(CERPEN) Hamba Lupa Meminta

by - 20.57



“Jangan menangis, Ra. Malu dilihat Allah.”

Perempuan itu tak menggubris ucapan suaminya. Dia masih sedu sedan. Meski setiap malam Rana berusaha menyembunyikan isak tangis, Tomy tetap tahu. Ada sepotong hati yang terasa nyeri juga disembunyikan oleh Tomy. Meski terlihat pipinya mengering tanpa ada bekas tangis, bagaimana pun hatinya sama sakitnya dengan istrinya. Laki-laki memang seperti itu. Selalu berusaha lebih tegar dari perempuan meski hatinya rapuh.

“Tidak patut kalau kita berlarut-larut merasa kehilangan padahal ini semua hanya titipan.”

Tanpa menjawab, perempuan itu beranjak dari pembaringannya. Sekilas pun tak ada temu pandang dengan suaminya. Malam ini dia memilih tidur di kamar sebelah. Meringkuk menikmati kesedihannya seorang diri. Dia tahu kenapa suaminya bisa berkata seperti itu. Seorang laki-laki tidak merasakan sembilan bulan mengandung. Membawa kemana-mana buah hatinya. Segala hal telah dilakukan berdua dengan janin pertamanya. Bagaimana rasanya perut diaduk-aduk saat makanan memenuhi perutnya. Meski lelah mondar-mandir dari kamar ke kamar mandi untuk membuang isi perut yang memberontak, semua terasa nikmat. Tidak ada keberatan untuk seorang anak yang dinantinya.

Seorang suami juga tidak merasakan bagaimana sakitnya saat janin  mulai bergerak-gerak pada bulan tua masa kehamilan. Apalagi saat ketuban sudah pecah, nyaris rasanya semua sakit berkumpul menjadi satu pada tubuh perempuan itu. Peluh membanjiri dahi saat mengejan melahirkan. Semua tidak ada apa-apanya dibandingkan kegembiraan mendengar buah hati yang menangis untuk pertama kalinya. Rasa sakit yang mendera itu bukanlah rasa sakit yang sebenarnya, tapi sebuah dorongan dari batin untuk berjuang lebih keras lagi. Semakin terasa sakit, perempuan itu yakin waktu bertemu dengan anaknya akan semakin dekat.


Suara jeritan tangis bayinya menyeruakkan bahagia yang tiada tara saat itu. Hari yang dinantinya berbulan-bulan telah tiba.  Dia menangis haru saat melihat bola mata anaknya yang menghitam. Rambut lebat seperti miliknya dan alis tebal seperti suaminya. Sungguh, sakit yang tadinya menghujamnya keras-keras sekarang tak tersisa lagi. Dan terbayar sudah dengan kelahiran anak pertamanya.

Dia masih ingat, betapa halus kulit anaknya. Tulang-tulangnya yang masih muda dan lunak. Tangannya menggenggam kuat dan matanya yang belum bisa terbuka sempurna. Setiap lekuk tubuh anaknya terlihat sangat elok dipandang mata. Bayi perempuan yang dipangkunya itu tak henti-henti dia pandangi. Perempuan itu terus mengajak bicara meski hanya tangis yang terbalas dari bayinya.

Meski seminggu pertama dia habiskan dengan menggendong bayinya yang sempat rewel, perempuan itu begitu menikmati masa-masa awalnya menjadi seorang ibu. Dia yang begitu semangat meminum obat dan makan sayuran agar bisa memberikan susuan terbaik untuk anaknya. Rana begitu riang memanggil nama Hanna anaknya setiap kali memandikan.

Tomy hanya diam melihat istrinya menjauh. Dia amat memahami bagaimana perasaan perempuan yang kehilangan anak yang selama ini bersemayam dalam rahimnya. Laki-laki itu menyadari, dia bukan orang yang pandai menjadi pelipur lara seorang perempuan. Padahal sebenarnya dia sendiri membutuhkan obat dari rasa sakitnya kehilangan.  Memang seminggu ini setelah anaknya pergi, tidak ada air yang membasahi pipinya. Tapi gerimis tipis telah jatuh membasahi hatinya.

***
Tidak ada nasi dan suguhan kopi pahit di meja makan. Hanya segelas air putih yang berhasil dia dapati di dalam lemari es. Hampir seminggu dia harus berusaha sendiri mendapatkan makanan untuk perutnya yang memberontak minta diisi. Rana, istrinya terlalu sibuk mengobati rasa sakitnya sendiri sampai lupa untuk mengurusi dirinya. Hari-hari Tomy menjadi berantakan karena harus mengurus rumah dan pekerjaannya. 

