Tentang Selembar Kain
Tahu
Ustadz Hanan Attaki, nggak? Ustadz gaul dan kece yang mengemas dakwah menjadi
kekinian. Sehingga banyak anak muda Bandung yang berhasil dirangkulnya dengan
mendirikan gerakan Pemuda Hijrah.
Sehari
lalu saat mendengarkan kajian Ustadz Hanan, beliau bilang seperti ini, “Saya memang mengambil mahzab bahwa bercadar
itu sunah, istri saya pun tidak bercadar. Namun saya amat respect terhadap
orang yang bercadar. Begitu juga saya mengambil mahzab bahwa celana tidak isbal
itu bukan dari segi pakaian, tapi dari segi perilaku. Dimana kita tidak
diperbolehkan menyombongkan diri dengan pakaian yang kita kenakan. Tapi saya
sangat respect dengan orang-orang yang bercelana tidak isbal.”
Seketika
itu juga aku mengapresiasi apa yang beliau katakan. Jika kebanyakan umat muslim
mempunyai pemikiran seperti itu. Mereka bisa menerima perbedaan pendapat
tentang umat muslim lain. Tidak merasa pendapatnya paling benar dan menghujat
umat muslim yang berbeda dengannya. Bukankah damai rasanya? Aku sedang tidak
membahas hukum cadar atau fiqih lainnya. Hanya mengungkapkan unek-unek
akhir-akhir ini.
Pernyataan
Ustadz Hanan membuatku teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah
perantauan dan sudah berstatus sebagai mahasiswa baru. Banyak teman yang bilang
hati-hati dengan UKM keagaamaan Islam di kampus. Bisa jadi mereka mengajarkan
ajaran yang tidak baik dan aneh-aneh. Karena saking hati-hatinya, sama sekali
aku tak menyentuh UKM keagamaan. Seakan aku berlari sejauh-jauhnya dari mereka
karena takut ‘dipengaruhi’ oleh golongan atau organisasi yang tidak jelas. Seperti
banyak kasus yang sudah terjadi di kebanyakan kampus lainnya.
Selama
dua tahun lalu aku hidup dalam pergaulan yang tidak religius, aku sering berada
dalam lingkaran orang-orang yang menghujat para perempuan berjilbab lebar dan
bercadar serta laki-laki berjenggot dan bercelana cingkrang. Bahkan, cara
bersedekap shalat seseorang yang berbeda dari pada umumnya pun dinilai sesuatu
ajaran yang salah. Karena pemikiranku sering mengonsumsi pemikiran-pemikiran
yang mudah menyalahkan banyak orang, aku menjadi menutup diri dengan mereka
yang penampilannya seperti yang aku sebutkan di atas. Apalagi kebanyakan
organisasi ‘tidak jelas’ beranggotakan para perempuan berjilbab lebar dan
laki-laki berjenggot. Aku merasa sangat berbeda dengan mereka, sehingga harus
sejauh-jauhnya memberi benteng perbatasan agar tidak bergaul dengan orang-orang
seperti itu. Dari segi pakaian, mereka dinilai orang yang fanatik dan
berlebihan dalam beragama. Begitulah, kalimat yang sering mampir di obrolanku
dulu.
Aku sering
berdoa, “Dekatkanlah aku dengan
orang-orang yang Soleh dan Solehah. Dan jauhkanlah aku dari orang-orang yang
membawaku jauh dari jalan-Mu.”
Semakin
ke sini kurasakan aku semakin dekat dengan orang-orang yang berjilbab lebar. Entah,
sekarang dalam jangkauanku, begitu mudah sekali melihat laki-laki yang
berjenggot. Dan ada saja teman yang mengajak ke kajian orang-orang salaf yang
notabene-nya 99% dari mereka bercadar. Sempat aku berpikir, aku berada di
tengah-tengah orang yang pernah kujauhi. Dan aku tidak menyangka itu terjadi. Bahkan,
bulan puasa kemarin hampir setiap sore tanpa terencana aku mau duduk di Masjid
untuk mengikuti kajian UKM Dakwah Kampus yang selama ini kujauhi. Aku merasa
ketagihan berdekatan dengan mereka. Karena aku merasa aman
mengenakan pakaian yang kupilih saat ini dan merasa lebih semangat lagi untuk
memperbaiki diri.
Aku merasa
berdosa sekali rasanya pernah ikut-ikutan menghujat dan mencaci mereka. Berada
di lingkaran mereka, aku tidak menemui sesuatu yang salah. Meskipun ada
beberapa hal pada ajaran mereka berbeda dengan diriku dan pendapat ulama
lainnya, tapi itu bukan sebuah alasan untuk mem-black list mereka dari pergaulanku.
