facebook twitter instagram Tumblr

Anik's Blog

 

Menyadari ada yang sakit adalah perjalanan menuju penyembuhan. Kita tidak perlu terburu-buru membukakan pintu sebelum kita selesai dengan diri sendiri

“Kamu sadar nggak, orang yang datang dan pergi dari hidup kamu itu polanya sama.” Untuk kali pertamanya, ucapan dia membuat aku terdiam. Biasanya aku bisa merespon dengan cepat, kali ini berulang kali mencari jawaban yang pas, ternyata tetap tidak ada yang bisa kusuguhkan sebagai jawaban.

Bukan tanpa alasan dia mengatakannya, selama 10 tahun kita bersama dan aku banyak bercerita ke dia pasti dia mengamati sesuatu yang tidak aku sadari. 

“Oiya?” kataku kemudian hanya untuk memecah keheningan.

“Coba deh inget-inget. Kalau selalu sama, berarti penyebabnya juga sama dan itu yang harus diubah.” Ngobrol sama teman satu ini memang seringnya membuat aku berpikir keras, tapi aku suka. Sayangnya untuk kali ini, karena tidak kunjung menemukan jawaban akhirnya membuat aku kepikiran seharian.

Orang-orang yang seperti ini memang diperlukan sih, sering kali hidup kita ada banyak clue yang tersembunyi. Kalau kita belum juga menemukan benang merahnya, kita butuh bantuan orang lain. Tapi orang lain pun hanya punya kepingan puzzle dan kita sendiri yang harus menyelesaikannya.  

Obrolan di atas adalah obrolan yang sudah cukup lama. Mungkin dia sendiri juga lupa pernah mengatakannya kepadaku. Tapi aku tidak pernah berhenti mencari tahu. Tanpa sengaja sebenarnya. Hanya mengikuti alur yang semesta buat. Mengamati interaksi siswa-siswiku dengan orangtuanya, kebiasaan teman-temanku dengan keluarganya di rumah, membaca buku atau konten di medsos, mengajak diriku sendiri mengobrol cukup lama, akhirnya aku menyadari sesuatu.

Aku menyampaikan ke temanku yang sama dengan saat itu, “Aku baru sadar kalau aku tuh ternyata fatherless, jadi bisa dikatakan sebenarnya jiwaku kesepian butuh kasih sayang. Dan aku akan mencari jiwa-jiwa yang lain untuk mengisi.” Aku mengatakan ini ke temanku tidak dengan nada sendu, tapi dengan ngakak. Merasa lucu aja menyebut jiwa yang kesepian wkkw

Ketika itu aku merasa diriku baik-baik saja, tidak ada masalah psikis. Hanya perasaan selalu ingin disayang yang menurutku menonjol. Dan perasaan inilah yang harus aku kontrol. Tidak semua orang akan seperti apa yang aku harapkan. Dan kadang, karena ada rasa berharap yang berlebihan, akhirnya bisa merembet kemana-mana over protective-nya.

Suatu waktu aku hanya ingin menanyakan kabar seseorang yang menurutku enak diajak ngobrol. Perlu diketahui, ngobrol dengan seseorang adalah caraku untuk melupakan kesedihanku sendiri. Bukan menyelesaikan, tapi lebih pada menimbun kesedihan. Aku mencoba menyelami kehidupan orang lain, untuk meminggirkan sementara masalahku.

Tapi kali itu entah kenapa, si orang ini tahu jika hatiku sedang diberati sesuatu. Lalu obrolan kita beralih ke sesuatu yang lebih deep.

“Aku tahu orang seperti Mbak Anik nggak mudah menaruh hati dengan laki-laki.”

Buru-buru aku membalas pesan Wa-nya, “Nggak, Bun. Tidak seperti yang dikira. Aku baru sadar kalau aku fatherless, dan itu kenapa aku sangat mudah untuk menjatuhkan hati ke laki-laki di luar sana.”

“Mbak, aku tuh juga fatherless, jadi aku tahu banget rasanya. Merasa diri tidak layak. Sehingga dengan mudah membuka hati untuk siapa pun yang mau menerima kita. Kriteria mah soal belakangan. Kalau boleh mutar waktu, mungkin aku nggak mau membuka hati untuk satu laki-laki pun sampai benar-benar kutemukan dia yang sesuai kriteriaku.”

Pesannya panjang kuterima. Dia masih melanjutkan mengetik, dan kutunggu di ruang obrolan itu.

“Bukan cuma soal laki-laki, efek fatherless ini soal pertemanan juga. Aku punya bestie yang bertolak belakang sama aku. Meski sering sakit hati aku tetap mau berteman dengan dia. Karna dia yang menerima aku sebagai temannya. Jadi apa pun yang dia katakan kalau menyakiti, aku telen aja. Karna aku selalu takut ditinggal kan mbak. Jadi people pleaser juga.”

Dan rasanya apa yang dia katakan itu valid, kecuali masalah pertemanan. Beruntung, aku tidak se-ngalah itu dengan temanku, jika kurasa toxic aku berani untuk keluar dari pertemanan macam ini. Dan bersyukurnya, aku selalu dipertemukan dengan orang yang baik.

Dia mengetik lagi membalas pesanku, “Mbak merasakan ini bukan karna mbak mau kok. Tapi karena kondisi bertahun-tahun tanpa pengakuan dari seorang ayah bahwa kita berharga sebagai perempuan. Tanpa menyalahkan siapa pun di sini ya, Mbak, Orangtua zaman dulu struggle buat makan dan bertahan hidup. Gak kayak sekarang yang mudah akses ilmu parenting.”

Lalu aku bilang, “Aku perlu ke psikolog kayaknya, ya. Aku harus selesai dengan diriku sendiri dulu sebelum menerima orang lain. Ngajar anak-anak aku jadi sadar, kelak ketika mendidik anak aku harus menerima segala proses mereka. Pun juga suamiku. Bagaimana aku bisa menerima proses orang lain, jika aku sendiri belum menerima diriku sendiri.”

Aku merasa ada banyak luka batin dalam diriku yang belum terkuak. Dan ngobrol dengan teman satu ini membuat aku sadar, ternyata ada banyak hal yang keliru dalam sikapku tapi aku nggak sadar kalau ternyata itu dampak pengasuhan.

“Mbak beruntung menyadari ini sekarang. Bukan saat sudah menikah. Menyadari ada yang sakit adalah perjalanan menuju penyembuhan. Dan betul, aku yang belum selesai dengan diriku sendiri sangat berpengaruh terhadap penerimaanku sama suami dan anak.”

Aku mencoba tanya ke teman-temanku yang pernah konsul ke psikolog, aku merasa perlu mencari psikolog yang cocok. Setelah ngobrol sana sini akhirnya aku belum jadi ke psikolog, karena sebenarnya yang bisa menyembuhkan diri kita adalah kita sendiri. Psikolog itu hanya memandu, dan sepenuhnya ada di kita. Kupikir, kayaknya belum dulu deh, sambil nyari siapa psikolog yang cocok.

Semenjak saat itu aku banyak membaca buku serta nonton konten tentang fatherless dan innerchild. Makin mencari tahu makin merasa kaget karena isu psikis seperti ini jarang kita sadari meski sudah menahun ada dalam diri kita.

Aku pun juga kaget, selama ini aku tahu tentang isu ini, tapi aku tidak merasa mengalaminya. Aku yang selama ini sibuk menyiapkan untuk anak-anakku. Berusaha belajar menjadi orangtua yang baik dan mencari calon yang bisa diajak didik anak bareng, agar tidak meninggalkan inner child dalam diri mereka. Tapi lucu aja ya, aku sibuk menyiapkan masa depan padahal ada masa kini dalam diriku yang harus dibenahi.

Setelah menonton video di bawah ini, ternyata efek fatherless itu sangat fatal. Aku masih beruntung, bapakku adalah orang yang baik, hanya saja kurang hangat. Sesederhana itu, tapi kehangatan itu memberi dampak yang besar untuk setiap orang.

