut check up suaminya ketika masih belum parah. Allah memilihkan waktu sakit ketika suaminya sedang mengurus pensiun sehingga sudah tidak perlu ke kantor dan biaya operasi masih ditanggung perusahaan. Ketika anak-anaknya sudah besar dan bisa ditinggal. Seakan Allah bilang, ibu waktunya istirahat.

Dan di sini aku  juga menyadari suatu hal. Rasa syukur yang lama tak kutemui tiba-tiba menyusup begitu saja menyadarkan. Bersyukur aku belum menikah sampai saat ini. Andai Allah menikahkan aku tepat setelah lulus kuliah seperti keinginanku, entah jadi apa rumah tanggaku. Perempuan yang masih belum punya cukup pemahaman tentang berumah tangga kala itu.  Perempuan yang belum bisa mengelola emosi dan penerimaan akan segala hal. Meski sekarang juga masih harus banyak belajar.

Makin ke sini sering menjejali isi kepala dengan bukunya Azhar Nurun Ala, Aji Nur Afifah, dan buku pranikah serta self improvement lain jadi sadar pernikahan itu sangat luas sekali persiapan mentalnya. Harus siap menerima, memahami, dan lainnya. Andai aku menikah semuda kala itu apa aku bisa mengalahkan keegoisan diriku sendiri. Belum paham arti pernikahan dan tujuannya apa. Bahkan, memahami pernikahan masih hanya untuk memiliki seseorang yang diinginkan. Belum terpikirkan nanti anak dididik seperti apa atau nanti setelah menikah hal-hal apa yang ingin dicapai. Baru paham itu semua jadi sangat bersyukur Allah masih memberikan kesempatan untuk aku memahami banyak hal ketika masih sendiri seperti ini. Manusia macam aku ini memang seringnya sok tahu dan terburu-buru, padahal perihal waktu hanya Allah yang lebih tahu mana yang pas untuk hamba-Nya.

Sekarang pun di saat sedang menikmati kesendirian melakukan apa saja sesukaku juga jadi berpikir, yakin nih siap nanti hal-hal yang biasa kamu lakukan jadi berkurang karena bertambahnya tanggungjawab? 

Lalu sebagian dari diriku mulai menerima bahwa sekarang Allah masih mendidikku banyak hal. Dan masalah siap atau tidak, Allah yang lebih tahu kapan hamba-Nya ini siap menerima tanggung jawab baru.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ramadhan sudah masuk hari ketiga, tapi rasanya masih hari pertama karena aku baru melaksanakan taraweh malam ini dan puasa besok. Kemarin-kemarin ketika orang rumah sibuk berbuka, berangkat taraweh, sahur, dan melaksanakan rutinitas Ramadhan lainnya, aku merasa hariku masih di bulan-bulan biasanya. Baru malam ini masuk rakaat pertama sholat taraweh di rumah, pikiranku sudah melompat kemana-mana. Ramadhan baru kurasa kehadirannya. Tiba-tiba membayang kalau Ramadhan tahun ini menjadi kesempatan terakhir, atau bahkan malam ini  yang menjadi malam terakhirku. 

Orang rumah masih sholat di masjid, namun aku memilih sholat sendiri di rumah. Selesai sholat perasaanku membuncah ada sesosok teman yang masuk dalam pikiranku. Teman yang tidak akan pernah lagi kutemukan raganya, hanya bisa kukunjungi pusaranya. Dia yang tertidur di mobilnya malam hari perjalanan menuju Bandung lalu keesokan harinya sudah ditemukan tak bernyawa karena kecelakaan tunggal.

Dia tidak pernah mengira Ramadhan tahun kemarin adalah kesempatan terakhirnya. Pikirku, tidak ada yang pernah tahu bisa jadi aku juga begitu. Lalu aku mencari sisa-sisa ingatan, apa yang selama ini sudah kulakukan. Hal yang paling aku takutkan jika ada atau tidak adanya aku di dunia ini tidak memberi pengaruh apa-apa untuk orang lain. 

