(CERPEN) Hamba Lupa Meminta
Perempuan
itu tak menggubris ucapan suaminya. Dia masih sedu sedan. Meski setiap malam Rana berusaha
menyembunyikan isak tangis, Tomy tetap tahu. Ada sepotong hati yang terasa
nyeri juga disembunyikan oleh Tomy. Meski terlihat pipinya mengering tanpa ada
bekas tangis, bagaimana pun hatinya sama sakitnya dengan istrinya. Laki-laki
memang seperti itu. Selalu berusaha lebih tegar dari perempuan meski hatinya
rapuh.
“Tidak
patut kalau kita berlarut-larut merasa kehilangan padahal ini semua hanya
titipan.”
Tanpa
menjawab, perempuan itu beranjak dari pembaringannya. Sekilas pun tak ada temu
pandang dengan suaminya. Malam ini dia memilih tidur di kamar sebelah.
Meringkuk menikmati kesedihannya seorang diri. Dia tahu kenapa suaminya bisa
berkata seperti itu. Seorang laki-laki tidak merasakan sembilan bulan
mengandung. Membawa kemana-mana buah hatinya. Segala hal telah dilakukan berdua
dengan janin pertamanya. Bagaimana rasanya perut diaduk-aduk saat makanan
memenuhi perutnya. Meski lelah mondar-mandir dari kamar ke kamar mandi untuk
membuang isi perut yang memberontak, semua terasa nikmat. Tidak ada keberatan
untuk seorang anak yang dinantinya.
Seorang
suami juga tidak merasakan bagaimana sakitnya saat janin mulai bergerak-gerak
pada bulan tua masa kehamilan. Apalagi saat ketuban sudah pecah, nyaris rasanya
semua sakit berkumpul menjadi satu pada tubuh perempuan itu. Peluh membanjiri
dahi saat mengejan melahirkan. Semua tidak ada apa-apanya dibandingkan
kegembiraan mendengar buah hati yang menangis untuk pertama kalinya. Rasa
sakit yang mendera itu bukanlah rasa sakit yang sebenarnya, tapi sebuah
dorongan dari batin untuk berjuang lebih keras lagi. Semakin terasa sakit,
perempuan itu yakin waktu bertemu dengan anaknya akan semakin dekat.
Suara
jeritan tangis bayinya menyeruakkan bahagia yang tiada tara saat itu. Hari yang
dinantinya berbulan-bulan telah tiba. Dia
menangis haru saat melihat bola mata anaknya yang menghitam. Rambut lebat
seperti miliknya dan alis tebal seperti suaminya. Sungguh, sakit yang tadinya
menghujamnya keras-keras sekarang tak tersisa lagi. Dan terbayar sudah dengan
kelahiran anak pertamanya.
Dia
masih ingat, betapa halus kulit anaknya. Tulang-tulangnya yang masih muda dan
lunak. Tangannya menggenggam kuat dan matanya yang belum bisa terbuka sempurna.
Setiap lekuk tubuh anaknya terlihat sangat elok dipandang mata. Bayi perempuan
yang dipangkunya itu tak henti-henti dia pandangi. Perempuan itu terus mengajak
bicara meski hanya tangis yang terbalas dari bayinya.
Meski seminggu
pertama dia habiskan dengan menggendong bayinya yang sempat rewel, perempuan
itu begitu menikmati masa-masa awalnya menjadi seorang ibu. Dia yang begitu
semangat meminum obat dan makan sayuran agar bisa memberikan susuan terbaik
untuk anaknya. Rana begitu riang memanggil nama Hanna anaknya setiap kali
memandikan.
Tomy
hanya diam melihat istrinya menjauh. Dia amat memahami bagaimana perasaan
perempuan yang kehilangan anak yang selama ini bersemayam dalam rahimnya.
Laki-laki itu menyadari, dia bukan orang yang pandai menjadi pelipur lara
seorang perempuan. Padahal sebenarnya dia sendiri membutuhkan obat dari rasa
sakitnya kehilangan. Memang seminggu ini
setelah anaknya pergi, tidak ada air yang membasahi pipinya. Tapi gerimis tipis
telah jatuh membasahi hatinya.
***
Tidak
ada nasi dan suguhan kopi pahit di meja makan. Hanya segelas air putih yang
berhasil dia dapati di dalam lemari es. Hampir seminggu dia harus berusaha
sendiri mendapatkan makanan untuk perutnya yang memberontak minta diisi. Rana,
istrinya terlalu sibuk mengobati rasa sakitnya sendiri sampai lupa untuk
mengurusi dirinya. Hari-hari Tomy menjadi berantakan karena harus mengurus rumah dan pekerjaannya.
Setelah
senja kedelapan yang tak pernah absen mengeja waktu sore, dia hafal dimana
istrinya menghabiskan waktu menjelang petang seperti saat ini. Perempuan itu
duduk di kursi samping ranjang bayi yang kosong tanpa penghuni. Seperti yang
dia lakukan saat ranjang itu masih ada suara tangisan bayi.