 



Puncaknya, aku masih ingat sekali ketika malam Nifsu Sya’ban. Jujur ketika itu aku tidak mengamalkan apa-apa. Aku menonton film gratisan di web bioskoponline yang berjudul Kejarlah Janji. Film tentang pilkades yang sarat makna dan dikemas sederhana. Yang bikin aku nangis di film ini adalah interaksi antara ibu dan anak perempuannya. Mereka bisa sehangat itu bercengkrama.

Setelah itu aku sholat Isya’ biasa saja. Dzikir juga seperti biasanya tidak ada yang kutambahi. Tapi entah kenapa, mungkin sisa kesedihan setelah nonton film masih ada. Aku nangis sesenggukan sampai 2 jam ada sepertinya. Ke-flashback semua apa yang terjadi di masa lalu bahkan masa kecilku.

Saat itu aku jadi paham, rasanya banyak sekali kesalahan yang aku lakukan. Tanpa sadar aku selama ini selalu berharap orang-orang yang datang di hidupku sama dengan apa yang kumau. Jika tidak, aku akan mudah tersulut emosi dan menyalah-nyalahkan. Aku yang tidak mudah percaya dengan sekelilingku. Takut mengalami kehilangan, sampai akhirnya tidak pernah berani menggenggam terlalu erat tapi membuat aku mudah untuk melepaskan. Takut akan segala kemungkinan buruk yang aku buat-buat sendiri. Sangat suka dengan zona nyaman yang isinya diriku sendiri.

Malam itu rasanya bebanku semuanya lepas. Aku jadi paham atas segala yang terjadi. Aku bisa memaklumi. Dan ternyata untuk tahun ini keputusan untuk memilih sendiri adalah pilihan yang tepat.

Untuk saat ini, aku hanya butuh Allah dan diriku sendiri.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

"Semakin ke sini aku semakin paham, semua proses dalam hidup kita adalah perjalanan untuk mengenal Allah dan menemukan diri kita. Rasanya memang benar, kita tidak perlu membanding-bandingkan hidup dengan orang lain karena setiap dari kita sedang berjuang di garis masing-masing."

Selepas Sholat Maghrib, aku dan ibu duduk bersebelahan menikmati dzikir masing-masing. Ekor mataku sesekali menangkap gerakan ibu yang berulang kali mengusap air mata. Dan terdengar suara isak tangis yang lirih. Mungkin beliau sedang berusaha menahan tapi karena jarak kami sangat dekat, aku tetap bisa mendengarnya samar-samar.

Kulanjutkan dzikirku, kubiarkan ibu  melepaskan tangisnya. Lalu setelah sudah selesai, aku menghadap ke arah beliau, merangkulnya, lalu bertanya, “Kenapa, Bu?”

Tangis beliau langsung pecah dan menceritakan apa yang membuatnya sendu hari ini. Aku memeluknya dengan erat, mengucapkan sepatah dua patah kata untuk menenangkan. Beliau tetap bercerita panjang lebar, mengulang kembali cerita masa kecilnya yang tidak mengenakkan. Penuh dan perjuangan dan jauh dari kata bahagia rasanya kudengar.

Kuusap punggung beliau dan membesarkan hatinya dengan kalimat yang kuharap bisa menjadi penyejuk jiwanya saat ini. “Ibu tuh selama ini sudah hebat. Membesarkan anak cucu sampai di titik ini juga bukan perjuangan yang mudah. Nggak semua orang bisa di posisi ibu.”

Ketika itu mataku memanas, ada genangan air mata yang kutahan. Kutenangkan diriku, aku tidak ingin suaraku terdengar bergetar. Sejujurnya, selain rasa sedih karena melihat wanita yang kuncintai sedang tidak baik-baik saja, aku juga sedang mengambil jatah sombong.

Aku sedang kagum dengan diriku sendiri. Anik, yang dulu pernah menghabiskan setiap malam untuk menangis karena tidak terima dengan orangtua, sekarang bisa berdamai dan berempati untuk menenangkan orang yang pernah meninggalkan inner child dalam diri.

“Aku nggak nyangka ada di titik ini,” kataku pada diri sendiri.

Tapi memang benar, untuk bijak dalam segala sesuatu kita harus menggunakan helicopter view dalam melihat permasalahan. Tidak cukup hanya mengandalkan sudut pandang kita yang lebih banyak ke-subjektif-annya.

Butuh waktu yang lama untuk aku bisa memahami sudut pandang orangtuaku dan menerimanya. Bahkan, sampai aku bisa berempati dengan beliau.

Titik puncak ikhlasku adalah ketika aku sudah mampu mendoakan agar Allah mengampuni segala dosa orangtuaku. Apapun kesalahannya adalah ketidaktahuannya. Bahkan aku sampai bilang kepada Allah, hamba bersaksi bahwa mereka adalah orang baik, ya Allah. Jangan berikan siksa yang pedih untuk beliau. Hamba mohon masukkan mereka ke dalam surga tanpa hisab atas segala perjuangan yang telah mereka lakukan. Tolong, jangan azab mereka atas segala kesalahan yang telah terjadi. Maklumi semua yang terjadi atas ketidaktahuannya.

***

Rumah tangga orangtuaku adalah rumah tanga yang bisa dikatakan harmonis. Tidak pernah di depan anak-anaknya, mereka bertengkar atau terlihat berseteru. Aku bisa melihat mereka adalah satu kesatuan, partner tektok yang tepat dikatakan “sepasang”. Karena makin dewasa, aku makin takut jika salah satu dari mereka ‘berpulang’ dan tidak sanggup melihat salah satu dari mereka patah hati karena kehilangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bapak tanpa ibu, begitu juga sebaliknya. Tidak ada obat yang bisa kutawarkan untuk orang yang kehilangan selain berdamai dengan rasa kehilangan itu sendiri.

Tapi, luka masa kecil mereka yang masih tertinggal dalam tubuh dewasa mereka lah yang mengubah cara pandangku berbeda.

Anik tumbuh dengan limpahan perhatian tapi dengan ungkapan kasih sayang yang implisit. Menurut bapak, memberi nafkah dan memenuhi segala kebutuhan anak istrinya adalah bentuk cinta tanpa syarat. Namun sayangnya, beliau lupa hati anaknya harus diisi dengan pujian dan rengkuhan pelukan. Beliau mungkin juga tidak tahu, putrinya butuh disediakan telinga untuk menampung segala cerita. Putrinya ingin menjadi pemenang satu-satunya yang bertahta dalam hati beliau dengan cara ditatap di sela obrolan mendalam dan disentuh sekali-kali.

Aku tahu, masa kecil ibu penuh dengan perjuangan untuk bertahan hidup. Ada banyak keputusan yang tidak bisa diambil dalam keterbatasan. Tapi sayangnya, Anik kecil dulu tidak mau tahu itu semua. Yang ingin aku tahu ibu adalah menjadi rumah yang hangat. Memelukku sambil mendongengkan cerita sebelum tidur. Menjadi penenang ketika dunia makin terasa tidak adil dengan segala dramanya. Mengenalkan dunia dengan sudut pandang yang menyenangkan.

Makin dewasa, makin banyak figur orangtua dari orang lain aku jadi membanding-bandingkan. Makin banyak belajar parenting, makin pandai rasanya aku mencari kesalahan orangtuaku. Dan makin dalam aku menggali lukaku sendiri. Sampai akhirnya lukaku menganga begitu lama tanpa pernah kutahu apa obatnya. Puncak dari rasa kekecewaan itu adalah masa kuliah. Makin mengenyam pendidikan, aku makin merasa lebih benar dari orangtuaku.

Setiap hari menjalani hari dengan diberati rasa kecewa yang kubangun sendiri. Tapi syukurnya, aku tidak pernah mengungkapkan ini kepada siapa pun, pun juga orangtuaku. Di mata mereka, aku masih menjadi anak yang manis sikapnya. Tapi mereka tidak pernah tahu bahwa malam adalah milikku, waktu untuk menghabiskan persediaan air mata. Kukira semakin mengurasnya akan semakin berkurang kesedihanku, tapi ternyata makin menumpuk tanpa pernah terurai solusinya.

