Ada yang Hilang, tapi Bukan Sinyal

by - 19.45

Hasil event antologi


Cover antologi cerpen 

*) Cerpen ini pernah diikutkan di Event Antologi Cerpen di Pusaka Media. Buku ini antologi pertama dengan teman-teman sekerjaan di Yayasan Bina Insani

Aku duduk dengan gusar di lantai kamar. Memandangi monitor laptop yang sedari tadi menyala, tapi pikiranku bergerilya kemana-mana. Kamar berantakan dengan tumpukan buku paket, laptop, dan berbagai macam kabel yang kugunakan pembelajaran online sejam yang lalu. Hatiku tidak kalah berantakan melihat segelintir daftar siswa yang mengerjakan tugas. Kini ruang belajar yang  berpindah digital tak ubahnya seperti ruang kosong yang menggaungkan suaraku yang mengudara. Setiap hari seperti penyiar radio yang berkata-kata di tengah lalu lalang kesibukan manusia. Padahal mereka dari kalangan menengah ke atas yang segala kebutuhan pembelajarannya terpenuhi. Gadget bagus dan sinyal wifi yang kecepatannya tak diragukan lagi.

Berbicara tentang gadget dan sinyal, ingatanku jadi melompat jauh ke masa lima tahun silam di tanah pedalaman Kepulauan Sula, Maluku. Tempat dimana hatiku telah sengaja kutinggalkan di sana sebagai relawan pengajar muda. Aku ingin mengais masa lalu di waktu sepagi ini. Masih terekam jelas ketika aku mengajar anak-anak di ruang kelas yang temboknya sudah retak di banyak bagiannya. Sinar matahari masuk ke ruang kelas melalui beberapa celah atap yang lubang. Aku masih ingat bagaimana awal di sana, mereka menyambutku dengan wajah polos dan tanpa alas kaki. Pertama mengajar, mereka duduk rapi memperhatikan. Kukenalkan pada mereka tentang apa itu profesi dan berbagai macam profesi di luar sana. Karena selama ini yang familiar di mata mereka adalah petani, nelayan, dan pedagang. Di mata mereka, guru adalah kasta tertinggi yang harus dihormati. Aku diperlakukan bak perdana menteri yang kemana-mana dilindungi, selalu mendapat bagian dari makanan apapun yang mereka punya.

Kupikir dengan bersenang-senang sebentar mengingat mereka bisa meredakan pilu yang tengah memasuki hati tanpa permisi. Nyatanya, seperti menabur garam pada luka, menambah perih karena semakin rindu dengan mereka. Mataku becek. Ada genangan yang kutahan, tapi lama-lama jatuh juga, kubiarkan.

Aku berada di titik lelah. Pikiran carut-marut dengan kondisi pandemi yang mengharuskan berdiam diri di rumah, beradaptasi dengan pembelajaran online, dan para murid yang tidak bisa diajak berkompromi di keadaan serumit ini.

Kuhapus mata yang membasah dengan kasar, segera bangkit dari tempat duduk, dan bersiap-siap berangkat untuk mengikuti rapat guru di sekolah.

----

Semua guru duduk di ruang guru dengan jarak satu meter. Kita tetap menggunakan masker meski sedikit pengap. Rapat untuk membahas evaluasi pembelajaran online seminggu ini dimulai oleh kepala sekolah.

"Masih ada banyak anak yang tidak mau menyalakan video ketika pembelajaran, sebelum selesai mereka juga sudah keluar, tugas sama sekali tidak dikerjakan." Bu Aminah membuka suara yang pertama kali di evaluasi ini, lalu semua guru terlihat manggut-manggut menandakan ucapan beliau mewakili apa yang guru-guru alami. Tak terkecuali aku, sangat mengamini ucapan beliau.

Bu Aminah, guru tertua di sekolah ini pun juga tidak dihargai oleh mereka. Apalagi aku, guru yang masih kemarin sore masuk ke sekolah ini. Lagi dan lagi upaya pembenahan sistem pembelajaran online terus kami benahi agar anak-anak tak memiliki celah untuk berulah. Rapat diakhiri, guru-guru berjalan keluar. Tapi aku dan Bu Afifah masih terpaku di tempat duduk masing-masing. Kulihat beliau sibuk dengan laptopnya, entah apa yang sedang dikerjakan.

"Bu, masih sibuk?" tanyaku hati-hati. Beliau lebih tua lima tahun di atasku. Karena meja kami di ruang guru dekat, hubungan kami juga semakin akrab karena sering mengobrol.