Laki-laki
itu membuang napas dengan kasar. Kali ini dia merasa menyerah menghadapi
istrinya. Tapi tak pernah tahu apa yang harus dilakukan. Berulang kali dia
mengajak istrinya keluar untuk melupakan kesedihan, namun selalu ditolak. Rana
lebih memilih diam melihat barang-barang kenangan bayi di kamarnya. Bukankah
itu sama saja menabur garam pada luka hati, semakin perih rasanya.
Malam
kali ini rumah mereka lengang tanpa percakapan. Dua manusia itu sibuk mengeja
kesedihan masing-masing. Tomy teringat, ada hal yang beberapa hari ini
ditinggalkannya. Padahal sebelum kelahiran anaknya, dia dan Rana begitu rajin
memuja Sang Pencipta di sepertiga malam. Dia terlalu larut dalam kesedihan
hingga lupa pada Sang Pemberi obat penenang hati.
“Ra.”
Tomy duduk di pinggiran ranjang belakang kursi tempat Rana duduk.
Rana
tetap diam. Perempuan itu sudah hafal. Setiap malam suaminya akan memberikan
serentetan nasehat tentang kehilangannya. Karena terlalu sering, hati Rana
sudah kebal dengan nasehat itu. Tak ada satu pun ucapan Tomy yang berhasil
menembus kesadarannya.
“Sudah
lama kita tidak melakukan tahajud berdua,” ucapnya pelan-pelan. Tomy berusaha
menata kalimatnya serapi mungkin.
“Belum
terlalu lama. Masih dua mingguan,” ucap Rana dingin.
“Bukankah
dulu hampir sembilan bulan penuh kita lalui dengan tahajud untuk mendoakan anak
kita?”
Rana
diam, begitu juga Tomy.
“Kutunggu
di sepertiga malam nanti, Ra.” Tomy melenggang pergi meninggalkan Rana dengan
kesedihannya.
Setelah
menutup pintu, Rana melihat punggung Tomy telah menghilang. Dia merasa kali ini
sikap Tomy yang menjadi dingin. Ada rasa bersalah yang
menghantui pada dirinya. Laki-laki yang selama ini begitu sabar menghadapi
keras hatinya kini terlihat putus asa. Tak ada nasehat yang diberikan lagi untuknya.
Sungguh, diamnya seseorang yang dia cintai itu lebih terasa sakit dibandingkan
jika suaminya memarahi sehari semalaman. Itu berarti sudah tidak ada lagi rasa
peduli yang Tomy berikan.
Rana
menyadari, setelah kepulangan dari pemakaman anaknya, dirinya sudah hampir
melupakan keberadaan suaminya. Dia tidak lagi menjadi istri seutuhnya, karena
hampir semua tugas-tugasnya tak tersentuh. Tak ada lagi masakan tersaji setiap
pagi dan kegiatan bersih-bersih rumah seperti biasanya. Dan Tomy menerima
semuanya. Meski dia tahu pasti ada perasaan bergejolak yang memporak-porandakan
hati suaminya. Tomy telah kehilangan anaknya juga sebagian perhatian istrinya.
Rana
menangis lagi mengingat begitu mudahnya Hanna
pergi. Anaknya tidak sakit karena gangguan
pernapasan, kanker, atau semacam penyakit yang mematikan. Hanna hanya demam
tinggi lalu pergi begitu saja dengan tenangnya. Memang sudah hal yang pasti. Setiap
yang bernyawa adalah milik Allah dan kepada-Nya lah tempat kembali.
Malam kali
ini Rana tidur lebih cepat. Tidak seperti biasanya yang dihabiskan berjaga
hanya dengan berdiam diri meringkuk di ranjang kamarnya.
***
Rana memenuhi
ajakan Tomy. Dia bangun saat jarum jam pendek dan panjang bersamaan menyentuh
angka tiga. Dengan masih menahan kantuk, dibasuhnya wajah oval itu dengan air
wudhu yang dingin menyejukkan.
Tanpa ada
kata, Rana dan Tomy bertahajud bersama. Mereka sibuk dengan doa masing-masing. Sesekali
Tomy mendengar isakan Rana yang tertahan namun akhirnya meluap. Dia membiarkan
Rana menikmati kesedihan agar perempuan itu menghabiskan tangisnya. Membuang
segala beban hati yang menyesakkan. Dia tak lagi melarang istrinya untuk
menangis jika memang itu yang menjadi obat rasa kehilangan serta kerinduan.
Meski tetap
saja tak ada tangis yang membasahi mata Tomy, tapi hatinya basah dengan
kesedihan. Tanpa pernah berkata, sebenarnya hati Tomy perih melihat istrinya
berdiam diri bergelung dengan kesedihan. Hatinya sama sakitnya dengan Rana,
meski dia tidak pernah menunjukkan. Seorang laki-laki memang pandai menggunakan
logika. Tomy tahu bagaimana jika dia bersedih lalu mogok untuk bekerja dan mengurus
rumah tangga. Bukankah nanti keadaan rumah tangganya semakin rumit.