Dan untuk hati, memang benar waktu lah yang akan menyembuhkan. Tapi tentu, bukan hanya berpasrah. Kita berusaha untuk lebih mendekati Allah. Memohon agar Allah memberi kesembuhan atas hati yang telah remuk berkeping-keping. Aku bersyukur, kala itu Allah memberiku pemahaman, bahwa surga tidak akan pernah terbuka untuk aku yang membenci orangtuaku sendiri. Itulah yang membuatku bertahan untuk terus tetap berbuat baik kepada beliau-beliau.

Lalu akhirnya, Allah memberikan kelembutan hati padaku ketika aku mendengarkan cerita ibu. Ibu berkisah tentang beratnya takdir yang harus dijalani. Tentang kakak perempuanku yang rumah tangganya bermasalah, kakak laki-lakiku sedang repot mengurusi pernikahan, dan aku yang sedang terkena masalah ketika itu. Itu semua harus dihadapi beliau dalam satu waktu tanpa aku tahu.

Detik itu juga kebencianku serasa runtuh. “Bu, boleh aku pinjam hatimu sebentar saja?” ingin rasanya aku berkata seperti itu saat itu.

Ternyata menjadi orangtua tidak mudah. Sampai kapan pun nanti, kami anak-anaknya tetap menjadi anak kecil untuk mereka. Tanggung jawab orangtuaku ternyata berat. Aku yang selama ini tidak tahu-menahu hanya sibuk menyalah-nyalahkan.

Dan akhirnya ke-flashback semua yang terjadi. Tahun 2014 ketika aku menjadi maba, aku sibuk ngurus berkas untuk verifikasi daftar ulang di suatu kampus. Aku hanya butuh waktu beberapa jam untuk mengurus berkas, sedangkan aku juga harus berkemas untuk pindahan ke kota yang waktu tempuhnya 8-10 jam dari domisili. Akhirnya, tanpa ada pembagian tugas, dengan sendirinya bapak mengemas barang-barangku, ibu menyiapkan bekal buka puasa dan sahur aku dan bapak di jalan. Karena saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Bapak menemani segala prosesku sampai aku dapat kos.

Lalu 5 bulan di perantauan, aku sakit infeksi lambung. Setelah Shubuh kutelfon, bapak langsung berangkat ke Jember menjemputku. Sesampainya di sana, hanya makan dan sholat, bapak langsung kembali ke Kediri membawaku. Aku opname di rumah sakit. Ibu menunggu dan mengurusiku seharian, dan bapak menjengukku setelah selesai bekerja sampai malam. Seminggu opname, akhirnya aku sembuh. Aku harus kembali ke kampus. Karena aku belum pernah perjalanan sendiri ke tempat yang jauh, bapak mencoba untuk mengajariku mandiri. Mengantar sampai di terminal Surabaya untuk transit, mencarikan aku bus, menungguiku sampai busku berangkat ke Jember. Aku ingat sekali, ketika aku pamitan mencium tangan beliau aku menangis. Sedih karena akan jauh dari orangtua dan takut harus pergi sendiri. Aku tahu pasti beliau tidak tega denganku ketika itu, tapi aku sangat paham beliau harus melakukan itu agar tidak ketergantungan kemana-mana harus diantar. Dan nyatanya, sekarang aku menjadi Anik yang mandiri berani kemana-mana sendiri, bahkan sampai sekarang aku tinggal di tempatku sendiri.

Ketika sadar akan segala kebaikan beliau, ingin rasanya aku membodoh-bodohi diriku sendiri. Kenapa bisa, aku sebuta itu dengan cinta mereka?

Aku tahu, mereka tidak sehangat orangtua yang lain, ada banyak cara marah mereka yang keliru, ada banyak cara mendidik mereka yang tidak relevan lagi saat ini.

Tapi Ust. Oemar Mita menyampaikan, maafkan orangtua kita, agar kelak kita juga dimaafkan anak-anak kita. Jangan sampai kita sibuk melihat keburukan keluarga kita, sampai kita lupa untuk mensyukuri hal baik di dalamnya.

Aku juga jadi sadar, kalau pengen salah-salahan, seharusnya nenek moyang yang harus disalahkan. Karena orangtuaku adalah produk parenting zaman dulu.

Tapi, yang bisa dilakukan sekarang adalah memutus rantai kesalahan itu.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Sejak tahun 2019 aku mengenal Zero Waste melalui Instagram. Aku lupa bagaimana awalnya hatiku bisa tersentuh untuk beralih hidup dengan minim sampah. Meski dulu dari sekolah dasar aku mendapat materi tentang reuse, recycle, atau reduce, pada akhirnya materi itu hanya berakhir di bangku sekolah. Karena tidak ada percontohan dalam kehidupan sehari-hari. Baru di tahun 2019 itu aku menyadari ini ternyata yang dimaksud materi IPA-ku dulu.

Dari situ mulai pelan-pelan membaca kantong belanja sendiri, bawa kotak makan ketika membeli jajan atau makanan. Lalu akhirnya berlanjut sampai sekarang menggunakan sedotan stainless steel, sabun alami lerak, membuat eco enzyme dan lainnya.

Lalu entah tahun berapa dan bagaimana awal mulanya aku jadi kenal dengan Jurus Sehat Rasulullah (JSR) di akun dokter @Zaidulakbar. Memulai untuk memperbaiki apa yang kita makan, tidak hanya halal namun juga thoyyib. Mengobati suatu penyakit juga menggunakan herbal, tidak langsung dengan obat-obatan.

Aku juga jadi tahu tentang pentingnya menanam dan beternak dari akun Instagram @Britaniasari. Beliau memberikan pembekalan pada warga sekitar untuk menanam mandiri di depan rumah agar bisa mengurangi biaya belanja dan bisa makan sayuran organik.

Semakin berjalannya waktu aku jadi menemukan banyak akun yang campaign hidup sehat dengan berbagai macam rupa. Entah itu ada yang membuat konten tentang makanan, olahraga, atau kesehatan hati. Hingga hari ini aku menemukan konten Instagram milik mbak Diana Hemas tentang grounding/nyeker yang memiliki banyak manfaat baik untuk tubuh entah itu balita sampai dewasa.


View this post on Instagram

A post shared by Diana Hemas Sari (@dianahemass)

Segala hal yang kutemukan tersebut membuat aku berpikir ternyata semakin maju peradaban, membawa kita pada kehidupan yang memang menawarkan banyak kemudahan tapi juga banyak mudharat-nya. Contoh kecil saja tentang mencuci menggunakan detergen, efeknya adalah bisa mencemari perairan. Dan baju yang sering terkontaminasi dengan zat kimia lalu menempel di kulit kita juga akan berbahaya untuk kesehatan. Kita belum membicarakan deodoran, parfum, sabun mandi, dan lain sebagainya. Lalu tentang grounding, salah satu followers Mbak Diana Hemas menceritakan ada seorang kakek yang setiap hari ke sawah dengan nyeker, beliau sehat sampai usianya 100 tahun lebih. Urusan umur memang ada di tangan Allah, tapi sebagai manusia tugas kita adalah berikhtiar untuk menjaga titipan tubuh ini, bukan?

Ditambah lagi pagi ini aku menonton video tentang Kampung Naga di Tasikmalaya yang masih kental dengan ke-tradisionalannya. Kampung ini menolak masuknya lampu dan teknologi. Bahkan, rumah mereka terbuat dari kayu, bambu, atap dari ijuk dan sabut, lalu bagian bawah dilandasi dengan batu. Ketika daerah tersebut gempa, rumah mereka aman karena pondasinya tidak ditanam di dalam tanah. Keren, ya.



Dari sini aku semakin penasaran bagaimana detailnya nenek moyang kita dulu hidup. Mereka yang menggantungkan hidup dari alam, tapi hidup mereka sehat dan usianya lebih panjang. Dulu belum banyak muncul berbagai macam penyakit karena makanan mereka masih real food seperti buah, ubi, jagung, dan lainnya, bukan malah makanan yang sudah banyak diproses seperti sekarang.