Saat berada
di titik terendah pada hijrahku, baru aku sadar. Gini ya rasanya dihujat orang. Sakit!Perih!Nyesek! Dan sederetan perasaan
tak enak lainnya. Kurasa ini cara Allah memperingatkanku bahwa apa yang
kulakukan dulu salah. Dan rasanya wajar jika aku harus merasakan apa yang
mereka rasakan saat itu untuk menebus dosa-dosa pada waktu itu.
Aku ingin,
apa pun kita, bagaimana pun pendapat yang kita yakini, pada dasarnya kita itu
satu yaitu umat muslim. Para umat Nabi Muhammad. Kalau dengan orang beragama
non muslim saja kita bisa toleran, kenapa dengan saudara seiman sendiri tidak. Bukankah
mayoritas agama di Indonesia itu Islam, lantas kenapa malah orang Islam seakan
mempunyai ruang gerak yang sempit? (Kalimat unek-unek akhir-akhir ini. Tapi aku
sadar, aku nggak pantes bilang seperti ini! Sungguh! Orang yang dulu pernah
menghujat rasanya terlalu sok baik untuk bilang seperti ini)
Kadang aku
malu sendiri saat menyadari, oh ini ternyata orang yang pernah aku hujat dulu. Betapa
hatiku sejuk sekali melihat kain panjang mereka menjuntai, setiap tutur kata
yang keluar adalah berkah dan sama sekali tak ada kata kasar atau bully-an yang
mereka berikan. Masya Allah, aku merutuki diri sendiri. Betapa sombongnya aku dulu.
Merasa paling benar dengan pendapat sendiri tanpa pernah ingin melek dengan pendapat
lainnya. Hingga berujung aku menjadi orang yang tumpul tanpa pernah ingin
belajar karena merasa sudah benar dan pintar. Aku merasa kerdil di
tengah-tengah mereka. Jauh sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka
calon bidadari surga yang mempunyai suara halus dan tidak bernada tinggi dalam
berbicara.
Semenjak
saat itu aku tidak lagi ingin membenci suatu golongan sebelum aku membersamai
mereka. Sebelum aku duduk dan berbincang serta belajar sedikit saja tentang
ajaran mereka. Aku menyesal. Sungguh, menyesal sekali. Kenapa tidak dari awal
aku menenggelamkan diri di kegiataan keagamaan kampus. Seandainya saja ini dan
itu. Ah, lagi-lagi percuma berandai-andai. Waktu tidak akan bisa diulang lagi. Dan
berandai-andai pun bagian dari setan dan Allah tidak menyukai. Betapa bodohnya
aku saat itu. kenapa otakku tidak berpikir jernih. Bukankah UKM Dakwah Islam di
kampusku itu berada di naungan kampus dan di bawah pengawasan rektor? Tentu mereka
bukan organisasi yang salah.
Aku merutuki
kebodohanku. Setelah setahun terakhir kuliah baru menyadari. Aku tidak pernah
memperdebatkan kenapa kamu tidak berhijab syar’i, lantas untuk apa membuang
waktumu untuk mengurusi selembar kain yang kini aku pilih menjadi bagian dari
hari-hariku. Jangan menjadi sepertiku yang menyesal karena sisa usiaku banyak kugunakan
untuk menilai orang lain sampai lupa bahwa aku belum punya apa-apa jika
Malaikat Izrail datang pertanda waktuku sudah habis di rumah kontrakan di dunia
ini. Aku belum mempunyai bekal untuk bisa menjawab pertanyaan Munkar Nakir.
Aku
tidak mengatakan berada di lingkungan baruku adalah jaminan surga. Tidak. Surgaku
dan mereka atau bahkan kamu hanya Allah yang menentukan. Bukan aku memaksa
untukmu sepaham denganku. Hanya saja, aku ingin kita saling menghargai dan
saling menerima satu sama lain. Tak perlu memandang satu sama lain dengan
sebelah mata. Cukup pandang aku ini sahabat semuslimmu yang masih pantas untuk
kamu jadikan teman. Bagaimana pun pakaian kita, itu pilihan kita masing-masing.
Aku hanya
bisa ber-husnudzon saja dengan Allah. Pasti
ada alasan dari semua ini.
2 komentar
Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilannya saja, kan Mbak Anik? :)
BalasHapusAku setuju dengan kalimat: bagaimanapun pakaian kita, itu pilhan kita masing-masing
Iya bener mbak. Kesimpulannya gtu hehee
Hapus