(CERPEN) Penggenggam Rahasia
fadelisme.files.wordpress.com |
Setiap
langit sudah lama memperlihatkan gelapnya, aku mendengar suara orang menangis.
Tidak terlalu keras, hanya isakan yang sengaja dipelankan. Lama sekali suara
itu menangis. Kudengar dia juga sedang berbicara terbata-bata, entah berbicara
dengan siapa. Setahuku kamar yang berada di pojok itu hanya dihuni oleh seorang
gadis. Hanya pemilik kamar itulah yang sering bersuara di malam hari menjelang
pagi. Kamar lainnya senyap yang terdengar hanya dengkuran pemiliknya.
Pertama
kali mendengarnya, kukira ada seorang kawannya yang sedang menginap. Tapi mana
mungkin kawannya bisa menginap setiap hari di kamar kosan itu. Mengingat
peraturan dari pemilik kos tidak boleh membawa teman menginap lebih dari tiga
hari, kecuali jika kawan itu mau membayar separo harga kamar. Begitulah,
percakapan tentang peraturan kos yang pernah kudengar dari beberapa anak di
sini.
Aku
sudah lama hidup diam-diam di rumah kosan besar ini. Bahkan, aku sudah hafal
nama-nama pemilik setiap kamar. Tanpa mereka ketahui, aku sering menguping
obrolan mereka. Entah itu berbicara tentang laki-laki, keluarga, teman, kuliah,
bahkan urusan keuangan. Sedikit-sedikit aku mencuri ilmu dari mereka. Saat ada
orang mengobrolkan film terbaru, aku jadi tahu. Aku pun juga tahu drama korea
apa yang baru mereka tonton. Merk sepatu apa yang baru mereka beli, baju warna
apa yang mereka inginkan, bahkan siapa nama laki-laki yang sedang dekat dengan
salah satu dari mereka.
Aku tinggal
di sini tidak sendiri, bersama keluarga dan teman-temanku. Tapi mereka tidak
pernah peduli dengan kehidupan anak di kos ini. Kurasa hanya aku yang terlalu
kelewat peduli dengan urusan setiap orang di sini.
Anak kos tak pernah tahu saat aku diam di selipan bak dekat besi jemuran depan kamar mereka.
Saat tak ada orang aku berpindah di balik barang satu ke barang lainnya agar
tidak ketahuan. Jika mereka tahu keberadaanku dan teman-temanku, pasti mereka
akan berteriak ketakutan melihat kami. Padahal sekali pun aku dan teman-teman
tidak berani mendekat atau bahkan menggigit mereka. Tugas kami hanya mencari
makan atau mencuri makanan yang lupa mereka tutup di dapur.
Sebenarnya
bentuk tubuhku itu menggelikan, tapi karena warnaku hitam dan terbiasa hidup di
tempat kotor, mereka memandang aku dengan jijik. Aku memaklumi itu. Apalagi aku
suka membuang kotoran sembarangan dan memakan apa saja yang bisa kukerat dengan
gigi, termasuk salah satu sabun mereka yang kugigit lalu kutinggalkan
sembarangan.
Pemilik
kamar yang hampir setiap malam selalu menangis itu adalah orang yang selalu
kudengar tawa renyahnya setiap pagi. Dia yang terdengar paling riang
melontarkan guyonan-guyonan sampai temannya gemas melihat dirinya. Itulah yang
membuatku bertanya-tanya, mana mungkin orang yang terlihat baik-baik saja itu
menangis di setiap malam.
Aku
ingin melihatnya saat menangis, namun sayangnya jendela dan pintu kamarnya
terkunci setiap malam. Hari ini aku ingin memastikan kalau aku tak salah
dengar. Dengan nekat, aku mencari jalan naik ke atap kamarnya. Dia tak akan
melihatku, karena semua atap kamar ini tertutup dengan plafon. Saat langit sudah
terlihat pongah memperlihatkan gelapnya, mulai kulaksanakan aksiku. Kulihat
sekitar terlihat lengang. Aku segera menaiki pipa dekat jemuran. Salah seorang
teman yang melihat segera meneriakiku. Dia bertanya kenapa aku naik. Memang
jarang-jarang aku naik ke atap, karena aku lebih suka di daerah bawah apalagi
di dapur yang menyimpan banyak sisa-sisa makanan. Tanpa menjawab, aku terus
saja menaiki pipa itu sampai atap.
Kuingat-ingat
lorong mana yang mengarah ke kamar gadis itu. Setelah mencoba belok kanan dan
kiri, aku yakin sudah berada tepat di atas kamarnya. Saat tadi berada di kamar
seseorang, aku mendengar suaranya bernyanyi. Dari situ aku tahu berarti sebelah
kamar orang itu adalah kamar yang sedang ingin aku tuju.