Semakin ke sini hidup semakin mudah, tapi membuat manusia semakin bergantung dengan cara instans sehingga mengurangi gerak tubuh yang akhirnya menimbulkan masalah kesehatan.

Dan sekarang hidup minimalis, zero waste adalah moto hidup yang digaung-gaungkan dan mungkin menjadi trend di masa depan karena melihat masalah masa kini yang sudah semakin kompleks.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Mungkin ada dua tahun terhitung aku tidak menulis dan mengunjungi blog ini. Lagi-lagi kesepian yang membuatku kembali lagi ke sini. Sebelum menulis postingan ini, aku melihat sejenak beberapa tulisan teman lama. Dulu ada beberapa yang suka menulis kejombloannya di blog, lalu sekarang ternyata sudah menikah aja. Ternyata waktu berjalan sangat cepat.

Berulang kali refleks bilang ke diri sendiri, aku masih gini-gini aja. Segera kutepis pernyataan itu. Mungkin kalau dibandingkan dengan orang lain, aku akan kalah jauh. Banyak teman yang sudah menikah, memiliki anak, kerja di BUMN, jadi PNS, punya usaha, atau bahkan sudah punya rumah sendiri. Sedangkan aku, belum menjadi salah satu yang aku sebutkan di atas.

Tetapi pencapaian itu ada yang adakalanya juga bukan hanya tentang materi, tapi juga perihal kedewasaan. Lebih baik memang aku tidak membandingkan diriku dengan yang lain, tapi dengan diriku yang sebelumnya.

Untuk menjadi Anik yang sekarang, aku harus melewati perjalanan yang sangat terjal. Allah lebih tahu untuk mengasah mentalku memang harus dengan ujian yang berat. Diuji dengan kehilangan, rasa takut, sakit, dan lain sebagainya. Ternyata itu semua mencetak Anik yang sekarang yang jauh berbeda dengan Anik dulu yang labil, emosional, dan tergesa-gesa. Meski sekarang Anik juga masih akan terus berproses untuk menjadi lebih baik lagi.

Bagaimana aku bisa menjadi seorang istri, ibu, pengusaha, atau berhasil memiliki rumah sendiri, jika aku saja masih labil dan childish. Allah lebih tahu, yang aku butuhkan saat ini adalah perbaikan diri dulu. Bukan harta, jabatan, atau kebahagiaan duniawi yang semu.

Di usia 25 tahunku di 2 tahun lalu rasanya takdir seakan bilang, “Selamat datang di hidup yang sesungguhnya.”

Ternyata ya memang benar, menjadi dewasa tidak semulus yang aku dulu kira. Tapi bukan berarti, menjadi anak-anak akan terus menyenangkan. Apapun itu, proses dalam hidup ini tidak perlu disesali. Mau tidak mau, suka tidak suka, hidup akan terus berlanjut dengan segala tantangannya.

 Anik, tulisan pertama di tahun 2023.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hasil event antologi


Cover antologi cerpen 

*) Cerpen ini pernah diikutkan di Event Antologi Cerpen di Pusaka Media. Buku ini antologi pertama dengan teman-teman sekerjaan di Yayasan Bina Insani

Aku duduk dengan gusar di lantai kamar. Memandangi monitor laptop yang sedari tadi menyala, tapi pikiranku bergerilya kemana-mana. Kamar berantakan dengan tumpukan buku paket, laptop, dan berbagai macam kabel yang kugunakan pembelajaran online sejam yang lalu. Hatiku tidak kalah berantakan melihat segelintir daftar siswa yang mengerjakan tugas. Kini ruang belajar yang  berpindah digital tak ubahnya seperti ruang kosong yang menggaungkan suaraku yang mengudara. Setiap hari seperti penyiar radio yang berkata-kata di tengah lalu lalang kesibukan manusia. Padahal mereka dari kalangan menengah ke atas yang segala kebutuhan pembelajarannya terpenuhi. Gadget bagus dan sinyal wifi yang kecepatannya tak diragukan lagi.

Berbicara tentang gadget dan sinyal, ingatanku jadi melompat jauh ke masa lima tahun silam di tanah pedalaman Kepulauan Sula, Maluku. Tempat dimana hatiku telah sengaja kutinggalkan di sana sebagai relawan pengajar muda. Aku ingin mengais masa lalu di waktu sepagi ini. Masih terekam jelas ketika aku mengajar anak-anak di ruang kelas yang temboknya sudah retak di banyak bagiannya. Sinar matahari masuk ke ruang kelas melalui beberapa celah atap yang lubang. Aku masih ingat bagaimana awal di sana, mereka menyambutku dengan wajah polos dan tanpa alas kaki. Pertama mengajar, mereka duduk rapi memperhatikan. Kukenalkan pada mereka tentang apa itu profesi dan berbagai macam profesi di luar sana. Karena selama ini yang familiar di mata mereka adalah petani, nelayan, dan pedagang. Di mata mereka, guru adalah kasta tertinggi yang harus dihormati. Aku diperlakukan bak perdana menteri yang kemana-mana dilindungi, selalu mendapat bagian dari makanan apapun yang mereka punya.

Kupikir dengan bersenang-senang sebentar mengingat mereka bisa meredakan pilu yang tengah memasuki hati tanpa permisi. Nyatanya, seperti menabur garam pada luka, menambah perih karena semakin rindu dengan mereka. Mataku becek. Ada genangan yang kutahan, tapi lama-lama jatuh juga, kubiarkan.

Aku berada di titik lelah. Pikiran carut-marut dengan kondisi pandemi yang mengharuskan berdiam diri di rumah, beradaptasi dengan pembelajaran online, dan para murid yang tidak bisa diajak berkompromi di keadaan serumit ini.

Kuhapus mata yang membasah dengan kasar, segera bangkit dari tempat duduk, dan bersiap-siap berangkat untuk mengikuti rapat guru di sekolah.

----

Semua guru duduk di ruang guru dengan jarak satu meter. Kita tetap menggunakan masker meski sedikit pengap. Rapat untuk membahas evaluasi pembelajaran online seminggu ini dimulai oleh kepala sekolah.

"Masih ada banyak anak yang tidak mau menyalakan video ketika pembelajaran, sebelum selesai mereka juga sudah keluar, tugas sama sekali tidak dikerjakan." Bu Aminah membuka suara yang pertama kali di evaluasi ini, lalu semua guru terlihat manggut-manggut menandakan ucapan beliau mewakili apa yang guru-guru alami. Tak terkecuali aku, sangat mengamini ucapan beliau.

Bu Aminah, guru tertua di sekolah ini pun juga tidak dihargai oleh mereka. Apalagi aku, guru yang masih kemarin sore masuk ke sekolah ini. Lagi dan lagi upaya pembenahan sistem pembelajaran online terus kami benahi agar anak-anak tak memiliki celah untuk berulah. Rapat diakhiri, guru-guru berjalan keluar. Tapi aku dan Bu Afifah masih terpaku di tempat duduk masing-masing. Kulihat beliau sibuk dengan laptopnya, entah apa yang sedang dikerjakan.

"Bu, masih sibuk?" tanyaku hati-hati. Beliau lebih tua lima tahun di atasku. Karena meja kami di ruang guru dekat, hubungan kami juga semakin akrab karena sering mengobrol.

"Tadi ngecek siswa yang mengirim tugas, tapi sekarang sudah selesai. Bu Hana apa kabar?" Beliau mengemasi laptopnya ke dalam tas sambil sesekali menoleh ke arahku dengan mengulas senyum.

"Agak kurang enak hati hari ini." Ada tertawa kecil yang kupaksakan, agar terlihat apa yang kukatakan seperti bahan guyonan. Padahal sebenarnya aku ingin membuka ruang obrolan dengan beliau.

"Kenapa?" Selesai mengemasi barangnya, beliau memposisikan tubuhnya menghadap ke arahku. Terlihat beliau seolah siap melebarkan telinga.

"Sedang di titik jenuh ngajar, Bu. Bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja ngajar di rumah. Apalagi anak-anak yang makin lama makin berulah." Beliau masih diam, matanya bertemu pandang denganku. Wajahnya meneduhkan seperti ruang nyaman untuk berbagi cerita. Beliau selalu terlihat antusias dengan apapun yang kuceritakan. Tapi kali ini tidak seperti biasanya, Bu Afifah membuka suara sebelum aku bercerita terlalu panjang.

