[Cerpen] Rindu Tanpa Penawar

by - 18.03

Sertifikat Event di Komunitas HOW

*) Cerpen ini pernah diikutkan event di komunitas HOW


Tumpukan pakaian berantakan di sana sini, setiap sudut kamar yang tidak terlalu luas ini dipenuhi barang pribadiku yang seharusnya sudah kumasukkan ke koper sejam yang lalu. Perasaanku tak kalah berantakan. Ada rasa berat yang menggelayuti hati dan pedih yang kutahan.

 

Bumi berotasi begitu cepat, membuat setahun keberadaanku di Pulau Bawean terasa seperti hanya hitungan hari. Rasanya baru kemarin aku tiba di sini dengan disambut warga dan anak-anak tanpa alas kaki. Rasanya baru kemarin aku berperang dengan diri sendiri karena beradaptasi dengan segala perbedaan yang ada di sini.

 

Pulau yang keberadaannya tak pernah kuperhatikan karena ukurannya sangat kecil di peta, ternyata sekarang kakiku seakan berat melangkah meninggalkannya.

 

Mataku becek. Ada genangan di sana yang kutahan, tapi lama-lama terjatuh. Kubiarkan. Dulu kupikir menjadi relawan pengajar di pedalaman seperti ini amatlah menyenangkan. Hidup di tempat yang minim polusi udara, menyatu dengan alam, dan terbebas dari media sosial. Nyatanya, aku tak setangguh mereka yang semangatnya menyala di tengah kegelapan malam tanpa penerangan. Tak semampu mereka yang terbiasa hidup jauh dari kebisingan kota. Tak sekuat mereka yang terbiasa hidup dengan kepolosan tanpa melihat gemerlapnya dunia.

 

Lama-lama jiwaku seakan telah menyatu di sini. Aku menjadi berteman dengan sunyi dan gelap. Jadi terbiasa dengan keheningan tanpa notifikasi ponsel yang seringkali membuat pikiranku carut-marut. Aku menjadi suka dengan ratusan langkah kakiku setiap berangkat dan pulang dari sekolah. Aku jadi tidak takut dengan hujan lebat dan petir meski rumah orangtua asuh yang kutinggali terbuat dari kayu yang rapuh. Jiwa kokoh mereka yang menguatkan aku, senyum getir mereka yang seolah bilang padaku alam akan tetap baik-baik saja karena mereka selalu menjaganya.

 

Rasanya keadaan seperti mempermainkan. Awal kedatangan aku dipaksa untuk bertahan dengan segala penerimaanku terhadap orang-orang dan tempat baru ini. Kini ketika puing hatiku telah tertinggal di sini, aku dipaksa untuk melanjutkan perjalananku yang lain. Suka tidak suka, besok adalah waktu keberangkatan untuk pulang. Memeluk kota Surabaya yang setahun ini hanya kudengar riuhnya setiap sebulan sekali ketika berhasil keluar pedalaman untuk mendapat sinyal.

 

Kuhapus air mataku dengan kasar, lalu beranjak mengemasi baju dan barang lainnya. Terasa berat seperti menata batu-bata.

 

"Bu, Bu Hanaaa." Aku amat mengenal suara itu. Kubiarkan beberapa saat untuk menenangkan detak jantung yang tak beraturan. Melihat mereka seperti menabur garam pada luka, membuat semakin perih. Murid-muridku yang menggemaskan itu adalah alasan terbesar aku ingin tetap berada di sini.

 

Aku keluar kamar menuju pintu depan dengan keadaan sudah tenang.

 

"Bu, Ibu jadi pulang besok?" tanyanya dengan suara cempreng dan logat Madura khasnya.

 

"Jadi, kan kemarin kita sudah mengadakan acara perpisahan."

"Malam ini kita mau menginap di rumah ini, terakhir kali bersama ibu guru."

Air mataku luruh tetapi segera kuusap cepat tanpa memberi kesempatan mereka melihatnya.

"Pulang saja, nanti kamu dicari emakmu." Aku memegang bahu anak itu.

 

Mereka membujuk berulang kali, akhirnya aku menyerah. Membiarkan lima anak perempuan tidur di ruang tamu bersamaku di malam terakhir itu. Udara di luar sangat dingin, tapi hatiku menghangat menatap tubuh kecil mereka yang disinari rembulan yang masuk dari celah jendela.

***

Aku telah sampai di kota yang selama ini tetap bising dari aku lahir. Lebih bising lagi dengan pemberitaan virus corona yang ganasnya sudah menggerogoti ribuan nyawa mulai akhir tahun kemarin. Sialnya, hari pertama kepulanganku di saat itu bertepatan dengan presiden mengumumkan ada 2 WNI yang terkena virus itu. Media sosial yang selama ini enggan kubuka, kuberanikan diri untuk membukanya. Seperti banjir bandang, informasi virus itu merebak dimana-mana. Hatiku menciut ingin rasanya aku kembali ke tempat teraman di pedalaman sana. Mereka tenang tanpa tahu hal mengerikan semacam ini.