Setelah senja kedelapan yang tak pernah absen mengeja waktu sore, dia hafal dimana istrinya menghabiskan waktu menjelang petang seperti saat ini. Perempuan itu duduk di kursi samping ranjang bayi yang kosong tanpa penghuni. Seperti yang dia lakukan saat ranjang itu masih ada suara tangisan bayi.

Laki-laki itu membuang napas dengan kasar. Kali ini dia merasa menyerah menghadapi istrinya. Tapi tak pernah tahu apa yang harus dilakukan. Berulang kali dia mengajak istrinya keluar untuk melupakan kesedihan, namun selalu ditolak. Rana lebih memilih diam melihat barang-barang kenangan bayi di kamarnya. Bukankah itu sama saja menabur garam pada luka hati, semakin perih rasanya.

Malam kali ini rumah mereka lengang tanpa percakapan. Dua manusia itu sibuk mengeja kesedihan masing-masing. Tomy teringat, ada hal yang beberapa hari ini ditinggalkannya. Padahal sebelum kelahiran anaknya, dia dan Rana begitu rajin memuja Sang Pencipta di sepertiga malam. Dia terlalu larut dalam kesedihan hingga lupa pada Sang Pemberi obat penenang hati.

“Ra.” Tomy duduk di pinggiran ranjang belakang kursi tempat Rana duduk.

Rana tetap diam. Perempuan itu sudah hafal. Setiap malam suaminya akan memberikan serentetan nasehat tentang kehilangannya. Karena terlalu sering, hati Rana sudah kebal dengan nasehat itu. Tak ada satu pun ucapan Tomy yang berhasil menembus kesadarannya.

“Sudah lama kita tidak melakukan tahajud berdua,” ucapnya pelan-pelan. Tomy berusaha menata kalimatnya serapi mungkin.

“Belum terlalu lama. Masih dua mingguan,” ucap Rana dingin.

“Bukankah dulu hampir sembilan bulan penuh kita lalui dengan tahajud untuk mendoakan anak kita?”

Rana diam, begitu juga Tomy.

“Kutunggu di sepertiga malam nanti, Ra.” Tomy melenggang pergi meninggalkan Rana dengan kesedihannya.

Setelah menutup pintu, Rana melihat punggung Tomy telah menghilang. Dia merasa kali ini sikap Tomy yang menjadi dingin. Ada rasa bersalah yang menghantui pada dirinya. Laki-laki yang selama ini begitu sabar menghadapi keras hatinya kini terlihat putus asa. Tak ada nasehat yang diberikan lagi untuknya. Sungguh, diamnya seseorang yang dia cintai itu lebih terasa sakit dibandingkan jika suaminya memarahi sehari semalaman. Itu berarti sudah tidak ada lagi rasa peduli yang Tomy berikan.

Rana menyadari, setelah kepulangan dari pemakaman anaknya, dirinya sudah hampir melupakan keberadaan suaminya. Dia tidak lagi menjadi istri seutuhnya, karena hampir semua tugas-tugasnya tak tersentuh. Tak ada lagi masakan tersaji setiap pagi dan kegiatan bersih-bersih rumah seperti biasanya. Dan Tomy menerima semuanya. Meski dia tahu pasti ada perasaan bergejolak yang memporak-porandakan hati suaminya. Tomy telah kehilangan anaknya juga sebagian perhatian istrinya.

Rana menangis  lagi mengingat begitu mudahnya Hanna pergi.  Anaknya tidak sakit karena gangguan pernapasan, kanker, atau semacam penyakit yang mematikan. Hanna hanya demam tinggi lalu pergi begitu saja dengan tenangnya. Memang sudah hal yang pasti. Setiap yang bernyawa adalah milik Allah dan kepada-Nya lah tempat kembali.

Malam kali ini Rana tidur lebih cepat. Tidak seperti biasanya yang dihabiskan berjaga hanya dengan berdiam diri meringkuk di ranjang kamarnya.

***
Rana memenuhi ajakan Tomy. Dia bangun saat jarum jam pendek dan panjang bersamaan menyentuh angka tiga. Dengan masih menahan kantuk, dibasuhnya wajah oval itu dengan air wudhu yang dingin menyejukkan.

Tanpa ada kata, Rana dan Tomy bertahajud bersama. Mereka sibuk dengan doa masing-masing. Sesekali Tomy mendengar isakan Rana yang tertahan namun akhirnya meluap. Dia membiarkan Rana menikmati kesedihan agar perempuan itu menghabiskan tangisnya. Membuang segala beban hati yang menyesakkan. Dia tak lagi melarang istrinya untuk menangis jika memang itu yang menjadi obat rasa kehilangan serta kerinduan.