"Bosan itu sebuah keniscayaan, apalagi di masa rumit seperti ini. Saya sendiri sedang membagi pikiran saya untuk sekolah dan keluarga. Suami yang kena PHK, anak yang biaya sekolahnya melangit, dan anak kedua saya sedang sakit." Beliau menutup ceritanya dengan senyum, tapi guratan kesedihan tetap tak bisa ditutupi. Ada sendu yang menggantung di wajah kuning langsatnya.

Aku diam seketika itu juga. Cerita yang ingin kulisankan tersangkut di tenggorokan. Tidak ada yang berhasil kuceritakan.

Padahal sebenarnya aku ingin bercerita tentang murid-muridku dulu. Mereka yang keterbatasan fasilitas di pedalaman tapi antusias belajar dan menghargai gurunya. Meski tanpa sinyal, mereka tetap belajar dengan apapun yang ada di sekitarnya.

Tentang Dawan, murid di sana yang terhitung lambat dalam menangkap materi, tapi yang kusuka dia selalu antusias untuk bertanya. Begitu juga ibu mereka yang begitu baik, entah hasil kebun apapun yang dipunya selalu diberikan kepadaku.

Aku masih ingat sekali ketika ada PR matematika, anak-anak belum juga bisa mengerjakan. Pukul 7 malam ada yang mengetuk pintu rumah orangtua asuhku di sana. Ternyata dia dan beberapa kawannya datang untuk meminta penjelasanku. Jelas aku sangat kaget, selepas senja pulang ke peraduannya tidak ada lagi cahaya di sana selain sinar rembulan. Mereka datang membawa seberkas cahaya dari lampu minyak. Sekitar sejam kemudian tugas mereka sudah selesai, kuminta mereka menginap saja. Aku khawatir terjadi apa-apa ketika mereka menempuh jarak 5 KM di tengah kegelapan seperti ini.

"Tak apa-apa, kita sudah terbiasa seperti ini," ucapnya memperlihatkan keberaniannya lalu bersama dengan kawannya yang lain berlari kecil menembus malam yang semakin pongah memperlihatkan gelapnya.

Air mataku luruh kala itu, keberadaanku di sana bagi mereka sangat berarti. Meski berkawan dengan gelap, tapi semangat mereka selalu menyala. Sedangkan di kota, aku merasa tak lebih berarti dari mesin pencarian google yang lebih dipercaya anak-anak untuk menjadi teman belajarnya.

Ingin rasanya tadi mengeluh di depan Bu Afifah agar sedihku mereda, nyatanya secara tidak langsung beliau mengajariku untuk bersyukur atas keadaan yang tidak lebih pelik dari masalahnya. Harusnya aku menyadari, setiap tempat pasti ada tantangannya. Harusnya aku juga memahami, tidak hanya aku yang lelah, tapi murid-muridku juga jenuh diposisikan keadaan seperti ini. Dan harusnya aku terpacu untuk belajar menjadi guru yang lebih baik lagi.

 

Tentang Penulis

Anik Cahyanik, dipilih menjadi nama pena oleh gadis yang saat ini berjalan menuju usia seperempat abad. Lulusan Pendidikan Ekonomi yang kesasar di jalan yang benar di dunia  dapodik sekolah SDIT Bina Insani Kota Kediri. Belajar menjadi bermanfaat dengan menulis di akun instagram @kinachay dan blog anikcahyanik.blogspot.com.

 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

            Berat untuk diakui bahwa ini tulisan pertama di tahun 2021 yang benar-benar sengaja ditulis untuk blog ini. Berlalu sudah separuh jalan tahun ini terlalui, blog ini baru tersentuh. Jahat betul rasanya aku ini, membiarkan tempat pulang bersarang tak terurus. But, aku lagi kangen. Kangen dengan diriku sendiri yang melipir ke kamar untuk selftalk. Kemarin-kemarin rasanya pikiran terlalu riuh sampai aku lupa bertanya dengan diriku sendiri, “Sebenarnya apa sih yang kamu rasakan?”

          Tahun 2021 hadir dengan segala kejutannya. Tahun ini adalah titik balik terbesar yang membuat mataku terbukakan tentang hidup yang sebenarnya. Wiiis, sok dewasa banget euy. Padahal masih baru jadi anak kemarin sore merasakan garam kehidupan. Wkwkw

          Nggak nyangka, Allah masih memberiku usia dan kesehatan sampai saat ini hingga akhirnya masih bisa menikmati oksigen dengan bebasnya. Aku memasuki dunia seperempat abad yang membuat pikiran makin penuh dengan pertanyaan hidup.

          Sejujurnya, selain kangen dengan diriku sendiri, tiba-tiba aku kangen dengan dunia perkuliahan yang memaksaku untuk bikin makalah, presentasi, atau baca buku teori. Aneh ya, padahal dulu ngebet banget pengen cepet lulus biar bebas dari segala macam tugas yang menjemukan. Sekarang giliran aku sudah di titik waktu yang pernah kuinginkan, aku dibuat kangen oleh masa lalu.

          Salah satu keinginan ingin lulus waktu itu biar aku bisa baca novel sepuasnya tanpa dihantui tumpukan buku teori yang melambai-lambai untuk kubaca. Tapi nyatanya, setelah lulus aku jadi makin suka baca buku teori. Nyesel gitu kenapa fasilitas kampus yang menyediakan buku fisik sebegitu banyak dan bagusnya nggak kumanfaatin waktu itu. Kenapa aku cuma tertarik dengan dunia pernovelan yang ternyata makin ke sini aku makin nggak tertarik lagi.

          Oke, gapapa. Aku masih tetap bisa menjangkau bacaan yang kuinginkan. Aku masih bisa membaca buku apapun yang aku sukai dimana pun dan kapan pun. Akan tetapi, rasanya hanya membaca buku tanpa masuk ke ruang diskusi dan menuliskan apa yang telah kita baca itu rasanya hambar. Dulu ngerasa puas banget setelah bikin makalah dan mempelajari isinya terus presentasi dan tanya jawab di ruang kelas. Ya gimana ya, merasa dapat asupan tambahan untuk otakku. Seneng aja gitu bisa ngomong depan orang-orang meski diliputi detak jantung yang berkejaran, keringat dingin, dan tangan yang gemeteran karena dilihatin dosen. Wkwk

          Itu dia alasanku kembali ke blog ini. Iya, mungkin emang sekarang aku belum mendapat kesempatan untuk di posisi seperti itu lagi. Tapi kenapa nggak kumanfaatin blog ini sebagai tempat nulis untuk menampung apa-apa yang pernah aku baca dan terbesit di pikiran. Sebenarnya sudah bikin akun instagram sih yang bahas khusus perbukuan, tapi lama nggak keurus. Komitmennya nih yang harus dikencengin. Sudah gabung di grup menulis juga kan, niatnya nih yang harus dilurusin.

          Terlepas dari hal itu tadi, ada hal besar yang menohokku berulang kali. Apakah itu? Tentang Sadar Penuh Hadir Utuh. Istilah ini aku dapat dari Mas Adjie Santosoputro yang fokus tentang pembahasan Mindfullness.

Source: Google

          Aku tuh sering pas di masa sekarang pengen cepet-cepet ke masa depan. Penasaran di masa depan aku seperti apa dan akan bertemu siapa. Tapi ketika di masa depan, aku jadi kangen dan pengen balik ke masa lalu. Ada banyak hal di masa lalu yang baru saja kusadari dan pahami ketika sudah di masa depan. Andai aja aku dulu begini, begitu, yah gitu jiwa-jiwa menyesalnya jadi keluar.

          Aku mulai disadarkan suatu hal setelah kemarin ada kejadian pas mandi aku lupa sudah sabunan atau belum. Aku ngerasa parah banget. Bilang ke diri sendiri, kamu tuh kemana aja sih sebenarnya. Aku dimana, pikiranku kemana. Hampir nggak pernah sinkron. Nah itu dia yang dinamakan Sadar Penuh Hadir Utuh Dimana kita berada dan apa yang kita lakukan, ya fokus kita ke situ, bukan malah pikiran bergerilya kemana-mana.

