Laki-Laki Pertamaku

by - 23.47

Dia mengayunkan tubuhku tinggi-tinggi. Sampai aku merasa melayang terbang mengangkasa di udara. Tawa kecilku pecah diiringi tawanya yang renyah. Sesekali dia dekatkan hidungnya di ujung hidung mungilku. Lalu pelan-pelan disapukan kumis tebalnya ke pipiku yang masih putih bersih. Aku tertawa geli dibuatnya.

Aku bahagia menjadi sosok yang dulu. Gadis kecil berusia tiga tahun yang belum mengerti tentang rumitnya kehidupan. Yang kutahu, aku bermain dan belajar melakukan pekerjaan orang dewasa yang masih ringan. Seperti, menyuapkan nasi lembut ke mulutku sendiri atau belajar memegang botol susu saat menjelang tidur.
"Mau biskuit?" Lelaki dewasa itu menyodorkan biskuit bundar. Aku meraihnya, lalu memamah pelan dengan satu dua gigi yang mulai tumbuh.

Ada gadis cantik yang berusia lebih dua tahun dariku berlari mendekat ke arah kami. Dia menggendong tas merah mudanya dengan langkah riang. Kulihat gadis itu memeluk laki-laki dewasa yang sedari tadi menggendongku.

Tanpa diminta, gadis yang sering kudengar dipanggil Lala itu melepas sepatu dan kaos kakinya. Setelah mencuci tangan, dia berlari ke dapur mengambil sepotong melon di dalam kulkas dengan berjinjit.

"Mau melon?" Mulutnya terlihat penuh mengunyah.



Aku tertawa memamerkan gigi yang dipenuhi sisa kunyahan biskuit yang menempel. Tangan yang masih memegang cuilan biskuit kuarahkan padanya. Lalu dia menyuapiku.

Aku dan Lala seperti anak kembar. Kami sering dipakaikan baju atau sepatu yang sama.  Laki-laki dewasa yang sering Lala panggil dengan sebutan Ayah itu memperlakukan kami dengan sama pula. Setiap sore, kami berdua dimandikan dengan air hangat, dipakaikan baju, dan dibedaki. Selalu saja, setelah mandi, Lala menciumiku sampai bedak putih di kulitku terhapus. Aku balas memeluknya erat sampai dia batuk-batuk, karena lingkaran tanganku dilehernya terlalu kuat.

Lala begitu baik, mengajariku bagaimana menyisir rambut dan memakaikan baju barbie. Dia pernah menyuruhku menggendong boneka panda yang besarnya melebihi tubuhnya sendiri. Sampai aku terjatuh karena pandanya terlalu berat. Dia menertawaiku lalu mengulurkan tangannya membantuku berdiri. "Alis tidak apa-apa, kan?"

Bahkan, Lala juga mengajariku memasak pasir yang sering dianggap nasi olehnya. Dia memotong daun liar di belakang rumah dan memberitahuku bahwa itu sayuran yang akan dimasaknya.

Tapi, aku terlalu nakal untuknya. Lala pernah menangis karena aku melempar paha ayam goreng terakhirnya ke arah kucing yang mengeong di kakiku. Sebenarnya aku hanya mengikuti ajarannya untuk menyayangi binatang. Sering kulihat dia memberi suwiran ayam ke arah kucing yang bertamu ke rumah. Dan saat itu aku hanya berniat memberi makan, tapi nyatanya malah membuat Lala sedih.

Saat aku membuat Lala menangis, ayah Lala tak pernah marah. Dengan sabarnya, dia memangkuku sambil menenangkan Lala. Laki-laki dewasa itu selalu memperlakukanku dengan lembut. 

Lala pernah marah karena tak sengaja botol minumannya kusenggol dan terbanting sampai bocor. Bahkan, dia pernah mencubitku karena aku menjambak rambutnya yang sedang tidur. Padahal, aku hanya ingin mengajaknya bermain.

Saat Lala menangis histeris, ada wanita yang berlari tergopoh-gopoh masuk ke rumah menggendongku dan menenangkan amarah gadis berambut keriting itu.

"Alis tidak sengaja, Lala." Wanita dewasa itu menghapus ceceran air mata di pipi Lala.

"Nanti ibu belikan botol yang baru," ucapnya kala itu. Lala menurut. Tangisnya mulai reda.

Aku tidak tahu siapa wanita yang seperti malaikat itu. Dia menyayangiku dan Lala. Apakah dia ibuku? Tapi jika iya, kenapa dia tidak serumah dengan ayah dan Lala? Bahkan, Lala memanggilnya ibu. Aku tidak mengerti apa kata ibu saat itu. Yang kutahu, wanita yang dipanggil ibu oleh teman-temanku adalah wanita yang paling dekat dengannya, mengantar kemana pun mereka pergi, serta menuruti apa pun yang mereka inginkan.

Tapi tidak denganku, aku hanya mengenal kata ayah, yaitu ayah Lala. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu adalah orang yang selalu pertama aku cari saat terbangun dari tidur pagi. Dia yang selalu kuminta untuk menyuapi makan, memandikan, bahkan mengajariku berjalan.