Ketika suatu waktu kematian masuk dalam pikiranku, yang kuingat adalah teman satu ini. Karena apa? Dia orang yang begitu memberi impact positif untuk orang lain. Kepergiannya membuat banyak orang merasa kehilangan, termasuk aku. Meski kami tidak pernah memilikinya. Apa yang keluar dari ucapannya adalah kebaikan, apa yang dilakukannya adalah bukti kepedulian. Sungguh, aku tidak menemukan kesia-siaan pada apa yang dilakukannya. Raganya yang terkubur, tapi segala kebaikannya masih bersemayam pada ingatan orang-orang.

Kalau kalian juga mengenal dia, pasti apa yang aku tulis ini tidak terlihat berlebihan. Karena memang begitu adanya. 

Sedangkan aku, cuma apa. Manusia yang banyak khilafnya, tapi juga sering melupa untuk memperbaiki diri. Merasa sombong hidup akan lebih lama lagi, padahal jarak hidup dan kematian hanyalah sekedipan mata. Kehidupan dunia tidak akan pernah ada apa-apanya, tapi manusia sepertiku sering lupa hingga mengejar dunia yang sangat fana ini. Sedih jika orang-orang hanya sibuk memberiku ucapan belasungkawa hanya sebagai rasa iba, lalu melupa dengan adanya diriku karena tak pernah ada artinya. Aku takut ragaku ditanam, lalu namaku terbenam tak pernah ada yang mengingat.

Ternyata begini rasanya merindukan seseorang tapi tidak bisa menemuinya. Di antara kami ada batas dimensi dunia yang berbeda. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan kehidupan barunya. Jika dulu rindu hanya sedekat jempol dan tanda call. Sekarang hanya sepenggal doa yang mampu menembus dunia yang tak kasat mata.

Dia hidupnya menginspirasi, lalu pergi meninggalkan banyak arti. Ternyata kita hidup tergantung ingin dikenang seperti apa.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Di sebelah seorang ibu yang memiliki tujuh anak, tenggorokanku tercekat melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tidak bisa menerka apa yang sedang dirasakannya. Anak dan suaminya masih utuh. Anak-anaknya bisa sekolah karena beasiswa, bahkan ada yang sudah menghafal Al-Quran. Kepada kami beliau bercerita, rumah yang ditinggalinya adalah warisan. Merasa bersyukur bisa mendidik banyak anak di dalam rumah yang bisa dikatakan cukup luas.

Kudapati matanya membasah setelah aku bertanya tentang anaknya. Pertanyaan selanjutnya di kepalaku hanya menggantung tak bisa kulontarkan. Aku membiarkan beliau menyelesaikan perasaannya sebelum kuat untuk bicara lagi. Suasana hening, tapi aku paham semua mata di ruangan ini sibuk mengartikan apa yang dilihatnya. Pikiran kami riuh tentang ibu yang ada di sampingku. 

Setelah beliau terlihat berhasil menenangkan dirinya sendiri, beliau mengucapkan sesuatu, "Kalau punya anak yang dekat dengan Al-Quran itu tenang rasanya." 

Dari situ aku paham, mungkin ada kerinduan yang tertahan dengan anak-anaknya di ujung sana yang masih harus menyelesaikan kewajiban di pesantren. Dari beliau aku tahu penghasilannya dan suami tidak seberapa untuk bisa menghidupi keluarga. Tapi yang kulihat, ada syukur yang membentang pada beliau. Dan seakan kulihat hal-hal berbau duniawi tak ingin digenggamnya. 

Di sudut yang lain, ada perempuan kuat yang sembunyi di balik tertawanya. Suami baginya hanyalah sebutan untuk laki-laki yang pernah menikahinya, bukan yang bertugas menafkahi. Karena untuknya, mencari nafkah adalah tugasnya sendiri. Bahunya cukup kuat atau sengaja dikuat-kuatkan untuk menanggung dua anak dan ibu yang tinggal bersamanya. Beruntung, anak perempuannya baru lulus sekolah lalu bekerja membantu mengepulkan dapurnya. 

Meski beliau terlihat tertawa berbicara dengan kami,  tapi dari cerita-ceritanya aku tahu hatinya tidak sedang baik-baik saja. Ada kecewa yang terpaksa harus ditelan. Hanya saja beliau mengalihkan untuk lebih mensyukuri apa yang masih ada. 

Ada perempuan-perempuan yang hatinya lebih sunyi karena kehilangan suaminya. Membesarkan sendiri anak-anaknya. Berjuang melanjutkan kehidupan tanpa ada peran laki-laki. Berat memang, tapi hidup memang kadang seperti itu memposisikan kita tidak bisa memilih.

