Ada yang Hilang, tapi Bukan Sinyal
![]() |
Hasil event antologi |
![]() |
Cover antologi cerpen |
*) Cerpen ini pernah diikutkan di Event Antologi Cerpen di Pusaka Media. Buku ini antologi pertama dengan teman-teman sekerjaan di Yayasan Bina Insani
Aku
duduk dengan gusar di lantai kamar. Memandangi monitor laptop yang sedari tadi
menyala, tapi pikiranku bergerilya kemana-mana. Kamar berantakan dengan
tumpukan buku paket, laptop, dan berbagai macam kabel yang kugunakan
pembelajaran online sejam yang lalu. Hatiku tidak kalah berantakan melihat
segelintir daftar siswa yang mengerjakan tugas. Kini ruang belajar yang berpindah digital tak ubahnya seperti ruang
kosong yang menggaungkan suaraku yang mengudara. Setiap hari seperti penyiar
radio yang berkata-kata di tengah lalu lalang kesibukan manusia. Padahal mereka
dari kalangan menengah ke atas yang segala kebutuhan pembelajarannya terpenuhi.
Gadget bagus dan sinyal wifi yang kecepatannya tak diragukan lagi.
Berbicara
tentang gadget dan sinyal, ingatanku jadi melompat jauh ke masa lima tahun
silam di tanah pedalaman Kepulauan Sula, Maluku. Tempat dimana hatiku telah
sengaja kutinggalkan di sana sebagai relawan pengajar muda. Aku ingin mengais
masa lalu di waktu sepagi ini. Masih terekam jelas ketika aku mengajar
anak-anak di ruang kelas yang temboknya sudah retak di banyak bagiannya. Sinar
matahari masuk ke ruang kelas melalui beberapa celah atap yang lubang. Aku
masih ingat bagaimana awal di sana, mereka menyambutku dengan wajah polos dan
tanpa alas kaki. Pertama mengajar, mereka duduk rapi memperhatikan. Kukenalkan
pada mereka tentang apa itu profesi dan berbagai macam profesi di luar sana.
Karena selama ini yang familiar di mata mereka adalah petani, nelayan, dan
pedagang. Di mata mereka, guru adalah kasta tertinggi yang harus dihormati. Aku
diperlakukan bak perdana menteri yang kemana-mana dilindungi, selalu mendapat
bagian dari makanan apapun yang mereka punya.
Kupikir
dengan bersenang-senang sebentar mengingat mereka bisa meredakan pilu yang
tengah memasuki hati tanpa permisi. Nyatanya, seperti menabur garam pada luka,
menambah perih karena semakin rindu dengan mereka. Mataku becek. Ada genangan
yang kutahan, tapi lama-lama jatuh juga, kubiarkan.
Aku
berada di titik lelah. Pikiran carut-marut dengan kondisi pandemi yang
mengharuskan berdiam diri di rumah, beradaptasi dengan pembelajaran online, dan
para murid yang tidak bisa diajak berkompromi di keadaan serumit ini.
Kuhapus
mata yang membasah dengan kasar, segera bangkit dari tempat duduk, dan
bersiap-siap berangkat untuk mengikuti rapat guru di sekolah.
----
Semua
guru duduk di ruang guru dengan jarak satu meter. Kita tetap menggunakan masker
meski sedikit pengap. Rapat untuk membahas evaluasi pembelajaran online
seminggu ini dimulai oleh kepala sekolah.
"Masih
ada banyak anak yang tidak mau menyalakan video ketika pembelajaran, sebelum
selesai mereka juga sudah keluar, tugas sama sekali tidak dikerjakan." Bu
Aminah membuka suara yang pertama kali di evaluasi ini, lalu semua guru
terlihat manggut-manggut menandakan ucapan beliau mewakili apa yang guru-guru
alami. Tak terkecuali aku, sangat mengamini ucapan beliau.
Bu
Aminah, guru tertua di sekolah ini pun juga tidak dihargai oleh mereka. Apalagi
aku, guru yang masih kemarin sore masuk ke sekolah ini. Lagi dan lagi upaya
pembenahan sistem pembelajaran online terus kami benahi agar anak-anak tak
memiliki celah untuk berulah. Rapat diakhiri, guru-guru berjalan keluar. Tapi
aku dan Bu Afifah masih terpaku di tempat duduk masing-masing. Kulihat beliau
sibuk dengan laptopnya, entah apa yang sedang dikerjakan.
"Bu,
masih sibuk?" tanyaku hati-hati. Beliau lebih tua lima tahun di atasku.
Karena meja kami di ruang guru dekat, hubungan kami juga semakin akrab karena
sering mengobrol.