Dari
atap terdengar senyap. Tidak ada suara apa pun di bawah sana. Mungkin dia
sedang sibuk dengan barang-barang yang sering mereka sebut buku atau ponselnya.
Seperti yang sering kulihat saat mencoba mengintipnya di celah jendela atau
pintunya yang terbuka.
Setelah
kelelahan naik dan mencari kamarnya, aku tidur sejenak meringkuk di atas kayu kelapa di bawah naungan genting. Karena
terlalu nyenyak dan banyak gerak, tubuhku jatuh ke plafon. Aku kaget bukan
kepalang. Kepalaku sakit karena terbentur begitu keras. Sesaat aku menimbulkan
suara gaduh. Di bawah sana dia tetap diam. Mungkin dia sudah terbiasa dengan
ulah teman-temanku di atas atapnya. Beruntung, kali ini aku di atas sendiri.
Tidak ada satu pun kawanku yang lewat sehingga aku bisa leluasa melakukan apa
saja. Dan untungnya, plafon yang kujatuhi tidak jebol. Coba kalau jebol, pasti dia akan menjerit ketakutan memanggil teman-temannya untuk mengejarku yang menjatuhinya.
Dan
benar, malam harinya entah saat itu pukul berapa. Karena aku selama ini tidak
mengenal jam seperti orang-orang di kos sini. Yang kutahu hanyalah langit
gelap, terang, dan berwarna lainnya entah warna apa itu. Dia menangis lagi.
Kali ini kudengar dia juga sedang berbicara seperti biasanya. Namun, aku tidak
mendengar seseorang yang membalas ucapannya. Aku heran. Mana mungkin dia berbicara
sendiri. Apa dia sedang berbicara dengan hantu kosan yang sering kluyuran? Tapi
setahuku hanya aku dan teman-temanku lah yang bisa melihat hantu itu. Jika pun
ada orang yang bisa melihat, mereka tidak mempunyai hubungan yang dekat atau
mengobrol lama. Suaranya tidak terlalu jelas dari atas sini. Mungkin karena
lapisan plafon yang terlalu tebal dan rapat membuat suaranya tidak bisa
menembus sampai atap ini.
Penasaranku
semakin menjadi-jadi. Apa yang terjadi dengan gadis itu, kenapa gadis yang
tertawanya paling keras itu selalu menangis di malam hari. Besoknya, aku
memilih turun lewat pipa dan masuk ke dalam kamarnya. Aku baru kepikiran dengan
masuk kamarnya, bisa kulihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh, ini
hal yang paling nekat kulakukan. Jika orangtuaku tahu pasti akan meneriaki dan
menyuruhku keluar. Karena itu sama saja membunuh diriku sendiri jika sampai
ketahuan gadis itu.
Di
depan kamarnya, aku mencari jalan untuk bisa masuk. Ya, aku akan masuk melalui
jendela yang selalu dibuka dari pagi sampai dia berangkat tidur. Aku mencari
persembunyian di celah-celah pagar besi dan tembok yang memagari lantai dua.
Kutunggu waktu yang tepat agar bisa mengendap masuk tanpa dia ketahui. Agar dia
tidak teriak ketakutan atau mengejar sambil melempari dengan barang-barang.
Sore
harinya, saat dia mandi dan tidak ada orang yang lewat, aku mengendap-endap
naik ke jendela dan berhasil terjun ke kasurnya. Langsung aku sembunyi di bawah
meja. Aku mencari cara, kalau hanya di bawah meja pasti dia tahu. Lalu aku
melihat almarinya sedikit terbuka. Aku melompat dan masuk ke dalamnya. Sekarang
aku berada di dekat kardus dan tumpukan kertas. Sembunyi dibalik tumpukan itu
agar dia tak menemukanku. Berdiam diri cukup lama supaya dia tidak mengendus
keberadaanku.
Karena
terlalu lelah diam dan badanku rasanya kaku, sedikit saja aku menggerakkan
tangan dan kaki. Lagi-lagi gerakanku yang tidak seberapa itu menimbulkan suara
gaduh. Dia yang sudah masuk kamarnya mulai curiga. Dibukanya almari yang sedang
kudiami sambil dipukul-pukul pelan. Aku diam lagi agar dia tidak
mengobrak-abrik isi almari lalu mengusirku. Dengan susah payah aku menahan
tubuhku yang mulai pegal-pegal. Aku ingin dia tidak lagi curiga atau khawatir
dengan keberadaanku. Aku berjanji tidak akan mengganggu atau menyakitinya. Ah,
aku bodoh sekali. Mana mungkin dia akan percaya dengan janjiku, mendengarku
saja dia enggan.
Kudengar
ada seseorang yang bercakap-cakap dengannya hanya sebentar. Lalu suasana kosan
senyap berarti waktu sudah malam dan semuanya tidur. Aku bernapas lega.