Meski tetap saja tak ada tangis yang membasahi mata Tomy, tapi hatinya basah dengan kesedihan. Tanpa pernah berkata, sebenarnya hati Tomy perih melihat istrinya berdiam diri bergelung dengan kesedihan. Hatinya sama sakitnya dengan Rana, meski dia tidak pernah menunjukkan. Seorang laki-laki memang pandai menggunakan logika. Tomy tahu bagaimana jika dia bersedih lalu mogok untuk bekerja dan mengurus rumah tangga. Bukankah nanti keadaan rumah tangganya semakin rumit.

Setelah isak Rana terdengar mereda beberapa saat, Tomy menghadap ke belakang. Mencari wajah Rana yang lama tak diamatinya sedekat ini. Terlihat wajah Rana memerah dengan bekas air mata yang masih membasah.

“Ra, kamu senang mempunyai anak yang lucu dan menggemaskan seperti Hanna?” Pelan-pelan Tomy mengucapkan kalimatnya.

“Tidak perlu bertanya pun Mas Tomy sudah tahu jawabannya.” Rana sibuk mengusap sisa air matanya.

“Ra, kamu ingat? Kita pernah bersama-sama memanjatkan doa agar diberi anak yang sehat dan pintar. Kamu pernah bilang ingin mempunyai anak yang cantik dan tampan serta bisa membawa orangtuanya ke surga. Aku yakin kamu masih mengingatnya. Karena doa itulah yang selalu kamu ulang-ulang setiap malam. Kamu tak pernah bosan mengatakan itu kepadaku.” Rana bergeming dalam duduknya.

Pandangan Rana mengarah pada sepasang mata Tomy. Dia tak mengerti apa yang akan dibicarakan suaminya. Nasehat macam apalagi yang akan diberikan laki-laki beralis tebal itu.

Tanpa menunggu Rana menjawab, Tomy melanjutkan kalimatnya. “Apakah Allah sudah mengabulkannya?”  

Rana diam. Dia terlihat berpikir sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Tomy mencuri napas sejenak, lalu berbicara lagi. “Hanna terlahir sangat cantik sepertimu. Dia sehat tak kekurangan suatu apa pun pada fisiknya. Dan dia juga pintar. Selalu diam mendengarkanmu bersholawat setiap kamu ingin menidurkannya di malam-malam saat dia terjaga. Bahkan kamu ingat, dia hampir tidak pernah rewel pada saat waktu salat. Dia bukan anak yang merepotkan.”

Tangis Rana pecah. Ucapan Tomy membuat Rana memutar kembali kenangan seminggu bersama anaknya. Hatinya semakin perih tercabik-cabik. Dia tidak mengerti kenapa suaminya tiba-tiba mencoba mengingatkan kembali dirinya pada kenangan itu.

“Tapi kamu lupa sesuatu, Ra.” Rana menunduk dan diam lemah di atas sajadahnya.

“Ra, lihat mataku!” Tomy menggenggam jemari istrinya. Dengan patuh Rana menatap sorot mata suaminya yang sudah basah dengan air mata. Untuk kali pertamanya, Tomy menangis. Dan itu yang membuat mata Rana semakin memanas.

“Bukan hanya kamu, tapi juga aku. Kita lupa sesuatu.” Suara Tomy bergetar dan terbata-bata. Rana tetap memandang mata suaminya dan meremas genggaman tangan laki-laki itu kuat-kuat.

“Kita lupa meminta kepada Allah agar bisa mendidiknya sampai dewasa.” Isakan tangis mereka beradu di kesunyian sepertiga malam ini.

“Tapi Allah mengabulkan doa kita, Ra. Allah memanggilnya pulang dalam keadaan suci dan belum berdosa agar kelak dia menunggu kita di surga. Cukup doakan dia, Ra. Anak itu hanya titipan. Kamu harus kuat agar Allah mempercayai kita untuk menjaga dan mendidik titipan-Nya lagi.”

 “Maafkan aku, Mas.”


Hati Rana luluh dan hanya itu yang mampu dari mulutnya untuk menebus rasa bersalahnya seminggu ini. 


*Based On True Story

You May Also Like

14 komentar

  1. Nice story!Ini cerita nyata saya, Mbak...Anak pertama meninggal. Saya dan suami saling menguatkan hingga bisa melaluinya:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ya Mbak. Dukungan dari suami memang penting :)

      Hapus
  2. Baca inii...aku ingat novel Rindu, Deeekk.

    Pediihh sekaliii. Kamu makin keren, Deeekk!!

    BalasHapus
  3. menjadi reminder yang cantik. Peluk erat wanita hebat dan kuat :)

    BalasHapus
  4. Ini cerita saya juga neh, cuman waktu itu aku belum bisa memeluknya. Masih di rahim aku dan sudah kehilangannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kelak anaknya nunggu Mbak dan suami di surga. Aamiin :)

      Hapus
  5. Tentang kehilangan, ketabahan, dan kebersyukuran. Saya berempati.

    BalasHapus