Yang kutahu, Lala sering tidur memeluk foto wanita yang rambutnya tergerai panjang dan terlihat cantik sepertinya sedang menggendong dirinya. Saat aku menungguinya Sholat, dia pernah berdoa begitu lama di belakang ayahnya. Kudengar lirih dia menyebut kata ibu. Lala bilang, dia rindu ibunya yang sudah pergi ke surga. Aku tak mengerti, dan aku hanya tertawa saat mendengarnya.


Kadang, aku kesal dengan wanita berkulit kuning langsat itu. Dia selalu menggendong dan membawaku pulang ke rumahnnya saat malam menjelang. Tanpa meminta izin kepada ayah Lala, dia seenaknya menidurkan aku di kamarnya. Aku meronta menangis ingin kembali bersama Lala dan ayahnya. Tapi dia tak pernah mengizinkan sampai aku lelah menangis lalu tertidur.

Anehnya, ayah Lala selalu bilang, "Sudah malam, waktunya pulang. Besok Alis bisa main lagi ke sini." Dia membelai rambut pendekku dengan lembut.

Bukankah rumah Lala adalah rumahku juga? Dan bukankah ayah Lala juga ayahku? Kenapa wanita itu selalu memisahkanku dengan Lala setiap malam?

Aku heran, kenapa ayah Lala mengizinkan ada laki-laki lain yang menggendongku. Sebulan sekali, ada laki-laki asing yang menginap di rumah wanita itu. Dia selalu datang dengan wajah lelah dan membawakanku banyak makanan serta mainan.

Dia memeluk, menggendong, dan menciumiku. Aku risih dan tak menyukai orang baru mendekat. Setiap dia menyentuhkan tangannya ke kulitku, aku menangis dan memanggil "Ayah" berulang kali.

"Ini ayah, Nak!" Laki-laki asing itu meyakinkanku. Aku tak mempercayainya.
Suatu malam, dengan tertatih aku mencoba berjalan keluar rumah dan menuju ke rumah Lala. Kali ini wanita dewasa itu membiarkanku, dia hanya mengikuti di belakang.

Hanya beberapa langkah, aku sudah sampai di halaman rumah Lala yang tepat berada di samping rumah wanita dewasa itu.

Aku melihat halaman rumah Lala berantakan. Semua perabotan rumahnya di luar. Aku kira ayah Lala sedang marah. Seperti kebiasaanku saat kesal jika susu di botol habis akan kubanting dengan keras sampai ke halaman rumah. Dan semua mainan aku lempar ke teras.

"A...ya..Laa..Laa." Aku mencoba mengeja memanggil nama ayah dan Lala.

Ayah Lala menghampiriku dengan peluh bercucuran di dahinya. "Ayah mau pindahan, Nak." Aku tertawa girang tak mengerti maksudnya. Aku memeluk ayah Lala dengan erat. Saat itu, aku belum tahu tentang perpisahan. Yang kutahu, aku sedang bersama dan akan selalu bermain dengan mereka.

Lala menggendongku. Memperlakukanku seperti boneka panda yang sering digendongnya. "Ini barbie buat Alis." Dia menyodorkan boneka barbie kepadaku. Aku menerima dan tertawa riang.

"Lala mau pindah, nanti kalau liburan sekolah, Lala ke sini lagi main ke rumah Alis." Aku tertawa menepuk tanganku berulang kali dan bergerak-gerak riang di gendongannya.

Setelah menurunkan aku dari gendongannya, Lala berjalan keluar halaman. “Daa..da.. Alis.” Lala melambaikan tangannya ke arahku.

“Manggilnya Kak Alis, La. Kan ayahnya Lala adiknya ayah Alis,” ucap ayah Lala yang saat itu tak kumengerti maksudnya.

“Oh iya lupa lagi. Daa.. daa.. Kak Alis.” Kulihat Lala menepuk jidatnya.

Kudapati Lala dan ayahnya masuk ke sebuah kotak panjang yang bisa berjalan. Semua perabotan ditaruh di belakang kotakan yang terbuka. Lala dan ayahnya melambaikan tangannya ke arahku. Kukira Lala akan pergi sekolah karena saat itu dia memakai tas merah mudanya.

Aku melambai dengan tersenyum lebar kepadanya. Saat itu aku belum menyadari bahwa itulah namanya perpisahan.

Suatu pagi, saat aku tak lagi menemukannya di samping rumah, aku menangis sambil mengetuk pintu rumahnya berkali-kali. Wanita itu menggendongku dan mengajak pulang. Aku menangis lama sambil memanggil "A..yah."

"Ayah Alis ada di rumah. Yang kemarin itu ayahnya Lala."

Semenjak saat itu, aku kesepian tanpa Lala. Semua kakak-kakakku sudah sibuk dengan dunia remajanya sendiri. Dan lama-lama aku tahu, siapa sebenarnya laki-laki asing dan wanita dewasa yang sering membuatku kesal saat aku kecil dulu. Aku sudah mulai terbiasa dengan mereka. Bahkan, aku juga lupa kenapa aku lebih dekat dengan keluarganya Lala. 

You May Also Like

11 komentar