"Tadi ngecek siswa yang mengirim tugas, tapi sekarang sudah selesai. Bu Hana apa kabar?" Beliau mengemasi laptopnya ke dalam tas sambil sesekali menoleh ke arahku dengan mengulas senyum.

"Agak kurang enak hati hari ini." Ada tertawa kecil yang kupaksakan, agar terlihat apa yang kukatakan seperti bahan guyonan. Padahal sebenarnya aku ingin membuka ruang obrolan dengan beliau.

"Kenapa?" Selesai mengemasi barangnya, beliau memposisikan tubuhnya menghadap ke arahku. Terlihat beliau seolah siap melebarkan telinga.

"Sedang di titik jenuh ngajar, Bu. Bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja ngajar di rumah. Apalagi anak-anak yang makin lama makin berulah." Beliau masih diam, matanya bertemu pandang denganku. Wajahnya meneduhkan seperti ruang nyaman untuk berbagi cerita. Beliau selalu terlihat antusias dengan apapun yang kuceritakan. Tapi kali ini tidak seperti biasanya, Bu Afifah membuka suara sebelum aku bercerita terlalu panjang.

"Bosan itu sebuah keniscayaan, apalagi di masa rumit seperti ini. Saya sendiri sedang membagi pikiran saya untuk sekolah dan keluarga. Suami yang kena PHK, anak yang biaya sekolahnya melangit, dan anak kedua saya sedang sakit." Beliau menutup ceritanya dengan senyum, tapi guratan kesedihan tetap tak bisa ditutupi. Ada sendu yang menggantung di wajah kuning langsatnya.

Aku diam seketika itu juga. Cerita yang ingin kulisankan tersangkut di tenggorokan. Tidak ada yang berhasil kuceritakan.

Padahal sebenarnya aku ingin bercerita tentang murid-muridku dulu. Mereka yang keterbatasan fasilitas di pedalaman tapi antusias belajar dan menghargai gurunya. Meski tanpa sinyal, mereka tetap belajar dengan apapun yang ada di sekitarnya.

Tentang Dawan, murid di sana yang terhitung lambat dalam menangkap materi, tapi yang kusuka dia selalu antusias untuk bertanya. Begitu juga ibu mereka yang begitu baik, entah hasil kebun apapun yang dipunya selalu diberikan kepadaku.

Aku masih ingat sekali ketika ada PR matematika, anak-anak belum juga bisa mengerjakan. Pukul 7 malam ada yang mengetuk pintu rumah orangtua asuhku di sana. Ternyata dia dan beberapa kawannya datang untuk meminta penjelasanku. Jelas aku sangat kaget, selepas senja pulang ke peraduannya tidak ada lagi cahaya di sana selain sinar rembulan. Mereka datang membawa seberkas cahaya dari lampu minyak. Sekitar sejam kemudian tugas mereka sudah selesai, kuminta mereka menginap saja. Aku khawatir terjadi apa-apa ketika mereka menempuh jarak 5 KM di tengah kegelapan seperti ini.

"Tak apa-apa, kita sudah terbiasa seperti ini," ucapnya memperlihatkan keberaniannya lalu bersama dengan kawannya yang lain berlari kecil menembus malam yang semakin pongah memperlihatkan gelapnya.

Air mataku luruh kala itu, keberadaanku di sana bagi mereka sangat berarti. Meski berkawan dengan gelap, tapi semangat mereka selalu menyala. Sedangkan di kota, aku merasa tak lebih berarti dari mesin pencarian google yang lebih dipercaya anak-anak untuk menjadi teman belajarnya.

Ingin rasanya tadi mengeluh di depan Bu Afifah agar sedihku mereda, nyatanya secara tidak langsung beliau mengajariku untuk bersyukur atas keadaan yang tidak lebih pelik dari masalahnya. Harusnya aku menyadari, setiap tempat pasti ada tantangannya. Harusnya aku juga memahami, tidak hanya aku yang lelah, tapi murid-muridku juga jenuh diposisikan keadaan seperti ini. Dan harusnya aku terpacu untuk belajar menjadi guru yang lebih baik lagi.

 

Tentang Penulis

Anik Cahyanik, dipilih menjadi nama pena oleh gadis yang saat ini berjalan menuju usia seperempat abad. Lulusan Pendidikan Ekonomi yang kesasar di jalan yang benar di dunia  dapodik sekolah SDIT Bina Insani Kota Kediri. Belajar menjadi bermanfaat dengan menulis di akun instagram @kinachay dan blog anikcahyanik.blogspot.com.

 

You May Also Like

0 komentar