Sepucuk Surat Merah Hati (10)

by - 01.06

Han, aku nggak salah baca, kan?

Aku membaca satu pesan dari teman di whatsapp. Kulihat dia mengirimkan sebuah foto yang belum terlihat d jelas. Aku menunggu loading-nya beberapa saat.

            Ngirim foto apaan, Re?

            Lihat aja sendiri.

Aku mengerutkan kening. Teman yang sudah lama tak kudengar kabarnya tiba-tiba membuatku penasaran di pagi ini. Dia adalah teman baikku dan Ayu semasa SMA. 

Aku menunggu sampai fotonya terunduh selesai. Kupegangi ponsel yang dari tadi hanya loading berputar-putar membuat detak jantung tak beraturan.

Kulihat foto itu bisa terunduh, kuamati baik-baik. Saat itulah mukaku mulai memanas, mataku berkaca, lalu butiran lembut itu jatuh tanpa bisa kubendung.


Dengan tergopoh aku berlari ke ruang tamu mencari kertas undangan dan sebuah amplop dari Ayu yang pernah tergeletak di meja. Tidak ada.

Aku merogoh kolong meja, hanya kudapati setumpuk koran dan majalah langganan mama. Aku yakin, mama tahu semuanya. Sekarang pasti undangan itu disembunyikan.

Dengan lancang aku masuk ke kamar beliau. Kubuka laci di meja rias kamarnya. Tak kutemukan apa pun di dalamnya. Aku mencoba membuka almari, ternyata terkunci.

Aku duduk lemas di depan kamar mama. Menutupi wajah dengan kedua tangan. Ada isak tangis yang tertahan. Hatiku tercabik sembilu. Baru aku tahu ternyata ada lembar kebohongan yang selama ini tertutup rapi.

Entah, apakah mereka yang terlalu pandai membohongi, atau aku yang terlalu bodoh untuk dibohongi. Selama ini aku sangat terlihat lugu di depan mereka.

“Han.”

Ada secercah cahaya yang masuk saat pintu mulai dibuka. Aku tahu itu suara mama. Kuabaikan begitu saja.

“Hanna kenapa?” Langkah mama terdengar mulai mendekat. Mama memegangi kedua tanganku yang masih kututupkan pada wajah.

“Undangan dan surat dari Ayu mana, Ma?” Mama tertegun mendengar pertanyaanku.

“Ma, aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu dibohongi,” suaraku terdengar parau.

Mama hanya diam dan berjalan menuju kamarnya. Tak menunggu lama beliau mengulurkan undangan dan amplop yang masih begitu rapi.

“Bukan maksud mama membohongimu, Han.” Mama memelukku dengan erat lalu melepaskannya. Beliau sibuk mengusap air mataku.

Tanganku bergetar saat membuka plastik undangan itu. Dan kulihat dengan mata kepala sendiri. Ada nama Ayu dan Dimas di dalam gambar sepasang cincin. Bukan Dimas orang lain, tetapi Dimas Angga yang selama ini telah bertahta dalam hatiku. 

Kulepaskan karbondioksida, menghirup oksigen, tetapi itu justru membuat sesak, menyiksa. Aku hanya memegangi amplop merah hati surat Ayu, ingin membacanya, tetapi aku tidak kuat untuk melanjutkan.
Setelah berhasil menguasai diri sendiri, kubuka pelan-pelan amplopnya.

Teruntuk Hanna,

Saat menulis ini aku sedang tertatih menahan air mata. Mungkin begitu juga denganmu saat membacanya.

Kau boleh menganggapku begitu jahat. Dan aku tak akan mengelak akan hal itu. Kau salah jika menganggap diriku adalah sahabat terbaik.  

Aku tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk menjadikanku sebagai tokoh di skenario ini, tapi seperti yang kau ketahui, kadang Tuhan selalu memaksakan kita untuk menjalani jalan ceritaNya.

Sungguh, aku dan Dimas sama sekali tidak ada maksud untuk menggoreskan luka di hatimu. Perjodohan ini adalah rencana orang tua kami dan baru kami ketahui beberapa bulan lalu.

Han, kita bertiga sama-sama tersiksanya. Aku tahu, bagaimana raut wajah Dimas saat di acara lamaran beberapa bulan lalu. Tidak ada raut kebahagiaan, hanya sendu yang menggelayutinya.

Kau tahu, bagaimana malamku selalu dihiasi oleh tangis memikirkanmu. Andai saja, aku bisa memilih, aku akan menolak perjodohan ini. Tapi kau tahu kan, orang tuaku sangat keras seperti kerasnya takdir yang kita hadapi saat ini.

Aku hanya berharap kejujuran ini bisa menjadi pil pahit yang menyembuhkan luka-lukamu. Meski aku tahu, palung lukamu sudah terlalu dalam.

Aku minta maaf jika telah menodai persahabatan ini. Semoga kata maaf ini mampu menjadi pembalut luka yang aku sayatkan di hatimu, pemadam api biru emosimu, dan penetral kepahitan takdir kita.

Perempuan yang tetap akan menjadi sahabatmu,

Ayu

To be continued!

You May Also Like

8 komentar