Sepucuk Surat Merah Hati (9)
“Kau
pasti tidak menyangka ya dia menikah secepat ini?”
“Eh ...
iya.”
Aku
mengembuskan napas kasar. Sikapnya mendadak berubah menjadi pendiam. Padahal
saat kuminta menemani datang ke pernikahan April teman SMA beberapa minggu
lalu, dia heboh mengajak membeli batik sarimbit agar terlihat lebih manis
katanya.
“Kabar
mama gimana, Dim?” Aku membuka pembicaraan agar tidak ada canggung di antara
kita.
“Baik
kok.”
“Lama
aku nggak main ke rumahmu.”
Aku
mengetukkan jemari di meja pertanda tidak nyaman dengan keadaan ini. Menunggunya
berbicara serasa berada di kursi tengah persidangan untuk menerima vonis
hukuman.
Aku
mulai jengah dengan degup jantung yang mulai tak beraturan. Sebenarnya sangat
penasaran apa yang akan dikatakannya, tetapi aku tahu dia bukan orang yang
mudah dipaksa.
“Han,
kau percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan?” Dia mulai angkat bicara.
Sesaat
aku diam mendengar pertanyaannya. Aku tidak tahu akan bermuara kemana
pembicaraan ini. Perasaan khawatir mulai menyergap.
“Ya,
aku tahu. Lalu?”
“Jangan
terlalu banyak berharap denganku, Han. Cintai aku sewajarnya saja. Bisa jadi,
orang yang kau cintai akan menjadi orang yang kau benci. Begitu juga
sebaliknya.” Mendadak dia terdengar sok bijak.
“Oke, i knew it. To the point ajalah. Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”
Aku
memang tidak suka berbelit-belit, apalagi rasa penasaran dan khawatir sudah
berbaur. Aku berusaha menenangkan detak jantung yang menggebu-gebu.
“Aku
....” kalimatnya menggantung tak terselesaikan, menggantung di udara.
“Kau
kenapa?” Dia hanya diam mengambil dan membuang napas berulang kali.
“Kau
sudah mencintai wanita lain?” Sontak matanya membulat menatapku.
“Sungguh,
Han. Aku tidak mencintai siapa pun kecuali dirimu.”
“Dimas,
aku sudah lelah terlihat baik-baik saja. Sebenarnya aku sudah lama sekali
merasakan ada yang ganjil. Mendadak sifatmu berubah menjadi pendiam, dan Ayu
sekarang bersikap aneh. Apa sebenarnya yang salah dengan diriku? Kenapa kalian
menjauh pada waktu yang bersamaan?”
“Apa
menurutmu aku mempunyai hubungan dengan Ayu?”
“Bukan
itu maksudku. Tetapi kalian membuat bingung di waktu yang bersamaan.”
“Apa
pun yang terjadi nantinya, aku tetap mencintaimu.” Dia berdiri. Aku mendongak
menatapnya.
Dia
berjalan meninggalkanku dengan menyisakan banyak pertanyaan. Aku terpaku di
tempat. Terbius dengan apa yang sedang terjadi. Kurasa ada tabir yang menutupi
hubungan kami.
Kalimatnya
terngiang-ngiang di benakku. “Jangan
terlalu banyak berharap denganku, Han. Cintai aku sewajarnya saja. Bisa jadi,
orang yang kau cintai akan menjadi orang yang kau benci. Begitu juga sebaliknya.”
Jika
kau tak ingin kucintai dengan berlebihan, seharusnya bukan sekarang kau
mengatakannya. Tetapi dulu, sebelum kau dengan lancang mengungkapkan
perasaanmu.
Sebelum
kau melakukan praktik pencurian hatiku yang tidak mirip seperti pencurian.
Sebelum kau menancapkan pasak-pasak harapan yang membuat perasaanku semakin
kokoh.
Jika
kau tak ingin aku berharap terlalu jauh, lalu apa arti dari semua sikapmu
selama ini. Empat tahun kau menggandengku berjalan sampai aku sedewasa ini. Kau
memupuk perasaan yang semakin lama semakin tumbuh subur.
Ayolah, Dim! Menghapus perasaan itu tidak
semudah deburan ombak menghapus goresan di pasir. Jangan salahkan aku jika di
hatiku sudah banyak rasa cinta yang semakin mengakar.
To be continued!
7 komentar
Hih. -_- Ending oh ending. ke mana kau berlabuh?
BalasHapusEnding akan berlabuh pada dermaga :D swabar ya swabar :D
HapusAku nggak suka lelaki seperti ini, katanya cinta, kenapa berbelit belit Dan susah untuk jujur? Buang ke laut aja dah
BalasHapusHahaha. Mbak Wid mau buang pake apa? :D
HapusHahahha Mbak Wid ... ngenes amat kayaknya ... 😂
BalasHapustuhkan mbak wid udah kena perangkapnya anik hwhe
BalasHapuslanjuuuyt
BalasHapus