[Cerpen] Rindu Tanpa Penawar
![]() |
Sertifikat Event di Komunitas HOW |
*) Cerpen ini pernah diikutkan event di komunitas HOW
Tumpukan
pakaian berantakan di sana sini, setiap sudut kamar yang tidak terlalu luas ini
dipenuhi barang pribadiku yang seharusnya sudah kumasukkan ke koper sejam yang
lalu. Perasaanku tak kalah berantakan. Ada rasa berat yang menggelayuti hati
dan pedih yang kutahan.
Bumi
berotasi begitu cepat, membuat setahun keberadaanku di Pulau Bawean terasa
seperti hanya hitungan hari. Rasanya baru kemarin aku tiba di sini dengan
disambut warga dan anak-anak tanpa alas kaki. Rasanya baru kemarin aku
berperang dengan diri sendiri karena beradaptasi dengan segala perbedaan yang
ada di sini.
Pulau
yang keberadaannya tak pernah kuperhatikan karena ukurannya sangat kecil di
peta, ternyata sekarang kakiku seakan berat melangkah meninggalkannya.
Mataku
becek. Ada genangan di sana yang kutahan, tapi lama-lama terjatuh. Kubiarkan.
Dulu kupikir menjadi relawan pengajar di pedalaman seperti ini amatlah
menyenangkan. Hidup di tempat yang minim polusi udara, menyatu dengan alam, dan
terbebas dari media sosial. Nyatanya, aku tak setangguh mereka yang semangatnya
menyala di tengah kegelapan malam tanpa penerangan. Tak semampu mereka yang
terbiasa hidup jauh dari kebisingan kota. Tak sekuat mereka yang terbiasa hidup
dengan kepolosan tanpa melihat gemerlapnya dunia.
Lama-lama
jiwaku seakan telah menyatu di sini. Aku menjadi berteman dengan sunyi dan
gelap. Jadi terbiasa dengan keheningan tanpa notifikasi ponsel yang seringkali membuat pikiranku carut-marut.
Aku menjadi suka dengan ratusan langkah kakiku setiap berangkat dan pulang dari
sekolah. Aku jadi tidak takut dengan hujan lebat dan petir meski rumah orangtua
asuh yang kutinggali terbuat dari kayu yang rapuh. Jiwa kokoh mereka yang
menguatkan aku, senyum getir mereka yang seolah bilang padaku alam akan tetap
baik-baik saja karena mereka selalu menjaganya.
Rasanya
keadaan seperti mempermainkan. Awal kedatangan aku dipaksa untuk bertahan
dengan segala penerimaanku terhadap orang-orang dan tempat baru ini. Kini
ketika puing hatiku telah tertinggal di sini, aku dipaksa untuk melanjutkan
perjalananku yang lain. Suka tidak suka, besok adalah waktu keberangkatan untuk
pulang. Memeluk kota Surabaya yang setahun ini hanya kudengar riuhnya setiap
sebulan sekali ketika berhasil keluar pedalaman untuk mendapat sinyal.
Kuhapus
air mataku dengan kasar, lalu beranjak mengemasi baju dan barang lainnya.
Terasa berat seperti menata batu-bata.
"Bu,
Bu Hanaaa." Aku amat mengenal suara itu. Kubiarkan beberapa saat untuk
menenangkan detak jantung yang tak beraturan. Melihat mereka seperti menabur
garam pada luka, membuat semakin perih. Murid-muridku yang menggemaskan itu
adalah alasan terbesar aku ingin tetap berada di sini.
Aku
keluar kamar menuju pintu depan dengan keadaan sudah tenang.
"Bu,
Ibu jadi pulang besok?" tanyanya dengan suara cempreng dan logat Madura khasnya.
"Jadi,
kan kemarin kita sudah mengadakan acara perpisahan."
"Malam
ini kita mau menginap di rumah ini, terakhir kali bersama ibu guru."
Air
mataku luruh tetapi segera kuusap cepat tanpa memberi kesempatan mereka
melihatnya.
"Pulang
saja, nanti kamu dicari emakmu." Aku memegang bahu anak itu.
Mereka
membujuk berulang kali, akhirnya aku menyerah. Membiarkan lima anak perempuan
tidur di ruang tamu bersamaku di malam terakhir itu. Udara di luar sangat
dingin, tapi hatiku menghangat menatap tubuh kecil mereka yang disinari
rembulan yang masuk dari celah jendela.
***
Aku
telah sampai di kota yang selama ini tetap bising dari aku lahir. Lebih bising
lagi dengan pemberitaan virus corona yang ganasnya sudah menggerogoti ribuan
nyawa mulai akhir tahun kemarin. Sialnya, hari pertama kepulanganku di saat itu
bertepatan dengan presiden mengumumkan ada 2 WNI yang terkena virus itu. Media
sosial yang selama ini enggan kubuka, kuberanikan diri untuk membukanya.
Seperti banjir bandang, informasi virus itu merebak dimana-mana. Hatiku menciut
ingin rasanya aku kembali ke tempat teraman di pedalaman sana. Mereka tenang
tanpa tahu hal mengerikan semacam ini.
