Sepucuk Surat Merah Hati (9)

by - 02.00

“Kau pasti tidak menyangka ya dia menikah secepat ini?”

“Eh ... iya.”

Aku mengembuskan napas kasar. Sikapnya mendadak berubah menjadi pendiam. Padahal saat kuminta menemani datang ke pernikahan April teman SMA beberapa minggu lalu, dia heboh mengajak membeli batik sarimbit agar terlihat lebih manis katanya.

“Kabar mama gimana, Dim?” Aku membuka pembicaraan agar tidak ada canggung di antara kita.

“Baik kok.”

“Lama aku nggak main ke rumahmu.”


Aku mengetukkan jemari di meja pertanda tidak nyaman dengan keadaan ini. Menunggunya berbicara serasa berada di kursi tengah persidangan untuk menerima vonis hukuman.

Aku mulai jengah dengan degup jantung yang mulai tak beraturan. Sebenarnya sangat penasaran apa yang akan dikatakannya, tetapi aku tahu dia bukan orang yang mudah dipaksa.

“Han, kau percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan?” Dia mulai angkat bicara.

Sesaat aku diam mendengar pertanyaannya. Aku tidak tahu akan bermuara kemana pembicaraan ini. Perasaan khawatir mulai menyergap.

“Ya, aku tahu. Lalu?”

“Jangan terlalu banyak berharap denganku, Han. Cintai aku sewajarnya saja. Bisa jadi, orang yang kau cintai akan menjadi orang yang kau benci. Begitu juga sebaliknya.” Mendadak dia terdengar sok bijak.

“Oke, i knew it. To the point ajalah. Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”

Aku memang tidak suka berbelit-belit, apalagi rasa penasaran dan khawatir sudah berbaur. Aku berusaha menenangkan detak jantung yang menggebu-gebu.

“Aku ....” kalimatnya menggantung tak terselesaikan, menggantung di udara.

“Kau kenapa?” Dia hanya diam mengambil dan membuang napas berulang kali.

“Kau sudah mencintai wanita lain?” Sontak matanya membulat menatapku.

“Sungguh, Han. Aku tidak mencintai siapa pun kecuali dirimu.”

“Dimas, aku sudah lelah terlihat baik-baik saja. Sebenarnya aku sudah lama sekali merasakan ada yang ganjil. Mendadak sifatmu berubah menjadi pendiam, dan Ayu sekarang bersikap aneh. Apa sebenarnya yang salah dengan diriku? Kenapa kalian menjauh pada waktu yang bersamaan?”

“Apa menurutmu aku mempunyai hubungan dengan Ayu?”

“Bukan itu maksudku. Tetapi kalian membuat bingung di waktu yang bersamaan.”

“Apa pun yang terjadi nantinya, aku tetap mencintaimu.” Dia berdiri. Aku mendongak menatapnya.

Dia berjalan meninggalkanku dengan menyisakan banyak pertanyaan. Aku terpaku di tempat. Terbius dengan apa yang sedang terjadi. Kurasa ada tabir yang menutupi hubungan kami.

Kalimatnya terngiang-ngiang di benakku. “Jangan terlalu banyak berharap denganku, Han. Cintai aku sewajarnya saja. Bisa jadi, orang yang kau cintai akan menjadi orang yang kau benci. Begitu juga sebaliknya.”

Jika kau tak ingin kucintai dengan berlebihan, seharusnya bukan sekarang kau mengatakannya. Tetapi dulu, sebelum kau dengan lancang mengungkapkan perasaanmu.

Sebelum kau melakukan praktik pencurian hatiku yang tidak mirip seperti pencurian. Sebelum kau menancapkan pasak-pasak harapan yang membuat perasaanku semakin kokoh.

Jika kau tak ingin aku berharap terlalu jauh, lalu apa arti dari semua sikapmu selama ini. Empat tahun kau menggandengku berjalan sampai aku sedewasa ini. Kau memupuk perasaan yang semakin lama semakin tumbuh subur.


Ayolah, Dim! Menghapus perasaan itu tidak semudah deburan ombak menghapus goresan di pasir. Jangan salahkan aku jika di hatiku sudah banyak rasa cinta yang semakin mengakar. 

To be continued!

You May Also Like

7 komentar

  1. Hih. -_- Ending oh ending. ke mana kau berlabuh?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ending akan berlabuh pada dermaga :D swabar ya swabar :D

      Hapus
  2. Aku nggak suka lelaki seperti ini, katanya cinta, kenapa berbelit belit Dan susah untuk jujur? Buang ke laut aja dah

    BalasHapus
  3. Hahahha Mbak Wid ... ngenes amat kayaknya ... 😂

    BalasHapus
  4. tuhkan mbak wid udah kena perangkapnya anik hwhe

    BalasHapus