Akhirnya bisa sedikit bergerak di tempat pengap ini. Aku bisa mendapat udara
dari bagian almari yang sedikit berlubang. Secepatnya aku tidur agar nanti
malam bisa bangun saat dia mulai menangis lagi.
Suara
isakan itu terdengar lagi. Cukup keras kudengar. Sepertinya dia berada tepat di
balik almari ini. Aku berjalan sedikit menuju dekat dengan pintu almari. Saat
perpindahanku menimbulkan suara, sejenak dia diam. Lalu aku memelankan gerakan
tubuhku. Dia melanjutkan menangisnya dan berbicara lagi. Sedikit kudorong pintu
almari lalu dengan susah payah keluar melalui celah yang sempit. Tanpa
sepengetahuannya, aku duduk di bawah ranjang tidur. Aku melihat dia duduk menghadap tembok sambil
mengenakan kain panjang seperti yang dikenakan hantu wanita kosan ini. Bedanya,
dia menutupi sampai bagian kepala. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Kulihat tangannya menengadah sambil berulang kali menyebut Allah. Entah, siapa
orang yang dia maksud. Padahal di ruangan ini tidak ada siapa-siapa, selain dia
dan aku. Hantu-hantu kosan pun sudah menghilang entah kemana, karena sebentar
lagi waktu akan berganti menjadi pagi.
Sekarang
aku mendengar suaranya dengan jelas. Aku tidak tahu apa maksudnya, hanya saja
di dalam kamar ini aku menjadi tahu suatu rahasia. Aku juga ingin menangis
mendengar ucapannya. Ternyata tawanya yang begitu keras saat di depan
orang-orang tidak sebanding dengan tangisannya setiap malam. Cerita hidupnya
begitu memilukan. Meskipun hatiku dan hatinya tidak sama, tapi aku juga mampu
merasakan begitu getir perjalanannya.
Air
mata merembes di kelopak mataku. Rasanya aku ingin tertawa dan menangis
bersamaan. Bagaimana bisa aku menangis karena iba dengan dia yang sangat jauh
berbeda denganku. Selama ini aku jarang sekali menangis, terakhir saat kakiku
terjepit pintu di garasi bawah. Jalan hidupnya lebih sulit dari pengetahuanku.
Yang kutahu selama ini hidup itu tentang mencari sisa-sisa makanan, mencuri
makanan di dapur, dan berlari jika ada yang menemukanku di tempatnya. Tapi ternyata liku-liku hidupnya lebih tajam.
Banyak aral melintang yang harus dilaluinya. Aku tidak mengerti, kenapa dia
bisa tertawa di depan orang banyak lalu menangis menyebut nama yang tidak aku
ketahui wujudnya. Entah, mungkin untuk yang satu ini aku memang tidak
diciptakan untuk bisa menjangkaunya.
Pelan-pelan
aku kembali lagi ke dalam almari. Aku ingin tetap di sini menemani dan
mendengarkannya menangis setiap malam. Aku tidak banyak makan, hanya makan
sedikit saja jika ada yang terjatuh lalu lupa diambil atau belum dibersihkan
sebelum dia bepergian. Sampai beberapa hari ke depan hari-hari kuhabiskan untuk
berdiam diri sambil mengamatinya dari celah pintu almari. Aku melihat dia
sering tertidur dengan benda persegi panjang yang sering mereka sebut buku di
sampingnya. Kadang, kulihat dia juga ketiduran di lantai karena kelelahan
mengerjakan sesuatu di benda hitam yang menyala terang.
Sebenarnya
dia tahu keberadaanku karena aku sering berisik saat mengerat kayu almari untuk
membuat lubang udara lebih lebar, atau saat menggigit sepotong roti yang
berhasil aku curi tadi pagi di mejanya. Tapi dia terlalu takut untuk
mengambilku di dalam almarinya. Dia lebih memilih membiarkanku begitu saja asal
aku tak mengganggu, begitu mungkin di pikirannya.
Sampai akhirnya,
aku tidak bisa lagi menemani dan mengamatinya. Tubuhku sudah lemas karena tidak
mendapatkan makanan terlalu banyak. Aku sudah tidak mempunyai energi lagi untuk
bertahan di sini. Lalu tiba-tiba, aku mati begitu saja. Tubuhku membusuk di
dalam almari. Besok pasti dia sudah mencari-cari keberadaanku karena bau
bangkaiku yang menyengat. Yang dia tahu hanyalah tentang kematian seekor tikus
di dalam almari. Padahal aku mati membawa banyak sekali rahasia yang dia pikir
hanya dia dan Allah-nya saja yang tahu.
End
4 komentar
eh awalnya aku kira, si "aku" ini kucing :D
BalasHapusEh ternyata bukan wkwk
HapusBagus cerpennya mba. Jadi "aku" ini maksudnya tikus ya. Komenku sama yg di atas, kirain kucing hehehe
BalasHapusTerima kasih, Mbak :)
HapusHehee salah tebak ya :D