"Tadi
ngecek siswa yang mengirim tugas, tapi sekarang sudah selesai. Bu Hana apa
kabar?" Beliau mengemasi laptopnya ke dalam tas sambil sesekali menoleh ke
arahku dengan mengulas senyum.
"Agak
kurang enak hati hari ini." Ada tertawa kecil yang kupaksakan, agar
terlihat apa yang kukatakan seperti bahan guyonan. Padahal sebenarnya aku ingin
membuka ruang obrolan dengan beliau.
"Kenapa?"
Selesai mengemasi barangnya, beliau memposisikan tubuhnya menghadap ke arahku.
Terlihat beliau seolah siap melebarkan telinga.
"Sedang
di titik jenuh ngajar, Bu. Bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja ngajar di
rumah. Apalagi anak-anak yang makin lama makin berulah." Beliau masih
diam, matanya bertemu pandang denganku. Wajahnya meneduhkan seperti ruang
nyaman untuk berbagi cerita. Beliau selalu terlihat antusias dengan apapun yang
kuceritakan. Tapi kali ini tidak seperti biasanya, Bu Afifah membuka suara
sebelum aku bercerita terlalu panjang.
"Bosan
itu sebuah keniscayaan, apalagi di masa rumit seperti ini. Saya sendiri sedang
membagi pikiran saya untuk sekolah dan keluarga. Suami yang kena PHK, anak yang
biaya sekolahnya melangit, dan anak kedua saya sedang sakit." Beliau
menutup ceritanya dengan senyum, tapi guratan kesedihan tetap tak bisa ditutupi.
Ada sendu yang menggantung di wajah kuning langsatnya.
Aku
diam seketika itu juga. Cerita yang ingin kulisankan tersangkut di tenggorokan.
Tidak ada yang berhasil kuceritakan.
Padahal
sebenarnya aku ingin bercerita tentang murid-muridku dulu. Mereka yang
keterbatasan fasilitas di pedalaman tapi antusias belajar dan menghargai
gurunya. Meski tanpa sinyal, mereka tetap belajar dengan apapun yang ada di
sekitarnya.
Tentang
Dawan, murid di sana yang terhitung lambat dalam menangkap materi, tapi yang
kusuka dia selalu antusias untuk bertanya. Begitu juga ibu mereka yang begitu
baik, entah hasil kebun apapun yang dipunya selalu diberikan kepadaku.
Aku
masih ingat sekali ketika ada PR matematika, anak-anak belum juga bisa
mengerjakan. Pukul 7 malam ada yang mengetuk pintu rumah orangtua asuhku di
sana. Ternyata dia dan beberapa kawannya datang untuk meminta penjelasanku.
Jelas aku sangat kaget, selepas senja pulang ke peraduannya tidak ada lagi
cahaya di sana selain sinar rembulan. Mereka datang membawa seberkas cahaya
dari lampu minyak. Sekitar sejam kemudian tugas mereka sudah selesai, kuminta
mereka menginap saja. Aku khawatir terjadi apa-apa ketika mereka menempuh jarak
5 KM di tengah kegelapan seperti ini.
"Tak
apa-apa, kita sudah terbiasa seperti ini," ucapnya memperlihatkan
keberaniannya lalu bersama dengan kawannya yang lain berlari kecil menembus
malam yang semakin pongah memperlihatkan gelapnya.
Air
mataku luruh kala itu, keberadaanku di sana bagi mereka sangat berarti. Meski
berkawan dengan gelap, tapi semangat mereka selalu menyala. Sedangkan di kota,
aku merasa tak lebih berarti dari mesin pencarian google yang lebih dipercaya
anak-anak untuk menjadi teman belajarnya.
Ingin
rasanya tadi mengeluh di depan Bu Afifah agar sedihku mereda, nyatanya secara
tidak langsung beliau mengajariku untuk bersyukur atas keadaan yang tidak lebih
pelik dari masalahnya. Harusnya aku menyadari, setiap tempat pasti ada
tantangannya. Harusnya aku juga memahami, tidak hanya aku yang lelah, tapi
murid-muridku juga jenuh diposisikan keadaan seperti ini. Dan harusnya aku
terpacu untuk belajar menjadi guru yang lebih baik lagi.
Tentang Penulis
Anik
Cahyanik, dipilih menjadi nama pena oleh gadis yang saat ini berjalan menuju
usia seperempat abad. Lulusan Pendidikan Ekonomi yang kesasar di jalan yang
benar di dunia dapodik sekolah SDIT Bina
Insani Kota Kediri. Belajar menjadi bermanfaat dengan menulis di akun instagram
@kinachay dan blog anikcahyanik.blogspot.com.
0 komentar