Sepucuk Surat Merah Hati (17)
“Han.”
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari sumber suara.
“Iya?”
Kulihat ada sesosok lelaki berkacamata dengan gagang hitam duduk di belakangku.
Aku menoleh ke arahnya.
“Kamu
Hanna, kan?” tanyanya.
“Iya.
Kamu...?” Aku mencoba mengingat-ingat sosoknya, tetapi tak juga kutemukan
wajahnya dalam kepingan memoriku.
“Aku
Randu,” jawabnya. Bahkan, namanya saja terdengar asing di telingaku. Selama ini
aku memang tak pernah mempunyai teman bernama Randu.
“Apa
kita pernah mengenal sebelumnya?” tanyaku. Kali ini aku tidak sedang
berpura-pura. Karena memang, sebegitu keras aku mengingatnya, tidak kutemukan
dia dalam ingatan.
“Tidak,
aku hanya sering mendengar tentangmu dari sepupuku, Ayu.”
“Oh.”
Aku hanya menggumam mendengar penjelasannya lalu duduk dengan posisi semula.
Entah
kenapa, aku tidak ingin bertanya lebih jauh lagi kepadanya. Aku sedang sibuk
menata perasaan. Menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida bergantian
untuk menenangkan perasaan.
“Ma,
sepertinya waktu kita di sini sudah cukup.”
Aku
berdiri, lalu mama mengikuti. Kita berdua berjalan beriringan menuju ke
pelaminan. Meski pandanganku lurus ke depan, tetapi aku bisa melirik kanan-kiri
yang melihatku dengan tatapan penuh tanya. Aku mengabaikannya.
“Happy wedding, Ayu. Longlast, ya.” Mata Ayu berkaca-kaca menatapku, membuat potongan
hati semakin terasa nyeri. Aku memeluknya erat.
“Han,
aku minta maaf,” suaranya terdengar parau dalam pelukan.
“I’m okay, Ayu. No problem between us.” Aku berusaha sekuat mungkin terlihat
baik-baik saja.
Aku
melepas pelukannya dan melihat ada air yang meluncur dari kelopak matanya.
“Hey, ini hari bahagiamu. Tidak seharusnya kau menangis. Look at me! I smile and feel happy.”
Dia
mengusap air matanya pelan, lalu aku memandang lelaki di sampingnya—Dimas.
“Dim, happy wedding, ya.” Aku menepuk-nepuk
pundaknya.
“Han,”
suaranya terdengar parau.
“Oh,
ya, ini ada bingkisan buat kalian.” Aku menyodorkan pakaian yang dibuatkan mama
terbungkus kertas berwarna merah hati. Kuabaikan raut sendu pada wajah Ayu dan
Dimas. Tak kubiarkan suasana hatiku terpengaruh oleh mereka.
Aku
tahu, mereka sedang bertanya-tanya, apa yang terjadi denganku hari ini.
Bagaimana bisa aku datang ke pernikahan mereka dengan senyum yang mengembang
seperti donat yang adonananya diberi fernipan. Semakin lama semakin membesar
pipiku ini karena sering tersenyum ke arah mereka.
Ah,
kalian. Jangan dikira tersenyum begini saja adalah hal yang mudah. Meski hanya
lengkungan, tetapi aku butuh usaha keras untuk bisa melakukannya.
Mama di
sampingku menyalami mereka berdua dengan terlihat baik-baik saja. Ayu dan Dimas
mencium tangan mama dengan berulang kali meminta maaf. Mama hanya tersenyum lalu
menyampaikan ucapan selamat dan doa-doa kecil.
“Bagaimana
kalau kita berfoto? Seperti janjiku pada Ayu dulu, jika dia menikah, aku akan
mengunggah fotonya di instagram.” Aku tersenyum riang menawari mereka.
Mereka
berdua saling pandang lalu menunduk bersamaan. “Boleh, kan?” Aku mengulangi
pertanyaanku lagi.
“Tentu,
Hanna,” jawab Ayu masih dengan raut sendu yang sama.
Setelah
kita berfoto menggunakan fotografer pernikahan Ayu, aku meminta difotokan
dengan kamera yang sengaja kubawa.
“Bagaimana
jika kufotokan?” Kulihat Randu berdiri mendekat ke arahku.
“Em,
ada fotografer. Tidak perlu.” Aku menatapnya dengan canggung.
“Kamu
ikut foto saja dengan kami.” Ayu angkat bicara.
“Good idea.” Aku tersenyum ramah
memandang Randu, dan dia membalasnya.
“Terima
kasih.” Aku mengucapkan itu kepada mereka sambil melihat hasil foto pada kamera
yang kupegang.
Setelah
cukup, kami bertiga—aku, mama, dan Randu—berjalan meninggalkan mereka berdua
yang duduk di pelaminan. Aku melangkah menuju pintu keluar. Namun sebelumnya,
aku merasa ada pandangan yang menangkapku. Aku menoleh ke arah kanan. Pandanganku
dan Randu bertemu. Hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu kulanjutkan
langkahku lagi.
Aku datang
membawa rasa sakit, dan pulang masih membawa rasa sakit yang lebih terasa.
Kukira dengan datang ke sini akan menemukan obatnya, ternyata tidak. Ingin rasanya
aku merutuki diri sendiri, bagaimana bisa mengobati luka dengan datang ke
penyebab luka.
Teringat saat dulu kita bersama, kemana-kemana
bersama, namun ternyata saat di pelaminan kita tidak bersama. Kebahagiaan
kalian tetap akan menjadi kebahagiaanku. Happy wedding and longlast, My bestie.
Aku
memenuhi janjiku pada Ayu. Mengunggah foto pernikahannya denganku ke instagram
agar dunia tahu. Ya, agar dunia tahu ada rasa sakit yang tersirat dari kalimat
itu.
To be continued!
To be continued!
2 komentar
Asyiik...ditunggu kelanjutannya
BalasHapusAsyiik ada yang nungguin :D
Hapus