Setelah
isak Rana terdengar mereda beberapa saat, Tomy menghadap ke belakang. Mencari wajah
Rana yang lama tak diamatinya sedekat ini. Terlihat wajah Rana memerah dengan
bekas air mata yang masih membasah.
“Ra, kamu
senang mempunyai anak yang lucu dan menggemaskan seperti Hanna?” Pelan-pelan
Tomy mengucapkan kalimatnya.
“Tidak
perlu bertanya pun Mas Tomy sudah tahu jawabannya.” Rana sibuk mengusap sisa
air matanya.
“Ra, kamu
ingat? Kita pernah bersama-sama memanjatkan doa agar diberi anak yang sehat dan
pintar. Kamu pernah bilang ingin mempunyai anak yang cantik dan tampan serta
bisa membawa orangtuanya ke surga. Aku yakin kamu masih mengingatnya. Karena doa
itulah yang selalu kamu ulang-ulang setiap malam. Kamu tak pernah bosan mengatakan
itu kepadaku.” Rana bergeming dalam duduknya.
Pandangan
Rana mengarah pada sepasang mata Tomy. Dia tak mengerti apa yang akan
dibicarakan suaminya. Nasehat macam apalagi yang akan diberikan laki-laki
beralis tebal itu.
Tanpa
menunggu Rana menjawab, Tomy melanjutkan kalimatnya. “Apakah Allah sudah
mengabulkannya?”
Rana
diam. Dia terlihat berpikir sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Tomy mencuri
napas sejenak, lalu berbicara lagi. “Hanna terlahir sangat cantik sepertimu. Dia
sehat tak kekurangan suatu apa pun pada fisiknya. Dan dia juga pintar. Selalu
diam mendengarkanmu bersholawat setiap kamu ingin menidurkannya di malam-malam
saat dia terjaga. Bahkan kamu ingat, dia hampir tidak pernah rewel pada saat
waktu salat. Dia bukan anak yang merepotkan.”
Tangis
Rana pecah. Ucapan Tomy membuat Rana memutar kembali kenangan seminggu bersama
anaknya. Hatinya semakin perih tercabik-cabik. Dia tidak mengerti kenapa
suaminya tiba-tiba mencoba mengingatkan kembali dirinya pada kenangan itu.
“Tapi
kamu lupa sesuatu, Ra.” Rana menunduk dan diam lemah di atas sajadahnya.
“Ra,
lihat mataku!” Tomy menggenggam jemari istrinya. Dengan patuh Rana menatap
sorot mata suaminya yang sudah basah dengan air mata. Untuk kali pertamanya,
Tomy menangis. Dan itu yang membuat mata Rana semakin memanas.
“Bukan
hanya kamu, tapi juga aku. Kita lupa sesuatu.” Suara Tomy bergetar dan
terbata-bata. Rana tetap memandang mata suaminya dan meremas genggaman tangan
laki-laki itu kuat-kuat.
“Kita
lupa meminta kepada Allah agar bisa mendidiknya sampai dewasa.” Isakan tangis
mereka beradu di kesunyian sepertiga malam ini.
“Tapi
Allah mengabulkan doa kita, Ra. Allah memanggilnya pulang dalam keadaan suci
dan belum berdosa agar kelak dia menunggu kita di surga. Cukup doakan dia, Ra. Anak
itu hanya titipan. Kamu harus kuat agar Allah mempercayai kita untuk menjaga
dan mendidik titipan-Nya lagi.”
“Maafkan aku, Mas.”
Hati Rana
luluh dan hanya itu yang mampu dari mulutnya untuk menebus rasa bersalahnya
seminggu ini.
*Based On True Story
*Based On True Story
14 komentar
Nice story!Ini cerita nyata saya, Mbak...Anak pertama meninggal. Saya dan suami saling menguatkan hingga bisa melaluinya:)
BalasHapusAlhamdulillah ya Mbak. Dukungan dari suami memang penting :)
HapusBaca inii...aku ingat novel Rindu, Deeekk.
BalasHapusPediihh sekaliii. Kamu makin keren, Deeekk!!
Hikkss :(
Hapusmenjadi reminder yang cantik. Peluk erat wanita hebat dan kuat :)
BalasHapusSemua wanita hebat dan kuat :)
HapusIni cerita saya juga neh, cuman waktu itu aku belum bisa memeluknya. Masih di rahim aku dan sudah kehilangannya.
BalasHapusKelak anaknya nunggu Mbak dan suami di surga. Aamiin :)
HapusAku terharu... salam kenal Mbak :)
BalasHapusHikss.
HapusSalam kenal juga ya mbak :)
Tentang kehilangan, ketabahan, dan kebersyukuran. Saya berempati.
BalasHapusIyaa, banyak pelajaran di dalamnya :)
HapusSaya baper jadinya.. Masyaallah..
BalasHapusPuk puk kak :D
Hapus