Kupikir
hari pertama kedatanganku di Surabaya akan kuhabiskan untuk berjalan-jalan di mall bersama keluarga yang selama ini
telah lama kutinggalkan. Nyatanya, aku harus rela mengurung di rumah untuk
menghindari virus yang sudah semakin mendunia ini.
“Terus
rencanamu setelah ini apa, Han?” Ibu menuang teh panas ke cangkirku. Aku
mengedarkan pandangan ke semua anggota keluarga yang wajah mereka masih tetap
sama, meneduhkan dalam pandanganku.
Setelah
selesai dituangkan Ibu, aku meraih cangkir itu sambil memegangi pinggirannya
lalu membuka suara, “Yang jelas sih Hana pengen ngajar, tapi ternyata keadaan
di sini sedang rumit seperti ini. Sementara waktu Hana melanjutkan pekerjaan
menulis artikel yang sudah Hana tekuni sejak kuliah.”
“Kamu
mau Ibu tawari mengajar di sekolah Ibu? Sekolah dari pekan lalu membuka
lowongan guru tapi belum ada yang sesuai kriteria. Adanya pandemi kepala
sekolah memutuskan untuk tidak melanjutkan membuka lowongan ke luar, tapi
guru-guru diminta untuk mencarikan orang terdekat agar lebih aman.”
Aku
diam seketika, semua pasang mata menatapku. Kulihat ayah menatapku sambil
menurunkan kacamata bacanya. Kedua adik perempuanku menatapku sekilas lalu
melanjutkan aktivitasnya mengerjakan tugas, sedangkan ibu masih menunggu
jawaban di sebelahku.
“Ibu
yakin?” tanyaku.
“Kenapa
tidak? Meski kamu bukan lulusan guru kan kamu sudah ada pengalaman ngajar dari
semenjak kuliah. Ini hanya untuk sementara mengisi kekosongan posisi guru.”
Aku
masih diam, tidak menyangka tawaran mengajar akan datang secepat ini.
“Kalau
kamu mau, kirim berkas dan tutorial mengajarmu untuk seleksi.”
“Boleh
deh, besok aku siapkan berkasnya,” kataku.
***
Setelah
beberapa hari menjalani seleksi, aku lolos menjadi guru Bahasa Indonesia di
yayasan tempat ibu mengajar. Ini adalah hal yang baru bagiku untuk mengajar online. Sudah terlatih beradaptasi
dengan hal baru semenjak di Bawean, membuat aku suka untuk mencoba-coba hal
baru yang menantang. Bagaimana pun itu, setiap hal selalu ada tantangannya
sendiri. Kupikir mengajar anak kota sama saja seperti ketika aku mengajar
sewaktu kuliah dulu. Nyatanya, ketika ruang mengajar berubah menjadi online keadaan anak-anak tidak sama
seperti ketika seperti di kelas biasanya. Ada yang sengaja tidak mengikuti
kelas, tidak pernah mengerjakan tugas, bahkan ketika ada kelas online ada siswa
yang tidak mau menyalakan kamera. Kesabaranku sungguh diuji, meski aku tahu
bukan hanya kepadaku mereka bersikap demikian.
Awal-awal
mengajar di yayasan ini aku begitu uring-uringan. Aku menjadi rindu dengan
siswa-siswaku di Bawean. Aku ingin melompat mundur ke waktu ketika masih
bersama mereka. Tetapi harusnya kusadari dulu awal di Bawean aku juga merasakan
perasaan seberantakan ini nyatanya aku bisa menjalaninya sampai akhir. Kali ini
aku yakin pasti juga bisa melewati ini semua.
“Han,
semua butuh penyesuaian.” Ibu memegang pundakku ketika kami mengobrol di ruang
tengah. Selesai mengobrol, aku masuk kamar lalu tenggelam di selimut. Lampu
kamar sudah kumatikan. Ternyata seberat ini merindukan orang yang belum tahu
kapan bisa kutemui lagi. Dan apakah masih bisa kutemui lagi.
2 komentar
Baca cerpen ini buat aku rindu juga.. rindu nulis cerpen dan di post ke blog hehe
BalasHapusBtw terimakasih loh Mbak Anik atas cerpennya, aku bacanya sedikit berkaca-kaca, ikut merasa rindu, bedanya aku rindu melakukan sesuatu yg kusukai. Dan semoga masa pandemi ini cepet berakhir ya supaya bisa beraktifitas seperti biasa, bisa ketemu teman-teman dan berkumpul dengan keluarga, bisa main lagi dan pergi ke tempat-tempat yang diinginkan.
Semangat ya mbak nulis cerpennya.
Cerpennya bagus..
Banyak orang juga sedang rindu-rindunya dengan berbagai hal yang biasa kita lakukan sebelum pandemi ini, Mbak. Dari pandemi kita belajar untuk menahan. Haha
HapusAlhamdulillah, terima kasih mbak. :)
Semangat juga buat Mbak Diyanti :)