 

Kupikir hari pertama kedatanganku di Surabaya akan kuhabiskan untuk berjalan-jalan di mall bersama keluarga yang selama ini telah lama kutinggalkan. Nyatanya, aku harus rela mengurung di rumah untuk menghindari virus yang sudah semakin mendunia ini.

 

“Terus rencanamu setelah ini apa, Han?” Ibu menuang teh panas ke cangkirku. Aku mengedarkan pandangan ke semua anggota keluarga yang wajah mereka masih tetap sama, meneduhkan dalam pandanganku.

 

Setelah selesai dituangkan Ibu, aku meraih cangkir itu sambil memegangi pinggirannya lalu membuka suara, “Yang jelas sih Hana pengen ngajar, tapi ternyata keadaan di sini sedang rumit seperti ini. Sementara waktu Hana melanjutkan pekerjaan menulis artikel yang sudah Hana tekuni sejak kuliah.”

 

“Kamu mau Ibu tawari mengajar di sekolah Ibu? Sekolah dari pekan lalu membuka lowongan guru tapi belum ada yang sesuai kriteria. Adanya pandemi kepala sekolah memutuskan untuk tidak melanjutkan membuka lowongan ke luar, tapi guru-guru diminta untuk mencarikan orang terdekat agar lebih aman.”

 

Aku diam seketika, semua pasang mata menatapku. Kulihat ayah menatapku sambil menurunkan kacamata bacanya. Kedua adik perempuanku menatapku sekilas lalu melanjutkan aktivitasnya mengerjakan tugas, sedangkan ibu masih menunggu jawaban di sebelahku.

 

“Ibu yakin?” tanyaku.

“Kenapa tidak? Meski kamu bukan lulusan guru kan kamu sudah ada pengalaman ngajar dari semenjak kuliah. Ini hanya untuk sementara mengisi kekosongan posisi guru.”

 

Aku masih diam, tidak menyangka tawaran mengajar akan datang secepat ini.

“Kalau kamu mau, kirim berkas dan tutorial mengajarmu untuk seleksi.”

“Boleh deh, besok aku siapkan berkasnya,” kataku.

***

Setelah beberapa hari menjalani seleksi, aku lolos menjadi guru Bahasa Indonesia di yayasan tempat ibu mengajar. Ini adalah hal yang baru bagiku untuk mengajar online. Sudah terlatih beradaptasi dengan hal baru semenjak di Bawean, membuat aku suka untuk mencoba-coba hal baru yang menantang. Bagaimana pun itu, setiap hal selalu ada tantangannya sendiri. Kupikir mengajar anak kota sama saja seperti ketika aku mengajar sewaktu kuliah dulu. Nyatanya, ketika ruang mengajar berubah menjadi online keadaan anak-anak tidak sama seperti ketika seperti di kelas biasanya. Ada yang sengaja tidak mengikuti kelas, tidak pernah mengerjakan tugas, bahkan ketika ada kelas online ada siswa yang tidak mau menyalakan kamera. Kesabaranku sungguh diuji, meski aku tahu bukan hanya kepadaku mereka bersikap demikian.

 

Awal-awal mengajar di yayasan ini aku begitu uring-uringan. Aku menjadi rindu dengan siswa-siswaku di Bawean. Aku ingin melompat mundur ke waktu ketika masih bersama mereka. Tetapi harusnya kusadari dulu awal di Bawean aku juga merasakan perasaan seberantakan ini nyatanya aku bisa menjalaninya sampai akhir. Kali ini aku yakin pasti juga bisa melewati ini semua.

 

“Han, semua butuh penyesuaian.” Ibu memegang pundakku ketika kami mengobrol di ruang tengah. Selesai mengobrol, aku masuk kamar lalu tenggelam di selimut. Lampu kamar sudah kumatikan. Ternyata seberat ini merindukan orang yang belum tahu kapan bisa kutemui lagi. Dan apakah masih bisa kutemui lagi. 

You May Also Like

2 komentar

  1. Baca cerpen ini buat aku rindu juga.. rindu nulis cerpen dan di post ke blog hehe
    Btw terimakasih loh Mbak Anik atas cerpennya, aku bacanya sedikit berkaca-kaca, ikut merasa rindu, bedanya aku rindu melakukan sesuatu yg kusukai. Dan semoga masa pandemi ini cepet berakhir ya supaya bisa beraktifitas seperti biasa, bisa ketemu teman-teman dan berkumpul dengan keluarga, bisa main lagi dan pergi ke tempat-tempat yang diinginkan.
    Semangat ya mbak nulis cerpennya.
    Cerpennya bagus..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak orang juga sedang rindu-rindunya dengan berbagai hal yang biasa kita lakukan sebelum pandemi ini, Mbak. Dari pandemi kita belajar untuk menahan. Haha

      Alhamdulillah, terima kasih mbak. :)
      Semangat juga buat Mbak Diyanti :)

      Hapus