          Aku pernah ngintip bukunya Mas Adjie yang berjudul Sadar Penuh Hadir Utuh ini. Dulu pernah nyari di Gramed nggak nemu, katanya udah nggak ada. Nggak tahu kalau sekarang produksi lagi nggak. Jadinya aku ngintip di Google Book. Baca-baca sedikit, intinya sih cara untuk lebih fokus itu ya kita nggak multitasking. Kalau lagi makan yaudah makan aja, rasain apa yang kita makan, fokus sama teksturnya, menikmati kunyahannya. Tidak perlu makan sambil nyekrol instagram. Ya gitu, sama juga dengan ketika sedang aktivitas lainnya harus dinikmati dan disadari.

          Selama ini aku belum sepenuhnya seperti itu, sehingga rasanya apa yang kulakukan cepat berlalu tanpa ada hal-hal yang berarti. Ketika sudah terlewat baru kerasa aja kenapa aku dulu nggak menikmati di masa-masa itu.

          Nggak baik juga kelamaan berkubang di penyesalan tanpa ada perubahan ya, kan. Akhirnya, aku memutuskan untuk menikmati apapun yang sedang kupilih dan kujalani. Yang berlalu tidak akan pernah kembali, jadi ya biarkan yang berlalu hanya rapi di ingatan untuk dijadikan pengingat. Sudah masuk Agustus, cepet ya. Sayang sekali jika 2021 hanya dihabiskan untuk merindu dan menyesali tanpa mengusahakan apa-apa.

          Semoga siapa pun kamu yang membaca ini, kamu menikmati apapun yang sedang kamu pilih dan jalani.

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Sertifikat Event di Komunitas HOW

*) Cerpen ini pernah diikutkan event di komunitas HOW


Tumpukan pakaian berantakan di sana sini, setiap sudut kamar yang tidak terlalu luas ini dipenuhi barang pribadiku yang seharusnya sudah kumasukkan ke koper sejam yang lalu. Perasaanku tak kalah berantakan. Ada rasa berat yang menggelayuti hati dan pedih yang kutahan.

 

Bumi berotasi begitu cepat, membuat setahun keberadaanku di Pulau Bawean terasa seperti hanya hitungan hari. Rasanya baru kemarin aku tiba di sini dengan disambut warga dan anak-anak tanpa alas kaki. Rasanya baru kemarin aku berperang dengan diri sendiri karena beradaptasi dengan segala perbedaan yang ada di sini.

 

Pulau yang keberadaannya tak pernah kuperhatikan karena ukurannya sangat kecil di peta, ternyata sekarang kakiku seakan berat melangkah meninggalkannya.

 

Mataku becek. Ada genangan di sana yang kutahan, tapi lama-lama terjatuh. Kubiarkan. Dulu kupikir menjadi relawan pengajar di pedalaman seperti ini amatlah menyenangkan. Hidup di tempat yang minim polusi udara, menyatu dengan alam, dan terbebas dari media sosial. Nyatanya, aku tak setangguh mereka yang semangatnya menyala di tengah kegelapan malam tanpa penerangan. Tak semampu mereka yang terbiasa hidup jauh dari kebisingan kota. Tak sekuat mereka yang terbiasa hidup dengan kepolosan tanpa melihat gemerlapnya dunia.

 

Lama-lama jiwaku seakan telah menyatu di sini. Aku menjadi berteman dengan sunyi dan gelap. Jadi terbiasa dengan keheningan tanpa notifikasi ponsel yang seringkali membuat pikiranku carut-marut. Aku menjadi suka dengan ratusan langkah kakiku setiap berangkat dan pulang dari sekolah. Aku jadi tidak takut dengan hujan lebat dan petir meski rumah orangtua asuh yang kutinggali terbuat dari kayu yang rapuh. Jiwa kokoh mereka yang menguatkan aku, senyum getir mereka yang seolah bilang padaku alam akan tetap baik-baik saja karena mereka selalu menjaganya.

 

Rasanya keadaan seperti mempermainkan. Awal kedatangan aku dipaksa untuk bertahan dengan segala penerimaanku terhadap orang-orang dan tempat baru ini. Kini ketika puing hatiku telah tertinggal di sini, aku dipaksa untuk melanjutkan perjalananku yang lain. Suka tidak suka, besok adalah waktu keberangkatan untuk pulang. Memeluk kota Surabaya yang setahun ini hanya kudengar riuhnya setiap sebulan sekali ketika berhasil keluar pedalaman untuk mendapat sinyal.

 

Kuhapus air mataku dengan kasar, lalu beranjak mengemasi baju dan barang lainnya. Terasa berat seperti menata batu-bata.

 

"Bu, Bu Hanaaa." Aku amat mengenal suara itu. Kubiarkan beberapa saat untuk menenangkan detak jantung yang tak beraturan. Melihat mereka seperti menabur garam pada luka, membuat semakin perih. Murid-muridku yang menggemaskan itu adalah alasan terbesar aku ingin tetap berada di sini.

 

Aku keluar kamar menuju pintu depan dengan keadaan sudah tenang.

 

"Bu, Ibu jadi pulang besok?" tanyanya dengan suara cempreng dan logat Madura khasnya.

 

"Jadi, kan kemarin kita sudah mengadakan acara perpisahan."

"Malam ini kita mau menginap di rumah ini, terakhir kali bersama ibu guru."

Air mataku luruh tetapi segera kuusap cepat tanpa memberi kesempatan mereka melihatnya.

"Pulang saja, nanti kamu dicari emakmu." Aku memegang bahu anak itu.

 

Mereka membujuk berulang kali, akhirnya aku menyerah. Membiarkan lima anak perempuan tidur di ruang tamu bersamaku di malam terakhir itu. Udara di luar sangat dingin, tapi hatiku menghangat menatap tubuh kecil mereka yang disinari rembulan yang masuk dari celah jendela.

***

Aku telah sampai di kota yang selama ini tetap bising dari aku lahir. Lebih bising lagi dengan pemberitaan virus corona yang ganasnya sudah menggerogoti ribuan nyawa mulai akhir tahun kemarin. Sialnya, hari pertama kepulanganku di saat itu bertepatan dengan presiden mengumumkan ada 2 WNI yang terkena virus itu. Media sosial yang selama ini enggan kubuka, kuberanikan diri untuk membukanya. Seperti banjir bandang, informasi virus itu merebak dimana-mana. Hatiku menciut ingin rasanya aku kembali ke tempat teraman di pedalaman sana. Mereka tenang tanpa tahu hal mengerikan semacam ini.

 

Kupikir hari pertama kedatanganku di Surabaya akan kuhabiskan untuk berjalan-jalan di mall bersama keluarga yang selama ini telah lama kutinggalkan. Nyatanya, aku harus rela mengurung di rumah untuk menghindari virus yang sudah semakin mendunia ini.

 

“Terus rencanamu setelah ini apa, Han?” Ibu menuang teh panas ke cangkirku. Aku mengedarkan pandangan ke semua anggota keluarga yang wajah mereka masih tetap sama, meneduhkan dalam pandanganku.

 

Setelah selesai dituangkan Ibu, aku meraih cangkir itu sambil memegangi pinggirannya lalu membuka suara, “Yang jelas sih Hana pengen ngajar, tapi ternyata keadaan di sini sedang rumit seperti ini. Sementara waktu Hana melanjutkan pekerjaan menulis artikel yang sudah Hana tekuni sejak kuliah.”

 

“Kamu mau Ibu tawari mengajar di sekolah Ibu? Sekolah dari pekan lalu membuka lowongan guru tapi belum ada yang sesuai kriteria. Adanya pandemi kepala sekolah memutuskan untuk tidak melanjutkan membuka lowongan ke luar, tapi guru-guru diminta untuk mencarikan orang terdekat agar lebih aman.”

