Sepucuk Surat Merah Hati (16)
Tulang-tulangku
serasa lemah memandangi mereka duduk berdua di pelaminan. Ada perasaan sakit
yang semakin terasa di sudut hati saat pertama kali masuk ke gedung megah ini.
Bau melati mulai mengoar di hidung, dan sepasang mempelai mengenakan gaun putih
yang tertangkap pandanganku menambah sesak.
“Han.”
Mama menyenggol lenganku. Aku terlihat diam memandang mereka.
“Ayu
cantik, Ma.” Aku tersenyum memandang mama dengan berkaca-kaca.
“Hanna
lebih cantik,” ucapnya. Aku tertawa geli mendengar gurauan mama, lalu membalas
menyenggol lengannya pelan.
Saat
aku dan mama duduk untuk makan beberapa hidangan, ada teman-teman kuliah yang
memandangiku dengan aneh. Pasti mereka iba melihatnya. Aku mencoba terlihat
seperti biasanya. Terlihat kuat, meski sebenarnya hati ini rapuh.
Beberapa
kali aku menggenggam tangan mama keras-keras agar bisa menahan tumpahan air
mata. Sungguh, ini bukanlah hal yang mudah. Aku bukanlah aktris yang pandai
bersandiwara, apalagi untuk hal yang semenyakitkan ini.
“Hanna,
apa kabar, Nak?” Ada seorang wanita dewasa bersanggul di depanku. Aku tak
mungkin lupa dengan wanita yang melahirkan dan membesarkan Dimas.
“Baik.
Tante apa kabar?” Aku tersenyum bersalaman dengan beliau. Mama juga tersenyum
menerima uluran tangan mama Dimas.
“Juga
baik. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian. Boleh saya duduk di sini?”
Beliau menunjuk ke kursi depanku. Aku dan mama berpandangan, lalu mengangguk mengiyakan.
“Han,
saya sekeluarga meminta maaf atas hal ini.”
“Saya yakin
perjodohan ini sudah direncanakan sejak lama. Kalau memang begitu, seharusnya
tante tidak perlu menerima saya sejak dulu.” Aku tidak menatap mama Dimas.
Kutundukkan kepalaku menyembunyikan raut sendu.
“Bukan
maksud kami tidak menerimamu, Han. Sungguh, selama ini kami menyetujui hubungan
kalian. Tapi kamu tahu, kan? Tante dan Dimas adalah anak tunggal. Sehingga
semua pilihan hidup kami diatur oleh Kakek Dimas. Kami tidak bisa membantah
permintaan antara Kakek Dimas dan Ayu.” Aku memandang mama Dimas dengan serius.
Kepingan
memoriku berkelebatan. Aku teringat, bagaimana kakek Dimas memperlakukanku. Ya,
orangnya memang terlihat baik-baik saja di depanku. Tetapi, begitulah. Sekali
pun aku tak pernah diajaknya mengobrol. Dimas bilang, beliau memang orang yang
tidak mudah berbaur dengan orang baru. Aku memahaminya. Meski sudah empat tahun
aku mengenal keluarga beliau, tetap di matanya aku hanyalah orang baru yang tak
akan pernah dikenalnya.
“Perjodohan
ini memang sudah lama. Tapi Dimas sendiri baru mengetahuinya setengah bulan
yang lalu.” Aku tertegun mendengarnya.
Enam
bulan bukan waktu yang sedikit untuk menyimpan rahasia besar ini. Meski aku
sudah merasa Dimas berbeda enam bulanan terakhir ini, tetapi aku tak pernah
mempunyai pikiran buruk terhadapnya. Kukira, waktu empat tahun sudah cukup
untuk bisa memberinya kepercayaan. Ternyata, tidak!
Apakah jujur kepadaku itu sulit, Dim?
Andai
saja dari awal aku mengetahuinya. Mungkin saja saat aku datang ke pernikahanmu
hari ini lukaku sudah cukup kering. Aku tidak datang dengan lubang luka yang
masih banyak balutan.
“Jodoh
saya dan Dimas sudah ada yang mengatur, Tante. Memang inilah takdir yang harus
kita terima. Saya dan mama meminta maaf kalau selama ini ada salah dengan
keluarga tante.”
“Saya
yang salah, Han.” Beliau berhambur memeluk dan mencium pipiku. Ada perasaan
haru yang menyeruak.
Wanita
yang gagal kupanggil mama itu berhasil mengaduk-aduk perasaanku. Ingin rasanya
aku menjadi bagian dari keluarganya. Tetapi, ah sudahlah....Terlalu sakit untuk
dijelaskan.
Mama
hanya diam di sampingku menyimak obrolan kami. Beliau tersenyum saat berulang
kali mama Dimas mengucapkan maaf.
Setelah
obrolan terasa cukup, mama Dimas kembali ke depan pintu masuk bersama kedua
orangtua Ayu. Sekalipun aku dekat dengan keluarga Ayu, tetapi hanya kakak
lelaki Ayu—Kak Galang—yang mengetahui hubunganku dengan Dimas. Orangtua Ayu
tidak mengetahui hal ini. Mereka terlihat baik-baik saja.
*To be continued!
5 komentar
Siiip sippp
BalasHapusTerima kasih, Kak :)
Hapusgood job, kuat dalam deskripsi dan gesture, cerita yang kelihatannya sudah dipersiapkan dengan baik. saya tunggu episode selanjutnya
BalasHapusAsyikk ditungguin. Terima kasih, Uncle. :)
Hapuslanjyut
BalasHapus