Menyadari ada yang sakit adalah perjalanan menuju penyembuhan. Kita tidak perlu terburu-buru membukakan pintu sebelum kita selesai dengan diri sendiri
“Kamu sadar nggak, orang yang datang dan pergi dari hidup kamu itu polanya sama.” Untuk kali pertamanya, ucapan dia membuat aku terdiam. Biasanya aku bisa merespon dengan cepat, kali ini berulang kali mencari jawaban yang pas, ternyata tetap tidak ada yang bisa kusuguhkan sebagai jawaban.
Bukan
tanpa alasan dia mengatakannya, selama 10 tahun kita bersama dan aku banyak
bercerita ke dia pasti dia mengamati sesuatu yang tidak aku sadari.
“Oiya?”
kataku kemudian hanya untuk memecah keheningan.
“Coba
deh inget-inget. Kalau selalu sama, berarti penyebabnya juga sama dan itu yang
harus diubah.” Ngobrol sama teman satu ini memang seringnya membuat aku
berpikir keras, tapi aku suka. Sayangnya untuk kali ini, karena tidak kunjung
menemukan jawaban akhirnya membuat aku kepikiran seharian.
Orang-orang
yang seperti ini memang diperlukan sih, sering kali hidup kita ada banyak clue yang tersembunyi. Kalau kita belum
juga menemukan benang merahnya, kita butuh bantuan orang lain. Tapi orang lain
pun hanya punya kepingan puzzle dan kita
sendiri yang harus menyelesaikannya.
Obrolan
di atas adalah obrolan yang sudah cukup lama. Mungkin dia sendiri juga lupa
pernah mengatakannya kepadaku. Tapi aku tidak pernah berhenti mencari tahu. Tanpa
sengaja sebenarnya. Hanya mengikuti alur yang semesta buat. Mengamati interaksi
siswa-siswiku dengan orangtuanya, kebiasaan teman-temanku dengan keluarganya di
rumah, membaca buku atau konten di medsos, mengajak diriku sendiri mengobrol
cukup lama, akhirnya aku menyadari sesuatu.
Aku menyampaikan
ke temanku yang sama dengan saat itu, “Aku baru sadar kalau aku tuh ternyata fatherless, jadi bisa dikatakan
sebenarnya jiwaku kesepian butuh kasih sayang. Dan aku akan mencari jiwa-jiwa
yang lain untuk mengisi.” Aku mengatakan ini ke temanku tidak dengan nada
sendu, tapi dengan ngakak. Merasa lucu aja menyebut jiwa yang kesepian wkkw
Ketika
itu aku merasa diriku baik-baik saja, tidak ada masalah psikis. Hanya perasaan
selalu ingin disayang yang menurutku menonjol. Dan perasaan inilah yang harus
aku kontrol. Tidak semua orang akan seperti apa yang aku harapkan. Dan kadang,
karena ada rasa berharap yang berlebihan, akhirnya bisa merembet kemana-mana over protective-nya.
Suatu
waktu aku hanya ingin menanyakan kabar seseorang yang menurutku enak diajak
ngobrol. Perlu diketahui, ngobrol dengan seseorang adalah caraku untuk
melupakan kesedihanku sendiri. Bukan menyelesaikan, tapi lebih pada menimbun
kesedihan. Aku mencoba menyelami kehidupan orang lain, untuk meminggirkan
sementara masalahku.
Tapi kali
itu entah kenapa, si orang ini tahu jika hatiku sedang diberati sesuatu. Lalu obrolan
kita beralih ke sesuatu yang lebih deep.
“Aku
tahu orang seperti Mbak Anik nggak mudah menaruh hati dengan laki-laki.”
Buru-buru
aku membalas pesan Wa-nya, “Nggak, Bun. Tidak seperti yang dikira. Aku baru
sadar kalau aku fatherless, dan itu
kenapa aku sangat mudah untuk menjatuhkan hati ke laki-laki di luar sana.”
“Mbak,
aku tuh juga fatherless, jadi aku tahu
banget rasanya. Merasa diri tidak layak.
Sehingga dengan mudah membuka hati untuk
siapa pun yang mau menerima kita. Kriteria mah soal belakangan. Kalau boleh
mutar waktu, mungkin aku nggak mau membuka hati untuk satu laki-laki pun sampai
benar-benar kutemukan dia yang sesuai kriteriaku.”
Pesannya
panjang kuterima. Dia masih melanjutkan mengetik, dan kutunggu di ruang obrolan
itu.
“Bukan
cuma soal laki-laki, efek fatherless
ini soal pertemanan juga. Aku punya bestie yang bertolak belakang sama aku. Meski
sering sakit hati aku tetap mau berteman dengan dia. Karna dia yang menerima
aku sebagai temannya. Jadi apa pun yang dia katakan kalau menyakiti, aku telen
aja. Karna aku selalu takut ditinggal
kan mbak. Jadi people pleaser
juga.”