 

Aku diam seketika, semua pasang mata menatapku. Kulihat ayah menatapku sambil menurunkan kacamata bacanya. Kedua adik perempuanku menatapku sekilas lalu melanjutkan aktivitasnya mengerjakan tugas, sedangkan ibu masih menunggu jawaban di sebelahku.

 

“Ibu yakin?” tanyaku.

“Kenapa tidak? Meski kamu bukan lulusan guru kan kamu sudah ada pengalaman ngajar dari semenjak kuliah. Ini hanya untuk sementara mengisi kekosongan posisi guru.”

 

Aku masih diam, tidak menyangka tawaran mengajar akan datang secepat ini.

“Kalau kamu mau, kirim berkas dan tutorial mengajarmu untuk seleksi.”

“Boleh deh, besok aku siapkan berkasnya,” kataku.

***

Setelah beberapa hari menjalani seleksi, aku lolos menjadi guru Bahasa Indonesia di yayasan tempat ibu mengajar. Ini adalah hal yang baru bagiku untuk mengajar online. Sudah terlatih beradaptasi dengan hal baru semenjak di Bawean, membuat aku suka untuk mencoba-coba hal baru yang menantang. Bagaimana pun itu, setiap hal selalu ada tantangannya sendiri. Kupikir mengajar anak kota sama saja seperti ketika aku mengajar sewaktu kuliah dulu. Nyatanya, ketika ruang mengajar berubah menjadi online keadaan anak-anak tidak sama seperti ketika seperti di kelas biasanya. Ada yang sengaja tidak mengikuti kelas, tidak pernah mengerjakan tugas, bahkan ketika ada kelas online ada siswa yang tidak mau menyalakan kamera. Kesabaranku sungguh diuji, meski aku tahu bukan hanya kepadaku mereka bersikap demikian.

 

Awal-awal mengajar di yayasan ini aku begitu uring-uringan. Aku menjadi rindu dengan siswa-siswaku di Bawean. Aku ingin melompat mundur ke waktu ketika masih bersama mereka. Tetapi harusnya kusadari dulu awal di Bawean aku juga merasakan perasaan seberantakan ini nyatanya aku bisa menjalaninya sampai akhir. Kali ini aku yakin pasti juga bisa melewati ini semua.

 

“Han, semua butuh penyesuaian.” Ibu memegang pundakku ketika kami mengobrol di ruang tengah. Selesai mengobrol, aku masuk kamar lalu tenggelam di selimut. Lampu kamar sudah kumatikan. Ternyata seberat ini merindukan orang yang belum tahu kapan bisa kutemui lagi. Dan apakah masih bisa kutemui lagi. 

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Sehabis Isya' tadi jalan-jalan sebentar ke instagram. Melihat ada seorang teman yang membagikan postingan tentang acara di TV One yang sedang mewawancarai seorang suami yang menuntut pihak rumah sakit karena istrinya dimandikan oleh petugas pria. Parahnya, mereka juga memfoto jenazah yang telanjang tersebut, dengan alasan untuk dokumentasi. Dalam aturan Islam, menjaga aurat seorang mayat adalah sebuah keharusan. Bagaimana pun mayat harus tetap dimuliakan. 

Melihat si suami yang menangis setengah menjerit meminta pihak rumah sakit diadili, aku terenyuh. Ia sadar hal itu menjadi tanggung jawabnya. Menuntut hak istri untuk dijaga auratnya meski sudah tidak lagi bernyawa. 

Aku teringat dengan cerita Ustadz Hanan yang selalu berdoa agar ibunya dijaga auratnya oleh Allah ketika meninggal. Sebelumnya Ustadz Hanan bercerita alasan beliau kenapa sampai kepikiran untuk mendoakan demikian. Tapi aku lupa. :D 

Lalu ternyata ketika tsunami tahun 2004 menyapu bersih daratan Aceh, ibu beliau menjadi salah satu korbannya. Alhamdulillah, ibunya ditemukan dalam keadaan masih tertutup oleh baju dan jilbab. Padahal terjangan ombak yang bisa memporak-porandakan daratan, tentu sangat mudah untuk menghempaskan pakaian yang dipakai korban. Saat itu juga aku berpikir, iya juga ya, kenapa aku nggak kepikiran untuk berdoa semacam ini.

Setelah mendengar cerita ini, aku belum pernah mendoakan diriku sendiri atau ibuku dengan doa yang sama. Karena belum kebiasaan dan lagi-lagi cerita Ustadz Hanan menguap begitu saja terlupakan. 

Allah mengingatkanku lagi dengan cerita beliau ketika 2018 lalu aku berkesempatan untuk menjadi relawan di Palu. Jadi waktu itu aku mendapat pos di rumah bapak kepala adat. Kalau sore hampir tidak pernah mandi karena tidak sempat dan buka prioritas ketika di sana. Haha

Dua minggu di sana setiap hari aku mandi selalu di atas pukul 9 malam. Waktu itu listrik sering mati tiba-tiba, syukurnya di rumah kepala adat ini ada genset tapi tidak sering digunakan. Dan gempa juga masih sering mengguncang tiba-tiba. Suatu malam pas ketepatan aku yang mandi, lampu mati begitu lama. Bapak pemilik rumah meneriakiku untuk sabar sebentar karena genset sedang berusaha untuk dinyalakan. 

Di dalam kamar mandi dalam keadaan gelap dan aku tak bisa berbuat apa-apa, pikiranku kacau mengingat kemungkinan terburuk. Fyi, aku ini orangnya overthinking. Kalau takut bisa sangat parah, pikiran tidak terkendali membayangkan banyak hal. Aku jadi ingat cerita ibu-ibu tetangga bapak kepala adat, saat gempa sore itu terjadi beliau sedang mandi lalu langsung lari mengambil handuk dengan panik. Untungnya, sore menjelang Maghrib keadaan belum terlalu gelap. 

Tapi syukurnya, aku tidak mengalami seperti yang beliau ceritakan. Lampu nyala dan aku bisa melanjutkan aktivitas lagi. 

Setelah keluar dari kamar mandi, aku bersyukur berulang kali masih dijaga oleh Allah. Aku jadi teringat dengan cerita Ustadz Hanan. Beberapa hari disana aku merapalkan doa itu terus, memohon diberi keselamatan dan dijaga auratku dalam keadaan apapun. Lalu setelah pulang ke Jawa, aku lupa lagi untuk berdoa hal itu. Karena sudah merasa di tempat yang aman, jadi tidak terpikir lagi untuk berdoa seperti itu. Padahal seharusnya aku tetap merapalkannya karena untuk menjaga apa pun yang akan terjadi nantinya. Seperti halnya, dengan berita yang tersebar bulan puasa lalu di kotaku--Kediri. Ada seorang perempuan yang dijambret ketika mengendarai motor. Perempuan itu sampai terjatuh dari motor dan meninggal di tempat. Fotonya tersebar luas di media sosial dengan baju tersingkap dan bagian perutnya terlihat. 

Doa ini yang mungkin hampir sering terlupakan, padahal sangat penting untuk dimohonkan. 

*) Sorry ya, lama nggak nulis di blog jadi kaku gini



Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

Seandainya aku bisa meminum kopi, apakah aku akan menjadi anak indie yang akan menyelipkan kopi pada beberapa tulisanku? Pertanyaan yang tidak terlalu penting itu sempat mampir di kepalaku. Aku suka senja yang menenangkan, tapi nyatanya juga tidak aku curi keindahannya untuk diabadikan pada puisi-puisiku. 

Beberapa teman suka mengunggah fotonya bersama secangkir kopi dengan menandai sebuah kedai kopi. Apakah aku juga perlu mengunggah es coklat yang aku sukai, karena ketidakberdayaanku menenggak kafein?

Organ tubuhku diciptakan bukan untuk bersahabat dengan kafein. Awalnya kukira hanya kopi yang tidak bisa kunikmati. Setiap beberapa tenggakan sudah merasuk ke tubuhku, keringat mulai terlihat, detak jantung berkejaran, dan tubuh mulai lunglai tak berdaya. Kadang, pada satu sisi perut terasa sakit atau mules. Parahnya hampir selama 24 jam aku tidak akan bisa tidur. Ternyata setelah aku meminum cappucino atau mocca, tubuhku juga bereaksi demikian. 

