facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

Masih ada sisa-sisa ingatan saat aku memasuki masa pubertas. Ibu begitu antusias dan was-was. Ibu bilang, “Anakku sudah menjadi dara dewasa.” Masih membekas kepingan memori, saat ibu begitu menggebu-gebu menjelaskan ini-itu dan aku harus begini begitu.

Semenjak itu, terlihat sendu yang terlukis jelas di wajah ibu saat aku masih suka menggunakan rok atau celana selutut sepulang sekolah menengah pertama. Ibu dengan sabarnya selalu menegur, tapi selalu luntur dalam ingatanku.

Ibu paling tidak suka melihatku memamerkan betis pada laki-laki berkumis. Atau mengumbar rambut panjang pada laki-laki hidung belang.

Ibu telah menjadi alarm natural yang nasihatnya menggaung di telingaku. Anak gadis bicaranya harus manis, sikapnya tidak boleh sinis, dan pakaiannya tidak boleh tipis. Begitulah, ibu selalu berkisah bagaimana anak gadis harus menjaga diri.

Ibu pernah berkali-kali menyuruh bapak mencariku ke sudut sekolah suatu malam untuk mengetahui keadaanku. Beliau kelimpungan bertanya ke sana-sini, karena aku tak memberitahu kenapa tak juga pulang saat senja tergantikan langit indah bertabur bintang. Padahal aku sedang tidak macam-macam. Hanya terlalu asyik menyiapkan acara organisasi sampai lupa mengabari.


Aku juga pernah jahat saat seharian keluar tanpa memberi kabar. Ponsel kubiarkan tergeletak dalam tas tanpa pernah mempedulikan dering telepon yang memekik berulang kali. Aku bersenang-senang menggemakan tawa, sedang ibu cemas di ujung sana.

Ibu sering cemas berlebihan saat aku tak kunjung pulang dari reuni teman sekolah. Beliau sering mendaratkan pesan singkat yang berisikan peringatan-peringatan agar tak sering pulang malam. Aku juga pernah diomeli habis-habisan karena tak memberi kabar saat melakukan perjalanan jauh.

Aku sering menganggap perhatian dan kecemasan mereka itu terlalu berlebihan. Berulang kali aku bilang, “Aku baik-baik saja, Pak, Bu. Kenapa harus dicemaskan, aku sudah dewasa dan bisa menjaga diriku sendiri.”

Entah, bagaimana perasaan mereka saat aku begitu jahatnya mengucap seperti itu. Andai saat itu aku tahu, menjaga harga diri anak gadis tak semudah menjaga anak kucing yang hanya diberi makan.

“Hati orang tua kalau terjadi apa-apa dengan anaknya itu rasanya seperti teriris.  Apalagi kalau anak gadis,” jawabmu membuatku tertegun beberapa saat.

Aku merasa konyol sekali, saat suatu malam Ibu meneleponku hanya untuk bilang, “Nduk, hati-hati, ya. Kuliah yang bener, jaga diri baik-baik. Kalau terpaksa pulang malam harus sama temen.”

Ah, Ibu. Saat itu aku merasa sok dewasa sampai rasanya tak perlu lagi kau ingatkan perihal itu.

Tapi semakin ke sini, semakin banyak cerita tentang terenggutnya harga diri seorang gadis mampir di telinga, ada rasa takut yang diam-diam menyelinap.

Aku sekarang mengerti, kondisi dunia saat ini mengundang kekhawatiran para orang tua. Aku bisa melihat air muka ibu saat duduk bersama menonton TV. Berita tentang pelecehan sudah mengantre untuk ditayangkan. Kudapati ibu menelan ludah berulang kali dan terlihat jelas resah yang menggelayut di wajahnya.

Wajar saja, jika ibu menyuruhku mengurungkan niat untuk bepergian jauh dari rumah. “Di sini saja, agar Ibu bisa menjagamu,” katanya.

Memang dasarnya aku anak keras kepala. “Aku bisa menjaga diri,” kataku meyakinkan. Aku tak menyerah membujuknya. Sampai aku sudah berkepala dua, beliau masih memperlakukan aku seperti putri kecilnya.

Bapak juga sering bilang, jangan mudah menjatuhkan hati pada laki-laki yang suka mengumbar janji.

“Jaga diri baik-baik.” Aku tersenyum membaca pesan-pesan peringatannya setiap pagi.

Tenanglah, Pak, Bu. Aku masih anak gadismu yang masih tetap manis seperti dulu. Tak perlu lagi menghujani aku dengan kekhawatiran yang tak berkesudahan. Cukup semogakan aku dalam setiap doa yang kau gemakan ke langit. 

Hanya doalah satu-satunya pelangi yang menggantikan gelayut mendung kecemasanmu. Satu-satunya mentari yang mengeringkan basah hujan kerinduan kita. Percayalah, dalam setiap arah langkahku, hatiku selalu basah dengan cinta kepada kalian. Dan aku, adalah anak gadismu yang selalu dijaga oleh Tuhan.

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Dia bilang, “Jangan mendekat, nanti kau akan mengumpat.”

Aku bilang, “Sedikit saja aku ingin menyentuh agar ragaku tak jenuh.”

Dia bilang, “Tak perlu, kau tak terbiasa denganku.”