Dan rasanya
apa yang dia katakan itu valid, kecuali masalah pertemanan. Beruntung, aku
tidak se-ngalah itu dengan temanku, jika kurasa toxic aku berani untuk keluar dari pertemanan macam ini. Dan bersyukurnya,
aku selalu dipertemukan dengan orang yang baik.
Dia mengetik
lagi membalas pesanku, “Mbak merasakan ini bukan karna mbak mau kok. Tapi
karena kondisi bertahun-tahun tanpa pengakuan dari seorang ayah bahwa kita
berharga sebagai perempuan. Tanpa menyalahkan siapa pun di sini ya, Mbak,
Orangtua zaman dulu struggle buat
makan dan bertahan hidup. Gak kayak sekarang yang mudah akses ilmu parenting.”
Lalu aku
bilang, “Aku perlu ke psikolog kayaknya, ya. Aku harus selesai dengan diriku
sendiri dulu sebelum menerima orang lain. Ngajar anak-anak aku jadi sadar,
kelak ketika mendidik anak aku harus menerima segala proses mereka. Pun juga
suamiku. Bagaimana aku bisa menerima proses orang lain, jika aku sendiri belum
menerima diriku sendiri.”
Aku merasa
ada banyak luka batin dalam diriku yang belum terkuak. Dan ngobrol dengan teman
satu ini membuat aku sadar, ternyata ada banyak hal yang keliru dalam sikapku
tapi aku nggak sadar kalau ternyata itu dampak pengasuhan.
“Mbak
beruntung menyadari ini sekarang. Bukan saat sudah menikah. Menyadari ada yang sakit adalah perjalanan
menuju penyembuhan. Dan betul, aku yang belum selesai dengan diriku sendiri
sangat berpengaruh terhadap penerimaanku sama suami dan anak.”
Aku
mencoba tanya ke teman-temanku yang pernah konsul ke psikolog, aku merasa perlu
mencari psikolog yang cocok. Setelah ngobrol sana sini akhirnya aku belum jadi
ke psikolog, karena sebenarnya yang bisa menyembuhkan diri kita adalah kita
sendiri. Psikolog itu hanya memandu, dan sepenuhnya ada di kita. Kupikir, kayaknya
belum dulu deh, sambil nyari siapa psikolog yang cocok.
Semenjak
saat itu aku banyak membaca buku serta nonton konten tentang fatherless dan innerchild. Makin mencari tahu makin merasa kaget karena isu psikis
seperti ini jarang kita sadari meski sudah menahun ada dalam diri kita.
Aku pun
juga kaget, selama ini aku tahu tentang isu ini, tapi aku tidak merasa
mengalaminya. Aku yang selama ini sibuk menyiapkan untuk anak-anakku. Berusaha belajar
menjadi orangtua yang baik dan mencari calon yang bisa diajak didik anak
bareng, agar tidak meninggalkan inner
child dalam diri mereka. Tapi lucu aja ya, aku sibuk menyiapkan masa depan
padahal ada masa kini dalam diriku yang harus dibenahi.
Setelah
menonton video di bawah ini, ternyata efek fatherless
itu sangat fatal. Aku masih beruntung, bapakku adalah orang yang baik, hanya
saja kurang hangat. Sesederhana itu, tapi kehangatan itu memberi dampak yang
besar untuk setiap orang.
Puncaknya,
aku masih ingat sekali ketika malam Nifsu Sya’ban. Jujur ketika itu aku tidak
mengamalkan apa-apa. Aku menonton film gratisan di web bioskoponline yang
berjudul Kejarlah Janji. Film tentang pilkades yang sarat makna dan dikemas
sederhana. Yang bikin aku nangis di film ini adalah interaksi antara ibu dan
anak perempuannya. Mereka bisa sehangat itu bercengkrama.
Setelah
itu aku sholat Isya’ biasa saja. Dzikir juga seperti biasanya tidak ada yang
kutambahi. Tapi entah kenapa, mungkin sisa kesedihan setelah nonton film masih
ada. Aku nangis sesenggukan sampai 2 jam ada sepertinya. Ke-flashback semua apa yang terjadi di masa
lalu bahkan masa kecilku.
Saat itu
aku jadi paham, rasanya banyak sekali kesalahan yang aku lakukan. Tanpa sadar
aku selama ini selalu berharap orang-orang yang datang di hidupku sama dengan
apa yang kumau. Jika tidak, aku akan mudah tersulut emosi dan
menyalah-nyalahkan. Aku yang tidak mudah percaya dengan sekelilingku. Takut mengalami
kehilangan, sampai akhirnya tidak pernah berani menggenggam terlalu erat tapi
membuat aku mudah untuk melepaskan. Takut akan segala kemungkinan buruk yang
aku buat-buat sendiri. Sangat suka dengan zona nyaman yang isinya diriku
sendiri.
Malam
itu rasanya bebanku semuanya lepas. Aku jadi paham atas segala yang terjadi. Aku
bisa memaklumi. Dan ternyata untuk tahun ini keputusan untuk memilih sendiri
adalah pilihan yang tepat.
Untuk
saat ini, aku hanya butuh Allah dan diriku sendiri.