***

Mereka adalah perempuan yang aku temui tadi siang. Jauh-jauh hari ramai memperbincangkan aksi untuk Ramadhan dengan teman-teman relawan. Datang juga hari yang dinanti-nanti. Hari ini merupakan hari pertama penyaluran bingkisan untuk keluarga kurang mampu yang membuat riweh sana sini. Terbayar setelah bertemu dengan para perempuan hebat di istananya yang megah dengan rasa syukur. 

Sebenarnya aksi yang kami laksanakan diperuntukkan untuk janda dan keluarga tidak mampu. Kebetulan yang disengaja Tuhan hari ini semua penerima bingkisan yang kita temui adalah para perempuan. Kami ngobrol sebentar untuk bertanya tentang keseharian dan upaya mencukupi kebutuhan di tengah pandemi ini. 

Ada yang suaminya masih sehat bugar, sudah meninggal, atau masih ada tapi tak nampak perannya. Aku melihat dari sorot mata mereka ada rasa mendalam yang menjelma dengan berbagai rupa. Dari mereka aku paham setiap manusia mempunyai jatah ujian dan nikmatnya masing-masing. Dan perempuan harus kuat dengan atau tanpa laki-laki.

*) Sengaja tidak mengunggah foto mereka untuk menjaga privasi.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Source: Google


Ketika itu aku melihat postingan status whatsapp seorang teman yang berdomisili di Kota Maros, sebelah kota besar Makassar. Ada hal berbeda pada apa yang diunggahnya. Baru kali itu dia mengunggah video seorang anak yang mengidap penyakit hedrosefalus sehingga menyebabkan kepalanya membesar melebihi badannya karena terlalu banyak cairan. Alif, nama balita yang masih berusia 6 bulanan pada tahun 2016 lalu. Pada status whatsapp tersebut juga dibubuhi keterangan pembukaan donasi karena Alif lahir dari keluarga yang kurang mampu untuk menjalani operasi penyedotan cairan di kepalanya.

Hati siapa yang tidak tergerak untuk menanyakan keadaannya. Aku mengirimkan pertanyaan pada status itu. Apa hubungan dia dengan Alif dan apa yang terjadi sampai bayi mungil itu harus dirawat oleh keluarga temanku. Ternyata Alif masih terhitung saudaranya dan ibu Alif memiliki beberapa anak yang masih terhitung belia untuk diurus. Sehingga untuk sementara Alif dititipkan di keluarga temanku.

Sejauh yang kuingat ketika itu bertepatan dengan awal bulan, dimana waktu yang dinantikan mahasiswa perantauan untuk mempertebal kantongnya. Seperti biasa transferan uang bulanan sudah masuk ke rekening. Uang yang terbilang cukup untuk sebulan ke depan jika tidak kuhambur-hamburkan. Kupikir-pikir, selama ini uang bulanan selalu habis hanya untuk memuaskan perut dan mataku. Beruntungnya aku tidak kuliah di jurusan yang terlalu banyak praktikum atau apapun itu yang bisa mengurangi uang jajan. Aku bisa tidur nyenyak makan cukup bahkan sampai kekenyangan di kosan. Masih bisa ke sana sini beli barang hanya untuk menyenangkan mata. Namun di seberang sana, ada anak yang lebih berhak untuk kubantu demi keberlangsungan hidupnya.

Untuk kali pertamanya keegoisanku runtuh, entah malaikat apa yang berhasil memenangkan perlombaan dengan setan untuk membisiki. Aku meminta nomor rekening temanku dan transfer uang segera. Aku percaya temanku ini amanah, karena mengenalnya cukup lama dan baik. Jumlahnya tidak cukup banyak untuk bisa meringankan beban Alif, tetapi nominalnya terbilang nekat untuk sekelas anak perantauan yang belum mampu mengisi kantongnya sendiri. Pikirku, Alif sangat membutuhkan uang itu daripada aku. Hari-hari sebulan ke depan aku jalani dengan berhemat, karena bagaimana pun juga pasti ada kebutuhan mendadak untuk tugas kuliah. Hal yang membuatku heran adalah nominal uangku berkurang, akan tetapi tidak ada perasaan kurang pada diriku. Rasanya cukup dan ada rasa senang tersendiri entah karena apa.