Efek sampingnya yang tidak aku suka, membuat aku membulatkan tekad untuk menyingkirkan minuman berkafein itu dari daftar minuman yang bisa kupesan. Hanya satu kopi yang bisa aku nikmati, kopi bapak yang aku seruput diam-diam setiap sore. Itu pun tidak banyak, mungkin jika ditakar hanya satu atau dua mili saja. Bapak tidak pernah tahu kebiasaan yang sudah aku lakukan semenjak masih di jaman putih abu-abu dulu. Sekalipun tahu, bapak juga tidak akan marah. Beliau selalu rela membagi makanan atau minuman apapun untuk anaknya. Aku suka aroma kopinya yang menguar.

Ketika aku sempat kuliah dan kerja di luar kota, salah satu hal yang paling kurindukan adalah menyeruput kopi beliau. Tapi pada akhirnya, ketika aku sudah pindah kerja di kota kelahiranku aku malah tidak lagi melakukan kebiasaan ini. Bukan karena sudah tidak suka, tapi karena ada yang menggantikanku. Beberapa keponakan bergantian menghabiskan kopi beliau, sehingga di sore hari sering aku mendapati kopinya sudah habis. 

Baru kemarin aku makan di meja makan, lalu melihat kopi beliau masih seperempat cangkir. Mumpung masih ada, aku meminumnya sedikit. Ada yang berbeda, kali ini rasa pahitnya yang dominan. Tapi tetap terasa enak. Berbeda dengan kopinya dulu yang masih ada manis-manisnya. Mungkin di umurnya yang sudah menua, bapak tidak lagi ingin menimbun banyak gula di tubuhnya. Belakangan ini aku baru menyadari kopi sachetan itu tidak sehat, tapi bersyukurnya bapak masih baik-baik saja sampai sekarang. 

Kopi pahit sore kemarin mengingatkanku pada seseorang yang amat menyukainya. "Cobain deh minum kopi pahit, itu lebih bisa dinikmati. Kalau kopi manis sama aja kamu cuma nikmati gula," katanya suatu hari yang tersisa di ingatanku. 

"Nggak ah, aku nggak bisa minum kopi. Bisa nggak tidur semaleman nanti. Bikin badan lemes."

"Aku minum kopi tetep ngantuk. Kamu aja yang aneh."

Aku masih ingat betul kejadian itu. Siang hari ketika kita mampir di kedai kopi. Saat itu dia sedang berkunjung ke kotaku. Ada kedai kopi yang kami lewati dan satu-satunya yang paling dekat dengan keberadaan kami saat itu. Daripada berjalan lebih jauh lagi, kami memutuskan untuk mampir saja di tempat itu.

Beberapa bulan mengenalnya aku belum pernah secara langsung melihat dia meminum kopi. Hanya beberapa kali dia mengirim foto kopi panasnya kepadaku atau mengunggah cangkir kopi dan buku di sisinya. 

"Kamu mau pesen kopi?" Aku membaca beberapa menu minuman yang ditawarkan.

"Nggak ah, masa siang-siang ngopi." Akhirnya kami sama-sama memesan es coklat. 

Di awal bulan Maret lalu ketika corona belum masuk ke Indonesia, ada pameran buku di kotaku. Dia menyempatkan diri untuk datang ke kotaku untuk kedua kalinya. Aku menemaninya sampai pukul 7 malam sebelum kereta kepulangannya tiba. 

Sore sebelum jadwal kepulangannya, kita mampir di kedai kopi dengan bangunan lawas yang disulap seestetik mungkin.   

"Kamu pesen kopi?" Aku melihat daftar menu dan bertanya pada dia. 

"Boleh, deh." 

"Yaudah ngopi gih, nanti aku minta dikit."

"Mau kopi apa?" Balik dia yang bertanya kepadaku.

"Terserah kamu. Apa aja boleh."

Setelah dia membaca beberapa saat buku menu, dia menjawab, "Aku pesan kopi vietnam. Nanti cobain."

Di sisi lain aku pesan susu murni hangat, nanti sebagai penawarnya jika aku meminum kopinya terlalu banyak. 

Menunggu pesanan datang, kami mengobrolkan banyak hal random. Mulai dari perbedaan bahasa sukunya yaitu Madura dan sukuku Jawa. Atau tentang perbincangan yang hangat-hangatnya saat itu tentang corona kenapa tidak bisa masuk Indonesia.

Pesanan kopi datang. Oh, aku baru tahu kalau ternyata kopi vietnam itu ada alat penyeduh di atas gelas kopinya. Paling bawah ada susu putih kental yang belum tercampur dengan kopi.

Sumber: Google


"Aku coba dulu sebelum dicampur dengan susunya." Aku mengambil cairan kopinya dengan sendok kecil.  Rasanya pahit menurutku. Lalu aku aduk agar susunya tercampur. Kurasakan lagi, sedikit ada rasa susunya.

"Kamu harus nyobain jenis kopi lainnya. Biar tahu bedanya,"katanya.

"Bukannya sama-sama pahitnya?"

"Ya tapi ada bedanya."

Untuk pertama kalinya aku meminum kopi selain kopi bapak. Sedikit demi sedikit kami sama-sama menghabiskan minuman masing-masing. 

"Mau lagi nggak? Sebelum habis nih." Dia menawari.

Aku menggeleng. Seseruput saja sudah cukup bagiku untuk tahu rasanya. 

Aku memandanginya lekat-lekat. Memperhatikannya ketika dia berbicara, caranya menglihati gelas kopinya lalu menyeruput sedikit, atau ketika dia sedang berpikir sesuatu. Mungkin sebenarnya ini bukan tentang apa yang kita minum, tapi bersama siapa minuman kita semeja. Rasa pahit kopinya tadi, tetap terasa manis di lidahku. Karena apapun yang dia sukai, aku juga akan menyukai. 

Sayangnya, mungkin saat itu adalah pertama dan terakhir kali aku meminum kopinya. Bulan April kami sempat janji akan bertemu lagi, tapi nyatanya batal karena pandemi ini. Lalu pada bulan apapun nantinya, mungkin tidak akan lagi ada pertemuan di antara kami. Karena suatu hal aku memintanya untuk pergi tanpa memberinya kesempatan untuk meninggalkan penjelasan. 

Nanti, di suatu pagi aku akan membuatkan kopi untuk seseorang yang juga akan aku minum sedikit bagiannya. Tapi nanti tidak hanya membuatkan, tapi juga akan aku temani kopinya dengan segelas teh hangat semeja dan obrolan setiap pagi. 

Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Older Posts

About Me

Foto saya
Anik's Blog
Hi, ini tempat pulangnya Anik. Berisi hal-hal random yang rasanya perlu ditulis.
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Tumblr

Member Of

1minggu1cerita

Categories

  • Blogwalking
  • Calon Ibu
  • FIKSI
  • Flashback
  • Kerelawanan
  • Obrolan Cermin
  • Review Ala-Ala
  • Sudut Pandang Pernikahan

Postingan Populer

  • Rezeki Tak Perlu Dicari
  • Melepas Juli, Memeluk Agustus
  • Inilah 5 Cara Bahagia Jadi Jofis (Jomblo Fi Sabilillah)
  • Blogwalking
  • MENERIMA DENGAN UTUH (2)

Blog Archive

  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Juli 2023 (2)
  • Agustus 2021 (1)
  • Juli 2021 (2)
  • September 2020 (2)
  • Agustus 2020 (4)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (7)
  • Mei 2020 (17)
  • April 2020 (4)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (3)
  • Juli 2019 (9)
  • Juni 2019 (4)
  • Mei 2019 (3)
  • April 2019 (1)
  • Maret 2019 (7)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • Oktober 2018 (6)
  • Maret 2018 (22)
  • Februari 2018 (14)
  • Agustus 2017 (7)
  • Juli 2017 (11)
  • Juni 2017 (11)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (5)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (14)
  • Desember 2016 (12)
  • November 2016 (2)

Created with by ThemeXpose