Sepucuk Surat Merah Hati (18)
Sesampainya
di rumah, aku hanya diam tanpa mengajak mama berbicara sedikit pun. Aku mengunci
diri di kamar seharian. Perasaan kembali kalut. Menyesal sudah datang ke
pernikahan mereka. Masakan mama di meja makan juga tak kusentuh sekali pun.
Hanya
saat malam, aku ke luar kamar untuk menonton TV. Suara TV sangat keras
menyaingi hujan lebat di luar. Acara yang kutonton adalah tayangan komedi,
tetapi sulit rasanya menertawai acara itu. Bagiku mereka hanyalah gambar
bergerak untuk mengisi kebosanan, bukan kekosongan hati.
“Han, kamu tidak makan?” Terlihat separuh kepala
mama dari celah pintu kamarnya yang terbuka. Aku menggeleng.
Aku
mengganti channel TV berulang kali. Tidak ada yang menarik menurutku. Terdengar
ketukan pintu yang keras dan berulang-ulang. Aku memandangi pintu depan yang
bergetar-getar karena terlalu keras diketuk.
Mama
keluar dari kamar menatapku. Tatapannya mengisyaratkan siapa yang datang
malam-malam hujan begini. “Biar Hanna saja, Ma.” Aku beranjak dari sofa ruang
tengah lalu membukakan pintu.
Baru setengah
daun pintu terbuka, kulihat ada Dimas berdiri dengan bertubuh basah karena
hujan. Aku segera menutupnya. Tangan kuat Dimas mendorong pintu menghalangiku.
Kakiku sedikit terpeleset ke belakang karena dorongannya terlalu kuat. Aku
terus mendorong pintu itu, tetapi kalah dan terjatuh.
“Han,
aku tersiksa dengan keadaan ini.”
Untuk
pertama kalinya kulihat dia berderaian air mata. Laki-laki yang kukenal begitu
maskulin itu terlihat sangat cengeng di depanku. Selalu saja, di depannya aku
tidak bisa meneteskan air mata. Aku selalu berhasil terlihat baik-baik saja. Napasku
masih tersengal-sengal karena mengeluarkan terlalu banyak tenaga saat mendorong
pintu.
Dimas
berjalan mendekati dan mencoba memegang tanganku. Aku bangun lalu mundur
menjauhinya. “Jangan coba mendekat. Kamu pulang sekarang!” Aku membentaknya.
“Han,
jangan berpura-pura. Pasti kau juga ingin kita kembali seperti dulu.”
“Tidak.
Aku tidak akan pernah mau dengan suami orang.” Aku menatapnya seperti harimau
menatap mangsa. Sangat tajam.
“Aku
masih mencintaimu, Han.” Suara Dimas terdengar bergetar.
“Dim,
saat ini yang menjadi istrimu itu Ayu. Bukan aku. Tidak sepantasnya kamu
mendatangiku lagi. lupakan aku dan berbahagialah dengan kehidupanmu yang baru.”
“Aku
tidak bisa.” Dia tertunduk lemah di lantai. Ada perasaan iba melihatnya.
“Dim, bayangkan
saja yang setiap malam bercumbu denganmu itu aku. Anggap saja yang kau kecup
keningnya dan yang mencium pipimu setiap pagi itu aku. Tapi itu hanya beberapa
hari saja, setelah itu kau harus menyadari bahwa itu Ayu.”
Aku
menelan ludah, lalu melanjutkan kalimatku. “Jangan terlalu lama menyakitinya.
Lama-lama kau akan terbiasa dan bisa melupakan aku. Aku yakin pasti kau akan
bahagia.”
Dia
menggenggam tangannya kuat. Wajahnya memerah menahan emosi yang sangat menyiksa.
Aku menunduk mengikutinya. Menatap wajahnya yang membasah keringat dan air mata.
Dingin karena air hujan yang membasahi tubuhnya tak terasa. Emosi yang membelenggunya
membuat dia panas seperti di atas bara api. Aku bisa melihatnya.
“Dim,
dengarkan aku! Tidak ada yang kita lakukan selain menerima takdir dengan lapang
dada. Bukankah kau yang pernah datang kemari, lalu mengatakan untuk tidak
mencintaimu berlebihan? Kau juga bilang jodoh itu ada di tangan Tuhan.”
“Tapi
menerima itu semua tidak mudah, Han.”
“Pulanglah
sekarang, Dim! Jangan membuat Ayu menunggu terlalu lama.”
“Aku
ingin kau yang menjadi tempatku pulang.”
“Tetapi
takdir tidak selalu sama dengan yang kita inginkan.” Dimas menangkap kedua bola
mataku. Tatapannya penuh harap. Aku menunduk menyembunyikan gambaran kepingan
rasa yang masih ada di mataku.
Setelah
aku berhasil menyuruhnya pulang, aku menutup pintu lalu berbalik ke ruang
tengah. Aku tersentak saat ada orang berdaster putih berambut panjang terurai berdiri
tepat di belakangku tanpa suara.
“Ma.”
Mataku membulat dan mulutku menganga melihatnya.
“Apa
Mama bilang, anak Mama pasti kuat.” Beliau tersenyum tipis sambil bersedekap.
To be continued!
1 komentar
Cus tu the next
BalasHapus