Aku bilang, “Tidak ada salahnya jika aku mencoba merasa.”

Dia bilang, “Aku tidak bisa merakyat, hanya orang tertentu yang bisa kubuat         nikmat.”

Aku bilang, “Aku membutuhkanmu seperti mereka yang selalu memburu.”

Dia bilang, “Mereka memburu karena telah menjadi pecandu.”

Aku bilang, “Aku juga ingin meneguk nikmatmu sampai aku tak lagi kuyu.”

Dia bilang, “Bukan tak lagi kuyu, malah kau akan lesu.”

***
Aku bilang, “Butiranmu kuat sampai membuatku kerja dengan hebat.”

Dia bilang, “Kau ingin menegukku lagi?”

Aku bilang, “Tak perlu, cukup sekali di bulan ini.”

Dia bilang, “Rupanya butiranku tak bisa membuatmu menjadi pecandu.”

Aku bilang, “Karena kau membuat jantungku loncat, mataku membulat, dan perutku digigit ulat.”

Dia bilang, “Memang tidak semua orang bisa nikmat dengan hitam pekat.”



*Dialog sore dengan secangkir kopi 

Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar
Sejauh yang kuingat, seminggu lalu aku dan teman-teman relawan Rumah Zakat telah mengunjungi rumah Mbah Tosi yang bertempat di Arjasa, Jember. Kami berkunjung untuk melaksanakan program Kejutan Bahagia. Meski waktunya sudah lewat, aku tetap merasa memiliki hutang jika belum menuliskannya.

Awal melihat foto beliau bersama adiknya yang bernama Mbah Misni, aku merasa iba. Dari kondisi fisik mereka sudah terlihat memprihatinkan. Sebelumnya, tidak terpikirkan olehku perjalanan ke rumahnya itu sesulit apa, atau kondisi rumahnya bagaimana.

Saat perjalanan ke rumahnya, ada jawaban yang tidak pernah aku pertanyakan. Ternyata, istana kecil mereka berada jauh dari pusat kota. Untuk ke sana, harus melewati jalan yang terjal, berkelok-kelok, dan menanjak.

Apalagi saat itu Jember sedang diguyur hujan, sehingga jalanan lebih terasa licin. Ada perasaan takut yang menyelinap, karena jalanan yang sempit dan belum diaspal itu berdekatan dengan jurang dan sungai yang arusnya deras.
Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Dia mengayunkan tubuhku tinggi-tinggi. Sampai aku merasa melayang terbang mengangkasa di udara. Tawa kecilku pecah diiringi tawanya yang renyah. Sesekali dia dekatkan hidungnya di ujung hidung mungilku. Lalu pelan-pelan disapukan kumis tebalnya ke pipiku yang masih putih bersih. Aku tertawa geli dibuatnya.

Aku bahagia menjadi sosok yang dulu. Gadis kecil berusia tiga tahun yang belum mengerti tentang rumitnya kehidupan. Yang kutahu, aku bermain dan belajar melakukan pekerjaan orang dewasa yang masih ringan. Seperti, menyuapkan nasi lembut ke mulutku sendiri atau belajar memegang botol susu saat menjelang tidur.
"Mau biskuit?" Lelaki dewasa itu menyodorkan biskuit bundar. Aku meraihnya, lalu memamah pelan dengan satu dua gigi yang mulai tumbuh.

Ada gadis cantik yang berusia lebih dua tahun dariku berlari mendekat ke arah kami. Dia menggendong tas merah mudanya dengan langkah riang. Kulihat gadis itu memeluk laki-laki dewasa yang sedari tadi menggendongku.

Tanpa diminta, gadis yang sering kudengar dipanggil Lala itu melepas sepatu dan kaos kakinya. Setelah mencuci tangan, dia berlari ke dapur mengambil sepotong melon di dalam kulkas dengan berjinjit.

"Mau melon?" Mulutnya terlihat penuh mengunyah.

Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Dia duduk melipat kakinya di hadapanku. Kudapati sendu yang memberati wajahnya. Aku menatap iba. Beberapa kali terdengar dia membuang napas kasar dan aku hanya menggumam. Kalimat tanya yang ingin kuutarakan menggantung di tenggorokan tak terucapkan.

“Apa yang kamu lakukan jika orang yang kamu sukai disukai temanmu sendiri?” Tiba-tiba pertanyaannya mengudara. Bola matanya berkaca-kaca. Aku tahu, ada isak yang disembunyikan.

Kututup buku yang ada di tangan dan perhatianku mengarah kepadanya.

(Pertanyaan ini memang tepat ditanyakan kepadaku)

Ada perasaan yang bergejolak setiap dia datang dan menceritakan pertemuan, kerinduan, dan perasaannya terhadap sesosok laki-laki yang diam-diam juga mengisi ruang hatiku.

“Mengalah,” jawabku dengan sedikit cengengesan menutupi bah air mata yang hampir tumpah.

“Semudah itu?” tanyanya memastikan.

(Tentu tidak. Menerima kenyataan itu pahit)
Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Hujan-Hujan di Bulan Juni
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Menikah itu Bukan Sekadar untuk Memilikinya, tetapi Demi Menambah Kecintaan kepada-Nya
  • (Review) Pertanyaan Tentang Kedatangan

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose