Menerima dengan Utuh

by - 21.13

 

"Semakin ke sini aku semakin paham, semua proses dalam hidup kita adalah perjalanan untuk mengenal Allah dan menemukan diri kita. Rasanya memang benar, kita tidak perlu membanding-bandingkan hidup dengan orang lain karena setiap dari kita sedang berjuang di garis masing-masing."

Selepas Sholat Maghrib, aku dan ibu duduk bersebelahan menikmati dzikir masing-masing. Ekor mataku sesekali menangkap gerakan ibu yang berulang kali mengusap air mata. Dan terdengar suara isak tangis yang lirih. Mungkin beliau sedang berusaha menahan tapi karena jarak kami sangat dekat, aku tetap bisa mendengarnya samar-samar.

Kulanjutkan dzikirku, kubiarkan ibu  melepaskan tangisnya. Lalu setelah sudah selesai, aku menghadap ke arah beliau, merangkulnya, lalu bertanya, “Kenapa, Bu?”

Tangis beliau langsung pecah dan menceritakan apa yang membuatnya sendu hari ini. Aku memeluknya dengan erat, mengucapkan sepatah dua patah kata untuk menenangkan. Beliau tetap bercerita panjang lebar, mengulang kembali cerita masa kecilnya yang tidak mengenakkan. Penuh dan perjuangan dan jauh dari kata bahagia rasanya kudengar.

Kuusap punggung beliau dan membesarkan hatinya dengan kalimat yang kuharap bisa menjadi penyejuk jiwanya saat ini. “Ibu tuh selama ini sudah hebat. Membesarkan anak cucu sampai di titik ini juga bukan perjuangan yang mudah. Nggak semua orang bisa di posisi ibu.”

Ketika itu mataku memanas, ada genangan air mata yang kutahan. Kutenangkan diriku, aku tidak ingin suaraku terdengar bergetar. Sejujurnya, selain rasa sedih karena melihat wanita yang kuncintai sedang tidak baik-baik saja, aku juga sedang mengambil jatah sombong.

Aku sedang kagum dengan diriku sendiri. Anik, yang dulu pernah menghabiskan setiap malam untuk menangis karena tidak terima dengan orangtua, sekarang bisa berdamai dan berempati untuk menenangkan orang yang pernah meninggalkan inner child dalam diri.

“Aku nggak nyangka ada di titik ini,” kataku pada diri sendiri.

Tapi memang benar, untuk bijak dalam segala sesuatu kita harus menggunakan helicopter view dalam melihat permasalahan. Tidak cukup hanya mengandalkan sudut pandang kita yang lebih banyak ke-subjektif-annya.

Butuh waktu yang lama untuk aku bisa memahami sudut pandang orangtuaku dan menerimanya. Bahkan, sampai aku bisa berempati dengan beliau.

Titik puncak ikhlasku adalah ketika aku sudah mampu mendoakan agar Allah mengampuni segala dosa orangtuaku. Apapun kesalahannya adalah ketidaktahuannya. Bahkan aku sampai bilang kepada Allah, hamba bersaksi bahwa mereka adalah orang baik, ya Allah. Jangan berikan siksa yang pedih untuk beliau. Hamba mohon masukkan mereka ke dalam surga tanpa hisab atas segala perjuangan yang telah mereka lakukan. Tolong, jangan azab mereka atas segala kesalahan yang telah terjadi. Maklumi semua yang terjadi atas ketidaktahuannya.

***

Rumah tangga orangtuaku adalah rumah tanga yang bisa dikatakan harmonis. Tidak pernah di depan anak-anaknya, mereka bertengkar atau terlihat berseteru. Aku bisa melihat mereka adalah satu kesatuan, partner tektok yang tepat dikatakan “sepasang”. Karena makin dewasa, aku makin takut jika salah satu dari mereka ‘berpulang’ dan tidak sanggup melihat salah satu dari mereka patah hati karena kehilangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bapak tanpa ibu, begitu juga sebaliknya. Tidak ada obat yang bisa kutawarkan untuk orang yang kehilangan selain berdamai dengan rasa kehilangan itu sendiri.

Tapi, luka masa kecil mereka yang masih tertinggal dalam tubuh dewasa mereka lah yang mengubah cara pandangku berbeda.

Anik tumbuh dengan limpahan perhatian tapi dengan ungkapan kasih sayang yang implisit. Menurut bapak, memberi nafkah dan memenuhi segala kebutuhan anak istrinya adalah bentuk cinta tanpa syarat. Namun sayangnya, beliau lupa hati anaknya harus diisi dengan pujian dan rengkuhan pelukan. Beliau mungkin juga tidak tahu, putrinya butuh disediakan telinga untuk menampung segala cerita. Putrinya ingin menjadi pemenang satu-satunya yang bertahta dalam hati beliau dengan cara ditatap di sela obrolan mendalam dan disentuh sekali-kali.

Aku tahu, masa kecil ibu penuh dengan perjuangan untuk bertahan hidup. Ada banyak keputusan yang tidak bisa diambil dalam keterbatasan. Tapi sayangnya, Anik kecil dulu tidak mau tahu itu semua. Yang ingin aku tahu ibu adalah menjadi rumah yang hangat. Memelukku sambil mendongengkan cerita sebelum tidur. Menjadi penenang ketika dunia makin terasa tidak adil dengan segala dramanya. Mengenalkan dunia dengan sudut pandang yang menyenangkan.

Makin dewasa, makin banyak figur orangtua dari orang lain aku jadi membanding-bandingkan. Makin banyak belajar parenting, makin pandai rasanya aku mencari kesalahan orangtuaku. Dan makin dalam aku menggali lukaku sendiri. Sampai akhirnya lukaku menganga begitu lama tanpa pernah kutahu apa obatnya. Puncak dari rasa kekecewaan itu adalah masa kuliah. Makin mengenyam pendidikan, aku makin merasa lebih benar dari orangtuaku.

Setiap hari menjalani hari dengan diberati rasa kecewa yang kubangun sendiri. Tapi syukurnya, aku tidak pernah mengungkapkan ini kepada siapa pun, pun juga orangtuaku. Di mata mereka, aku masih menjadi anak yang manis sikapnya. Tapi mereka tidak pernah tahu bahwa malam adalah milikku, waktu untuk menghabiskan persediaan air mata. Kukira semakin mengurasnya akan semakin berkurang kesedihanku, tapi ternyata makin menumpuk tanpa pernah terurai solusinya.

Dan untuk hati, memang benar waktu lah yang akan menyembuhkan. Tapi tentu, bukan hanya berpasrah. Kita berusaha untuk lebih mendekati Allah. Memohon agar Allah memberi kesembuhan atas hati yang telah remuk berkeping-keping. Aku bersyukur, kala itu Allah memberiku pemahaman, bahwa surga tidak akan pernah terbuka untuk aku yang membenci orangtuaku sendiri. Itulah yang membuatku bertahan untuk terus tetap berbuat baik kepada beliau-beliau.

Lalu akhirnya, Allah memberikan kelembutan hati padaku ketika aku mendengarkan cerita ibu. Ibu berkisah tentang beratnya takdir yang harus dijalani. Tentang kakak perempuanku yang rumah tangganya bermasalah, kakak laki-lakiku sedang repot mengurusi pernikahan, dan aku yang sedang terkena masalah ketika itu. Itu semua harus dihadapi beliau dalam satu waktu tanpa aku tahu.

Detik itu juga kebencianku serasa runtuh. “Bu, boleh aku pinjam hatimu sebentar saja?” ingin rasanya aku berkata seperti itu saat itu.

Ternyata menjadi orangtua tidak mudah. Sampai kapan pun nanti, kami anak-anaknya tetap menjadi anak kecil untuk mereka. Tanggung jawab orangtuaku ternyata berat. Aku yang selama ini tidak tahu-menahu hanya sibuk menyalah-nyalahkan.

Dan akhirnya ke-flashback semua yang terjadi. Tahun 2014 ketika aku menjadi maba, aku sibuk ngurus berkas untuk verifikasi daftar ulang di suatu kampus. Aku hanya butuh waktu beberapa jam untuk mengurus berkas, sedangkan aku juga harus berkemas untuk pindahan ke kota yang waktu tempuhnya 8-10 jam dari domisili. Akhirnya, tanpa ada pembagian tugas, dengan sendirinya bapak mengemas barang-barangku, ibu menyiapkan bekal buka puasa dan sahur aku dan bapak di jalan. Karena saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Bapak menemani segala prosesku sampai aku dapat kos.

Lalu 5 bulan di perantauan, aku sakit infeksi lambung. Setelah Shubuh kutelfon, bapak langsung berangkat ke Jember menjemputku. Sesampainya di sana, hanya makan dan sholat, bapak langsung kembali ke Kediri membawaku. Aku opname di rumah sakit. Ibu menunggu dan mengurusiku seharian, dan bapak menjengukku setelah selesai bekerja sampai malam. Seminggu opname, akhirnya aku sembuh. Aku harus kembali ke kampus. Karena aku belum pernah perjalanan sendiri ke tempat yang jauh, bapak mencoba untuk mengajariku mandiri. Mengantar sampai di terminal Surabaya untuk transit, mencarikan aku bus, menungguiku sampai busku berangkat ke Jember. Aku ingat sekali, ketika aku pamitan mencium tangan beliau aku menangis. Sedih karena akan jauh dari orangtua dan takut harus pergi sendiri. Aku tahu pasti beliau tidak tega denganku ketika itu, tapi aku sangat paham beliau harus melakukan itu agar tidak ketergantungan kemana-mana harus diantar. Dan nyatanya, sekarang aku menjadi Anik yang mandiri berani kemana-mana sendiri, bahkan sampai sekarang aku tinggal di tempatku sendiri.

Ketika sadar akan segala kebaikan beliau, ingin rasanya aku membodoh-bodohi diriku sendiri. Kenapa bisa, aku sebuta itu dengan cinta mereka?

Aku tahu, mereka tidak sehangat orangtua yang lain, ada banyak cara marah mereka yang keliru, ada banyak cara mendidik mereka yang tidak relevan lagi saat ini.

Tapi Ust. Oemar Mita menyampaikan, maafkan orangtua kita, agar kelak kita juga dimaafkan anak-anak kita. Jangan sampai kita sibuk melihat keburukan keluarga kita, sampai kita lupa untuk mensyukuri hal baik di dalamnya.

Aku juga jadi sadar, kalau pengen salah-salahan, seharusnya nenek moyang yang harus disalahkan. Karena orangtuaku adalah produk parenting zaman dulu.

Tapi, yang bisa dilakukan sekarang adalah memutus rantai kesalahan itu.

You May Also Like

0 komentar