Tahun 2016 kala itu masa dimana aku sedang aktif-aktifnya di komunitas menulis online dan mengikuti event menulis di beberapa website. Sampai aku banyak mengoleksi buku, merchandise, dan hadiah bentuk lain dari event menulis. Bulan itu ada lomba surat terbuka yang diadakan oleh platform semacam blog bernama inspirasi.co yang didirikan oleh Fadh Pahdepie. Aku termasuk orang yang aktif menulis di sana. Ada tulisan yang menganggur di laptop. Pada saat itu aku masih bingung tulisan itu akan dilanjutkan seperti apa dan akan diposting dimana. Tulisan yang berisi keresahan mahasiswa keguruan terhadap pergaulan anak-anak zaman sekarang yang terlampau cepat dewasa dibanding usianya. Adanya lomba tersebut kuotak-atik tulisannya menjadi semacam surat dari aku untuk para orangtua. Selesai kukirim tidak terlalu berharap untuk menang. Aku amat menyadari penulis-penulis di sana mayoritas orang yang sudah berpengalaman seperti halnya temanku seorang jurnalis di media online Malaysia. Dia beberapa kali memenangkan lomba menulis di negara perantauannya dan pernah mendapatkan penghargaan. Tentu kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Tanpa berpikir panjang kukirim dua surat sekaligus untuk menghabiskan jatah gagal.

Temanku yang juga ikut lomba ini mengabari bahwa tulisannya dimuat. Aku tidak terlalu kaget, karena tulisannya sudah terbiasa meramaikan media massa. Beberapa hari kemudian aku dikagetkan e-mail masuk dari redaksi inspirasi.co yang menginformasikan tulisanku dimuat dan mendapat hadiah uang yang nominalnya lumayan. Lebih mengejutkan lagi dua tulisanku dimuat. Dari banyaknya orang yang ikut hanya diambil lima surat yang terpilih. Tidak kusangka aku menjadi salah satunya. Lama kupandangi e-mail yang dikirim redaksi. Semacam ada perasaan tidak percaya pada diriku. Aku menyadari tulisanku dimuat bukan hanya karena kemampuanku, tapi atas campur tangan izin-Nya. 

Kuingat rentetan kejadian bulan ini, bagaimana aku tahu tentang Alif, aku yang tiba-tiba memberikan uang begitu saja seperti terhipnotis, lalu sekarang aku mendapat ganti yang nominalnya jauh lebih banyak. Pikirku, Allah sedang menitipkan rezeki Alif melalui aku. Bayi yang sedang berjuang untuk hari-harinya itu lebih membutuhkan daripada aku. Akhirnya, aku memutuskan sebagian hadiah uang yang sudah ditransfer redaksi kukirim untuk Alif. Temanku juga rutin mengabarkan tentang kondisi Alif dan kelanjutan operasi yang masih harus berlanjut beberapa kali.

Aku merasa ketika kita berbagi kepada orang lain, tidak ada apapun yang hilang dari diri kita. Seperti janji-Nya, Allah akan membalas berkali-kali lipat setiap kebaikan yang kita lakukan. Hal yang perlu kita tahu, kebaikan berbagi tidak hanya dibalas berbentuk materi oleh Allah, tetapi bisa sebentuk rasa tenang dan syukur yang mendiami hati kita. Berbagi juga bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban dengan menunggu momen membayar zakat. Kapan pun itu ketika ada orang yang membutuhkan uluran, ringankan tangan kita untuk membantunya.

Ada banyak ladang sedekah yang bisa kita manfaatkan untuk menanam benih kebaikan, menumbuhkan kebahagiaan, dan dipanen berbentuk pahala. Di era secanggih ini menebar kebaikan sudah bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Lembaga amil zakat, infaq, dan sedekah sekarang mempunyai banyak program kreatif untuk masyarakat. Jika sibuk dan tak sempat untuk menyalurkan langsung bantuan, melalui gadget yang kita punya dengan beberapa klik kita sudah bisa menjadi donatur. Menyalurkan bantuan kita kepada lembaga tentu lebih terorganisir dan tersalurkan dengan baik, salah satunya bisa melalui lembaga Dompet Dhuafa. Bisa klik di sini

*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa




Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose